Pelajaran
dan Pembakaran Buku
Kata orang, itu buku cetakan mereka. Suka-suka
merekalah mau buku itu disobek, dibuang, atau, seperti yang sudah kejadian,
dibakar. "Lagi pula kamu pada dasarnya tak terlalu tertarik dengan isi
buku tersebut, kan? Jadi apa urusanmu?" kata suara apatis yang saya
imajinasikan di benak saya sendiri. Tapi sayang, seandainya saja semua memang
sesederhana itu.
Boleh saja ada yang berpikir bahwa pembakaran buku
saban hari merupakan buah dari kesepakatan mutualistis dua pihak dan apalah
urusan pihak-pihak lain untuk ikut mencampurinya. Namun, mau dikatakan apa pun,
ancaman tetaplah ancaman. Bila kita hidup di negara hukum, ia adalah sebuah
perbuatan kriminal. Kalaupun pihak penerbit mengaku tidak diancam dan
pembakaran tersebut merupakan inisiatif perusahaan untuk mengoreksi
kekhilafannya, saya kira saya mewakili para pekerja pengetahuan ketika
mengatakan bahwa pemusnahan buku Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia
menodongkan ancaman kepada kami semua.
Cukup dalam hitungan menit setelah peristiwa itu,
setiap pekerja buku yang memiliki BlackBerry mengetahuinya. Seperti yang bisa
Anda duga, ada yang mengutuk tindakan tersebut, ada yang menyesalkan
kebungkaman pemerintah, ada yang sekadar menyatakan keprihatinan. Tetapi di
antara beragam tanggapan yang mencuat, cepatnya penyebaran informasi itu punya
satu pesan gamblang tersendiri: ini adalah situasi darurat bagi mereka yang
bergiat di dunia buku.
Dan benar. Para penyalur buku memperingatkan
penerbit-penerbit, jangan mencetak buku bertema sensitif. Menyayat? Jelas. Namun
lebih jauh, adegan tersebut mencangkokkan pada benak mereka bayangan
mencemaskan didatangi gerombolan pria berjubah--perasaan yang, ironisnya,
berpadanan dengan kerisauan para jurnalis di rezim-rezim otoriter membayangkan
kantornya diketuk oleh pria berseragam. Dan lagi, dengan ikut melaporkan
penerjemah dan penyunting buku karangan Douglas Wilson ke polisi, pihak pelapor
sudah membantu membangun kesadaran bahwa kerja mengolah naskah pun bisa jadi
identik dengan kejahatan.
Apa pun motif pelakunya, entah membela keyakinan,
entah mengoreksi pihak yang mereka anggap keliru, asap dari pembakaran ini
adalah sinyal besar yang bisa dilihat oleh semua: jangan macam-macam, ini
wilayah kami. Mengingat buku adalah produk dari aktivitas pikiran, berarti
lebih tepatnya kecaman itu berbunyi, jangan berpikir macam-macam. Dan sialnya,
garis-garis kekuasaan yang bahkan tak pernah diperoleh mereka secara legal ini
kian dipertegas lewat kebergemingan aparat hukum, entah ada kesepakatan apa di
baliknya. Bila para penegak keamanan sipil itu sudah menetapkan sasaran,
rasanya sudah menjadi pengetahuan yang sangat umum bahwa sang korbanlah yang
justru akan diperlakukan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri oleh negara.
Apa lagi yang bisa kita tafsirkan dari
pengkambinghitaman yang demikian vulgar selain ia adalah upaya untuk
menjejalkan ke benak kita bahwa otoritas para penguasa kekerasan tersebut
memang sah serta mesti diindahkan? Mengalami perlakuan tak menyenangkan
lantaran mengolah pengetahuan yang merupakan rutinitas keseharian kami, bahkan
setelahnya kami diancam dikriminalisasi, apa lagi yang bisa kami artikan dari
hal ini selain kami sedang dipaksa untuk mengakui bahwa kebenaran tidaklah
adil--hanya milik segelintir yang cukup kuat untuk menegakkannya?
Belum lama ini, ada sebuah kasus yang tak banyak
mendapat sorotan, namun sekadar membayangkannya saja, lidah rasanya kelu;
seorang sosiolog, akibat kesaksiannya di pengadilan, dihukum adat oleh sebuah
organisasi kesukuan. Di samping dituntut untuk membayar denda yang sangat besar,
penelitiannya bahkan diperintahkan untuk dimusnahkan karena dianggap
mencemarkan nama suku tertentu. Ya, Anda tidak salah dengar, sebuah temuan
riset dipaksa untuk dimusnahkan seakan ia narkotik, pornografi, DVD bajakan,
atau barang-barang haram lainnya. Dan seperti biasa, negara bergeming. Kali itu
tidak hanya membiarkan pembayar pajaknya menjadi korban yang sekaligus pihak
yang bersalah, tapi juga mempersilakan irasionalitas dirayakan.
Pada masa mendatang, seperti apa yang kita
harapkan bila logika mendapat tempat yang sedemikian rendah, jauh di bawah
kapasitas untuk mengasari orang lain? Bila konstitusi sebagai aturan main tak
lebih nyata dari kebuasan? Masa depan distopis yang diproyeksikan George Orwell
dalam novelnya 1984? Dalam salah satu bagian dari novel tersebut, interogator
dari partai yang berkuasa bertanya kepada tahanannya, berapa dua tambah dua.
"Empat," jawab Winston. "Tidak selalu," ujar O'Brien, sang
petugas interogasi. Bisa jadi lima, katanya, kalau partai menghendakinya
demikian. Dan O'Brien pun melanjutkan menyiksa Winston sampai ia menjadi waras
berdasarkan standar partai.
Kalau, ya, kita mendambakan masa depan di mana 2 +
2 = 5, maka biarkan saja apa yang terjadi sekarang terus berlarut-larut.
Biarkan kebenaran terus-menerus ditentukan oleh perangai liar dan destruktif.
Mengutip slogan presiden kita sekarang ini sewaktu berkampanye tempo hari,
"lanjutkan!" Biarkan lidah kami kelu. Biarkan tangan kami terkekang
oleh ketakutan. Biarkan bernalar menjadi aktivitas yang tabu.
Bakarlah buku-buku. Kecamlah pemikiran dengan
parang. Bungkamlah pernyataan-pernyataan seseorang yang didasari bukti empiris
yang kokoh dengan pengadilan yang tak mungkin dimenangkannya. Biarkan mereka
yang memenangkan kebenaran dengan kekerasan terus menikmati kebenarannya, dan
luruskanlah kami yang mendayagunakan pikiran kami ke dalam barisan penganut
kebenaran tersebut. Kerasilah kami agar melupakan metode berpikir rasional dan
meyakini pandangan dunia Anda tanpa perlu kami renungkan.
Maka bersiap-siaplah menyambut Indonesia yang
tegak di atas reruntuhan sesuatu yang dulu pernah dikenalnya dengan nama akal
sehat. Apa, toh, kuasa kami untuk mencegahnya?
Geger
Riyanto
Alumnus
Sosiologi Universitas Indonesia, Editor dan Penerjemah
KORAN
TEMPO, 07 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi