Sastrawan tersohor Amerika Serikat, Thomas
Stearns Eliot (1888), pernah berpetuah, "Sulit membangun peradaban tanpa
budaya tulis dan baca." Menafsir
Eliot, kita harus lekat dalam dekap akrab buku sebagai sebuah karya tulis dan
media transmisi menegakkan masyarakat yang hidup berdasarkan adab sebagai
sumber mata air nilai-nilai dalam kehidupan.
Ada gejala menarik ketika melihat geliat dunia
perbukuan di Indonesia. Selain muncul penerbit-penerbit baru bak cendawan pada
musim hujan, sejumlah event juga mengisi dunia perbukuan kita. Sebutlah,
misalnya, Islamic Book Fair (IBF) yang saat ini sedang berlangsung. IBF
merupakan event nasional yang memiliki resonansi regional sebab juga dihadiri
oleh pengunjung dari mancanegara, khususnya pengunjung dari negara di kawasan
ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dus, tak salah jika
IBF didaulat sebagai event perbukuan terbesar di Asia Tenggara.
Upaya pemerintah membangun intimasi dengan
buku sebenarnya juga ada dalam almanak nasional. Sejak 2002, setiap 17 Mei
diperingati sebagai Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang merujuk pada hari
didirikannya Parpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun, sayang, banyak yang
belum mengetahui momentum yang digagas oleh mantan mendiknas Abdul Malik Fadjar
itu. Event perbukuan nasional seperti IBF menjadi momentum penyegaran untuk
terus mendekatkan generasi kita dengan buku. Dekat dengan buku berarti mendekatkan
Indonesia dengan sentra peradaban. Buku adalah gudang pengetahuan. Jalinan ide,
gagasan, pemikiran, dan kontinuitas peradaban tak bisa dilepaskan dari peran
buku.
Sebagai dokumen mozaik pencerah yang tercecar,
buku menjadi sumber rujukan. Buku adalah titik tolak merajut imajinasi lantas
meretas realita. Terhadap bangsa-bangsa yang pernah menjadi mercusuar dalam
sejarah, buku memiliki peran organik. Bangsa Yunani, misalnya, keluar dari
halusinasi mitologi menuju babak pencerahan "logos" atau ilmu pengetahuan
setelah para filsuf di negeri yang kala itu belum menjadi pusat peradaban mulai
mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam lembaran-lembaran. Maka,
lahirlah filsuf yang menjadi legenda ilmu pengetahuan dan hingga kini masih
menjadi rujukan, seperti Socrates, Plato, maupun Aristoteles.
Mustafa Siba'i (1915) di dalam bukunya, Min
Rawaih Hadharahtina, menerangkan, transformasi peradaban Islam ke Eropa pada
abad pertengahan bermula dari semangat perbukuan. Kala itu, buku-buku yang
ditulis oleh para ulama Islam menjadi referensi setelah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Italia, Prancis, dan Spanyol sehingga bisa dibaca oleh
orang-orang Barat.
Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dan
juga fisikawan Prancis, mengatakan, berkat terjemahan buku bangsa-bangsa Arab
(Islam), terutama buku-buku sains, perguruan tinggi Eropa berjaya selama lima
hingga enam abad. Mereka mengambil rujukan dari Baghdad hingga Andalusia.
John Freely di dalam bukunya, Cahaya dari
Timur (2011), berkesimpulan, Barat yang hari ini maju pesat dan menjadi pusat
ilmu pengetahuan berutang budi pada umat Islam. Berkat kemurahan umat Islam
yang merelakan buku-bukunya diterjemahkan, Barat bisa bertransformasi. Pada
akhir abad 20 hingga awal abad 21, Jepang menjadi salah satu benchmark
(pembanding) bagaimana buku mampu mentransformasi suatu bangsa. Tak dapat
dimungkiri bila maju dan munculnya Negeri Sakura sebagai satu negara penting di
dunia dengan produk teknologi yang menembus kamar-kamar kita, juga bertitik
tolak dari buku. Jepang adalah bangsa yang gemar membaca.
Dalam telaah psikologi, usia dua hingga tiga
tahun merupakan masa krusial perkembangan otak manusia. Menurut Tony Setiabudhi
(2003), 80 persen kapasitas otak dan alam bawah sadar manusia mulai dibentuk
pada periode tiga tahun pertama. Karena itu, pada masa ini, semestinya anak
mulai harus dibiasakan dekat dengan buku untuk menumbuhkan budaya intelektual
dan literasi.
Internet
Di tengah geliat positif yang tampak dari
dunia perbukuan, belakangan kita juga menyaksikan kuatnya gempuran teknologi
yang jika salah respons malah berdampak negatif dan destruktif pada budaya baca
dan tulis. Televisi dan internet, misalnya, menjadi magnet yang mengalahkan
daya tarik buku. Anak-anak hingga orang dewasa sekalipun, jamak kita saksikan
menghabiskan waktu di depan televisi atau berselancar di internet, berjejaring
sosial, hingga hampir tak punya waktu untuk membaca. Buku tidak lagi menjadi
"sebaik-baik teman duduk". Ini merupakan paradoks di tengah geliat
dunia perbukuan.
Tak hanya itu, tantangan lain untuk menjaga
hasrat publik terhadap buku adalah sarana-sarana mendekatkan masyarakat dengan
buku, seperti taman baca atau perpustakaan, juga sulit diakses. Jauh tertinggal
dari jumlah pusat perbelanjaan modern dan hiburan yang bisa kita jumpai dengan
mudah.
Serbuan budaya populer tersebut perlu disikapi
secara produktif dengan lebih menggalakkan agenda perbukuan yang lebih
inovatif. Termasuk, apresiasi terhadap antusiasme para pelaku dunia perbukuan
di Tanah Air seperti satu tren baru dalam penerbitan indie atau self
publishing. Yakni, menerbitkan sendiri karya kita yang biasanya dicetak
berdasarkan orderan yang diistilahkan print on demand (POD) yang tak jarang
melahirkan penulis-penulis ternama dan buku-buku best seller. Ini tentu saja
menjadi tantangan bagi penerbit-penerbit ternama yang kerap lebih mengutamakan
sisi bisnis ketimbang spirit intelektualnya. Penerbitan buku dengan self
publishing cukup memantik antusiasme lahirnya penulis-penulis baru. Termasuk,
dari kalangan orang-orang ternama, baik selebritas maupun pejabat publik.
Sebagai satu sumber pengetahuan, buku telah
mengeluarkan suatu kaum dari mitologi menuju logos atau ilmu pengetahuan.
Karena pengetahuan itulah, bangsa-bangsa kuat. Ini persis tamsil Francis Bacon
(1561-1626), scientia est potentia, ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Buku
adalah arsip ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh zaman.
Jusman Dalle ;
Koordinator Nasional
Gerakan #SedekahBukuNasional,
Founder Gerakan
Indonesia Gemar Menulis (GIGM)
REPUBLIKA, 06 Maret
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi