Membangunkan
Sains Indonesia
Peta hasil kemampuan akademis
kita dapat ditera dari akumulasi publikasi ilmiah serta sumbangannya pada
kemajuan perekonomian dan pembukaan lapangan kerja. Namun, masa hibernasi yang
lama membuat banyak sektor pendidikan dan penelitian terbengkalai.
Indeks yang dicitrakan oleh
metrik pertama, publikasi ilmiah, tidak dapat dihindari karena merupakan pencerminan
kemampuan mengungkap rahasia alam, baik di bidang sains murni maupun terapan.
Metrik kedua merupakan ukuran
komitmen kita pada pembangunan bangsa sekaligus unjuk watak pendidikan dan
kemampuan lembaga penelitian, baik di lingkup perguruan tinggi maupun lembaga
penelitian. Lembaga seperti ini merentang pengertian sains, teknologi, dan
budaya dalam medan sosial bangsanya. Yang pertama menumbuhkan tantangan pada
alur kecerdasan dan intelektualitas. Yang kedua menghadirkan daya dorong laju
penciptaan intelektual, keprigelan, dan kejelian memandang kesempatan.
Kesempatan adalah peluang yang
tidak pernah bermata. Oleh karena itu, kejelian kita diperlukan untuk menangkap
kesempatan lewat pembaruan dan ekonomi (Rahardi Ramelan, Kompas, 1 Juni 2012).
Studi baru dari peneliti
Australia memanfaatkan data Institute for Science Information (ISI) menunjukkan
berita gembira: ke-10 anggota ASEAN menghasilkan makalah ilmu pengetahuan tiga
kali lebih banyak selama dekade terakhir daripada dekade sebelumnya.
Menggembirakan, tetapi runutan
rinci akan membuat kita berkerut dahi: 45 persen produk ilmiah ini dihasilkan
Singapura, diikuti Thailand 21 persen dan Malaysia 16 persen pada lapisan
kedua. Baru pada lapisan ketiga terlihat sumbangan Vietnam 6 persen, Indonesia
5 persen, dan Filipina 5 persen.
Ini jelas gambaran kurang
menyenangkan dari perspektif Indonesia, apalagi ada dua hal lagi yang
seharusnya menjadi cambuk bagi kita. Pertama, Thailand dan Malaysia menunjukkan
peningkatan terbesar, sedangkan Indonesia dan Filipina peningkatannya terkecil.
Kedua, Vietnam sangat kuat di
bidang fisika dan matematika, Singapura pada sains materi dan nanoteknologi,
Thailand pada ilmu pengetahuan gizi dan makanan. Malaysia berjaya pada rekayasa
dan Filipina pertanian.
Berada pada lapisan ketiga,
apalagi di bawah Malaysia dan Thailand tanpa keunggulan ilmu pengetahuan, tentu
tidak membanggakan. Sedikitnya ada dua argumen yang mengakibatkan unjuk kerja
kita terpuruk. Pertama, riset di perguruan tinggi (PT) serta lembaga pemerintah
kurang efisien-efektif. Terutama karena sistemik penyelenggaraan penelitian
kurang mendukung, di samping melemahnya kemauan dan kemampuan sumber daya
manusia.
Membangun
Asa
Ibarat komputer, elemen
pembangkit sistem ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang dan perlu segera
di-boot ulang. Maka, yang harus diubah pertama kali adalah pemahaman para
pemangku kepentingan akademis mengenai hakikat pendidikan tinggi.
PT adalah sasana tempat
pengalihan dan pengembangan ilmu yang bisa melahirkan ilmu-ilmu baru atau
terapan yang membangun. Jadi, selain sebagai tempat penyemaian kemampuan
intelektual, PT adalah tempat mengkaji pemikiran. Riset yang dilakukan secara
terintegrasi dengan pendidikan (pascasarjana) tentu saja merupakan cita-cita
Tri Dharma PT. Pendidikan dan riset akan secara interaktif menguatkan
kontribusi PT dalam menghasilkan produk sadar kebutuhan masyarakat.
Karena jumlah dana penelitian
terbatas, dibutuhkan strategi pendanaan. Konsekuensinya, penetapan area dan
topik riset unggulan di PT tidak hanya sah, tetapi merupakan suatu keharusan
kalau hasil hendak dipertandingkan dengan sumbangannya. Maka, mekanisme
pemilihan tema jelas berbeda dengan agenda riset nasional (ARN).
Jika ARN bersifat top-down, di PT
mekanisme harus bersifat bottom-up, yakni mengakomodasi bakat, minat, dan
tujuan khas peneliti. Hal ini penting karena seperti hasil studi di atas,
setiap negara hanya mampu mencuatkan satu atau beberapa keunggulan hasil
penelitian. Kaidah ”ambeg parama arta” sangat penting sebagai wawasan, bukan
mendiskriminasi unggulan.
Keunggulan SDM dapat diketahui
dengan cermat dari basis data yang sudah ada, seperti ISI Thomson. Penentuan
kualitas dan kuantitas sumber daya alam (SDA) dapat dilakukan melalui pemetaan
kekayaan nasional. Keunggulan SDA, mulai dari keanekaan hayati, kedudukan
Indonesia dalam lingkup ring of fire, sampai ke panjang pesisir kita, zoonis,
dan peri kebinatangan tropika, merupakan energi potensial untuk bersaing dalam
kancah riset internasional.
Tentu saja kita tidak boleh menelantarkan
bidang lain karena akan terjadi pengerdilan suatu bidang ilmu. Porsi 30 persen
dana penelitian yang dicanangkan pemerintah untuk dikompetisikan akan masuk ke
sini. Di samping itu, pemerintah memikul kewajiban luhur mencarikan dana
alternatif bagi bidang-bidang langka. Perlu kepekaan sistemik memilah tema
keilmuan dan rekayasa yang memberi kegunaan pada masa depan.
Unsur
Penentu
Penggunaan indeks ISI sebagai
patokan kinerja pengembangan sains memerlukan redefinisi pengertian jurnal
internasional. Hakikat penulisan ilmiah adalah peneliti memasarkan hasil
risetnya. Proses ini akan dinilai berhasil jika ada ”pembeli”.
Sebuah makalah dianggap ”dibeli”
jika ada yang membaca, mengutip, dan menindaklanjuti makalah tersebut. Definisi
impact factor (IF) penting untuk dipahami. Sebuah jurnal dengan IF tinggi
menunjukkan bahwa jurnal tersebut sering dikutip sehingga harus memiliki IF.
Baru-baru ini kolega dari
Malaysia menginformasikan jika negaranya hanya mendefinisikan dua jenis
publikasi, dengan IF dan tanpa IF. Hanya yang pertama yang mendapat insentif!
Baik di PT maupun lembaga
penelitian ujung tombak riset adalah para senior yang sering dimanifestasikan
dalam sosok guru besar atau profesor riset. Mereka adalah elite dalam
masyarakat pendidikan dan penelitian yang diharapkan menjadi ujung tombak
kemajuan sains.
Jadi, sistem harus ”memaksa”
kelompok elite ini melaksanakan tugas luhurnya untuk publikasi riset ataupun
wawasan pemikiran akademik yang bermakna. Salah satu tugas senior di PT adalah
membimbing mahasiswa S-3 dan menanamkan jiwa keilmiahan. Jadi, tidak salah jika
kualitas pendidikan strata S-3 hendak disejajarkan dengan kualitas global.
Di beberapa universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri (Malaysia, misalnya), publikasi internasional bukan
merupakan barang asing, baik bagi promotor maupun mahasiswa S-3. Sudah
semestinya hal ini merupakan cetak biru program PT.
Tidak kurang penting adalah
sistem insentif dan pemberian hibah penelitian. Sistem insentif yang berasas
”bagi rata” harus diganti dengan asas meritologi dan kepentingan keilmuan. Dana
penelitian yang diberikan tepat-tempo membuat peneliti memiliki kepastian awal
dan akhir kerjanya.
Bambang Hidayat
Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
KOMPAS, 29 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi