Bebaskan
Anak Memilih Sekolah
TAHUN ajaran baru 2012-2013 akan segera dimulai.
Pada momen tersebut, bukan anak saja yang dipusingkan urusan perburuan sekolah,
para orangtua juga merasakan hal sama. Persoalan utama ialah mahalnya biaya
pendidikan yang semakin membubung tinggi. Isu mewujudkan pendidikan murah
bahkan pendidikan gratis, yang biasa diusung sebagai komoditas politik oleh
banyak parpol atau calon presiden menjelang pemilu, hanya janji gombal karena
biaya pendidikan bukannya turun, melainkan malah kian melangit.
Sebagai gambaran, untuk memasuki sekolah dasar
negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan. Uang
tersebut antara lain untuk keperluan dana sumbangan pendidikan (DSP), pakaian
seragam, tas, sepatu, dan buku-buku. Bagi keluarga yang memiliki lebih dari
satu calon siswa baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat
ganda. Itu belum untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan
bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Untuk keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan
tentu tak jadi soal. Jangankan untuk memasuki sekolah negeri yang rata-rata
berbiaya lebih murah, memasuki sekolah swasta favorit yang mematok biaya tinggi
sekalipun bukan masalah. Lain halnya dengan ratarata keadaan ekonomi keluarga
di Indonesia saat ini. Naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tidak dibarengi
dengan kenaikan pendapatan masyarakat membuat angka kemiskinan terus meningkat.
Di sisi lain, meski pemerintah telah mengucurkan dana bantuan operasional
sekolah (BOS), biaya pendidikan tetap mahal. Pada kondisi demikian, besar
kemungkinan pada tahun ajaran baru kali ini banyak anak miskin tidak bisa
melanjutkan sekolah.
Ego
Orangtua
Problem yang dihadapi anak lebih rumit lagi. Tidak
jarang keinginan anak berbenturan dengan ego dan cita-cita orangtuanya.
Mengapa? Itu karena sebagian orangtua telah memiliki ancangan ideal yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan sang anak. Tak ayal, anak tidak memiliki kebebasan
menentukan masa depannya sendiri, termasuk dalam memilih sekolah. Misalnya,
anak sebenarnya berbakat di bidang IPS, tetapi lantaran orangtuanya
berkeinginan menjadikan dokter, sang anak dipaksa masuk di jurusan IPA, dan
sebaliknya.
Pada kondisi demikian, benar pendapat Elkind
(1989) yang menyebutkan para orangtua selalu berharap agar anaknya menjadi
orang spesial (be special) atau orang Jawa menyebutnya linuwih ketimbang orang
kebanyakan (be average). Harapan itu sejatinya tidak salah. Hanya, orangtua
harus menyadari buah hati mereka dilahirkan dengan sifat dan ciri khas
tersendiri. Pendek kata, setiap anak terlahir dengan keunikan, kelemahan, dan
kelebihan yang membedakan satu dengan yang lain.
Sayangnya, sedikit orangtua memahami potensi yang
dimiliki anak. Orangtua lebih sering menjadi penindas laksana monster
mengerikan yang merebut serta mencabik-cabik imajinasi, ruang batin, dan
cita-cita anak. Karena dipaksa menuruti ego orangtua, anak akan mempelajari
sesuatu yang tidak menjadi minat, bakat, dan kemampuannya. Kondisi itu jelas
tidak menyenangkan! Padahal, ketika belajar karena terpaksa, anak akan sulit
mencerna pelajaran. Hal itu disebabkan dalam memori otaknya sudah ada blokade
emosi. Perasaan kesal, marah, sebal, dan sedih sudah memblokade efektivitas
kerja otak dan menghambat motivasi (Puji Susilowati, 2008).
Anak mungkin akan berusaha setengah mati supaya
hasilnya baik. Dia akan berusaha mengabaikan panggilan hidup dan perasaannya
demi orangtua.
Kepahitan
dan kegetiran, amarah, penyesalan, dan penasaran bisa jadi membayangi setiap
langkah hidup anak. Dia akan tambah sedih lagi ketika melihat teman-temannya
bisa berbahagia di atas kehidupan yang mereka pilih sendiri.
Kalau anak yang dari keluarga kaya (the haves)
bisa saja dengan mudahnya mengulang atau pindah sekolah yang sesuai dengan
minat dan bakatnya, lain halnya bagi mereka yang kebetulan dengan ekonomi
pas-pasan. Itu bisa menjadi dilema berat.
Selain problem psikologis, anak yang terpaksa
mengikuti keinginan orangtua akan mengalami problem akademis seperti prestasi
yang tidak optimal, banyak mengulang pelajaran yang berdampak bertambahnya
waktu dan biaya, kesulitan memahami materi, kesulitan memecahkan persoalan,
ketidakmampuan untuk mandiri dalam belajar, dan buntutnya ialah rendahnya nilai
rapor atau indeks prestasi.
Problem psikologis dan akademis yang dialami anak
ternyata berimbas pada hubungan sosialnya. Anak akan merasa tidak nyaman dan
tidak percaya diri. Ia merasa tidak mampu menguasai pelajaran sehingga ketika
hasilnya tidak memuaskan ia pun merasa minder karena merasa dirinya bodoh.
Parahnya, anak akan menjaga jarak dengan teman lain, makin pendiam, menarik
diri dari pergaulan, lebih senang mengurung diri di kamar, takut bergaul karena
takut kekurangannya diketahui, dsb. Atau, anak bisa jadi agresif karena
kompensasi dari inferioritas di pelajaran. Karena merasa kurang di pelajaran,
dia berusaha tampil hebat di lingkungan sosial dengan cara mendominasi,
mengintimidasi anak yang dianggap lebih pandai.
Fobia
Sekolah
Begitu masuk bangku sekolah, anak masih harus
mengalami berbagai tindakan kekerasan, baik dari rekan maupun gurunya. Misalnya
kekerasan fisik berupa pemukulan, kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan
verbal berupa kata-kata yang menyakitkan, kekerasan seksual mulai yang halus
sampai dengan yang kasar, dan tindakan-tindakan sengaja menelantarkan lainnya.
Karena dipaksa menuruti ego orangtua, dan setelah
masuk sekolah masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, anak akan menderita
trauma psikologis yang disebut Didik Darsono (2007) sebagai fobia sekolah.
Secara singkat, Ivan Ward (1989) mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang
tidak masuk akal, tanggapan terkondisi terhadap pengalaman yang bersifat
traumatis. Adapun fobia sekolah merupakan bentuk ketakutan yang tidak masuk
akal terhadap sekolah. Gejala fobia sekolah biasanya muncul ketika akan
berangkat sekolah dan segera hilang setelah pulang dari sekolah atau hari
libur.
Selain itu, fobia sekolah d ditandai dengan
perilaku menolak masuk sekolah, sakit perut, sakit kepala, dan berbagai
gangguan fisik lainnya.
Para ahli umumnya membagi fobia sekolah dalam
skala ringan sampai dengan berat. Pertama, fobia sekolah tahap awal atau
disebut dengan istilah initial school refusal behavior. Fobia tersebut ditandai
dengan perilaku anak menolak masuk sekolah yang tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari satu minggu.
Kedua, fobia substantial school refusal behavior
atau perilaku menolak sekolah yang telah berlangsung lebih dari satu minggu.
Fobia itu memerlukan penanganan yang serius dari orangtua dan harus melibatkan
guru kelas, konselor anak, atau guru BP di sekolah.
Jika fobia kedua tidak disembuhkan, anak akan
mengalami fobia ketiga, yaitu acute school refusal behavior. Fobia itu sudah
berlangsung selama dua minggu hingga satu tahun. Karena fobia tersebut sudah
sangat akut, anak harus menjalani terapi hingga beberapa kali dan perlu
dibimbing seorang psikiater. Memang, secara medis fobia sekolah tidak begitu
kentara, tetapi bagi anak penderitanya sangat jelas terasa.
Pertanyaannya kemudian, mengapa orangtua tetap
memaksakan ego terhadap anakanak mereka? Apakah mereka tidak menyadari dampak
mengerikan yang akan dialami anak kelak? Para orangtua, tulis Dewi Utama Faizah
(2007), sebenarnya sadar jika pemaksaan keinginan adalah keliru. Akan tetapi,
mereka yakin keberhasilan mereka selama ini lebih cocok bila diterapkan kepada
anak. Pendek kata, orangtua lebih yakin pada pengalaman hidup mereka ketimbang menuruti
potensi dan keinginan anak yang sifatnya masih labil.
Hal sama juga ditemukan Elkind (1989) dalam
penelitiannya terhadap tipe-tipe orangtua mendidik. Elkind sampai pada
kesimpulan bahwa bagaimana orangtua mendidik dan memperlakukan anak akan sangat
mirip dengan perlakuan yang mereka alami ketika kecil dahulu. Misalnya pada
tipe milk and cookies parents atau orangtua dengan latar belakang masa
kanak-kanak yang bahagia, masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung
menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anak dengan tulus. Mereka juga
sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh
dukungan.
Sudah saatnya orangtua tidak memaksakan ego dan
mulai memahami psikologi anak. Orangtua harus memperlakukan anak dengan hati-hati,
menempatkannya sesuai dengan potensi dan kelemahan yang ada dalam dirinya.
Orangtua, tulis Dewi Utama Faizah (2007), harus menjadi tipe orangtua ideal
atau dalam bahasa Elkind milk and cookies parents, yaitu orangtua yang
mengiringi tumbuh kembang anak-anak dengan penuh dukungan dan menyayanginya
secara tulus.
Agus
Wibowo
Magister
pendidikan, Penulis buku Pendidikan Karakter Usia Dini (2012)
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi