Salah
Konsep Buku Teks
Dunia pendidikan kita kembali heboh. Untuk
kesekian kalinya, sumber kehebohan terkait keberadaan buku teks—sebagai sumber
belajar—yang ternyata banyak menuai masalah dan kekeliruan. Mengapa hal itu
bisa terjadi? Siapa yang bertanggung jawab?
Guru memang dimudahkan oleh keberadaan buku teks
untuk memberikan materi sesuai tingkat berpikir peserta didik. Buku-buku itu
diterbitkan oleh Pusat Perbukuan dan dinilai oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Hak cipta buku-buku teks dibeli dari pengarang buku.
Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan/ Mendikbud) menerbitkan Permendiknas No 22/2006
tentang Standar Isi dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi.
Masing-masing dengan lampiran penjelasan yang berisi daftar mata pelajaran dan
daftar Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang terdiri dari standar kompetensi
lulusan satuan pendidikan, standar kompetensi mata pelajaran, dan standar kompetensi
lulusan mata pelajaran. Peraturan-peraturan menteri inilah yang menjadi dasar
penyusunan buku teks pelajaran pegangan guru.
Kecelakaan kekeliruan pada buku teks Pendidikan
Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) yang memuat cerita ”Bang Maman dari Kali
Pasir” menyelamatkan Mendikbud. Sebab, buku teks PLBJ adalah muatan lokal yang
tanggung jawabnya ada pada Dinas Pendidikan Daerah dalam hal ini DKI Jakarta.
Dinas Pendidikan pun dapat melepaskan tanggung
jawab ini. Argumentasinya, artikel ”Bang Maman dari Kali Pasir” terdapat dalam
lembar kerja siswa (LKS) yang penggunaannya atas tanggung jawab guru. Maka,
selamatlah sang kepala dinas dengan melimpahkan tanggung jawab kepada guru
pengajar PLBJ.
BSNP dan Pusat Perbukuan tentu tidak bisa
melepaskan diri dari tanggung jawab dalam menerbitkan buku teks. Buku-buku teks
pelajaran yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan yang dapat diunduh, digandakan,
dicetak, dialihmediakan, atau difotokopi oleh masyarakat menjadi tanggung jawab
pelaksanaan pendidikan dan mutu pendidikan.
Kepala Pusat Perbukuan mengharapkan buku-buku teks
pelajaran lebih mudah diakses sehingga siswa dari seluruh Indonesia memanfaatkan
buku yang telah dinilai BSNP menjadi sumber belajar. Guru pun tentu merasa
benar karena buku-buku tersebut diberi keterangan telah dinilai BSNP.
Kenyataannya, buku-buku masih ada yang keliru.
Tiga
Buku, Tiga Contoh
Buku teks Ilmu Pengetahuan Alam 2 (Sri Purwanti,
CV Arya Duta-Pusat Perbukuan) adalah salah satu contoh. Dalam buku ini ada
banyak kejanggalan.
Pada Bab 8 tentang sumber energi tertulis bahwa
tujuan pembelajaran adalah mengidentifikasi sumber energi di lingkungan
sekitar. Kejanggalan terlihat mulai dari pembahasan bentuk-bentuk energi: bunyi
adalah bentuk energi, cahaya adalah bentuk energi, dan panas adalah bentuk
energi. Masing-masing dilengkapi gambar, pengganti kegiatan mengamati yang
tidak cukup untuk mengantarkan anak pada pemahaman tentang apa itu energi yang
sesungguhnya.
Kejanggalan ini diperparah dengan pembahasan
lanjutan tentang alat rumah tangga. Pada halaman 102 tertulis, ”di rumah banyak
alat rumah tangga—alat-alat itu dapat menghasilkan energi—contohnya televisi,
radio, dan telepon”. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pengarang salah
memahami konsep energi dan dibenarkan oleh BSNP lewat pengakuan kelayakan buku.
Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat pula
dimusnahkan. Energi adalah kemampuan untuk melakukan perubahan. Jadi, kalimat
bahwa alat-alat rumah tangga dapat menghasilkan energi adalah keliru. Alat-alat
rumah tangga itu bukan menghasilkan, tetapi menggunakan energi.
Menurut standar kompetensi, pembelajaran tentang
energi dipelajari di SD, SMP, dan SMA. Pemahaman yang salah sejak SD akan
berpengaruh sepanjang pembelajaran energi.
Kita simak pula buku Ilmu Pengetahuan Sosial
karangan Tri Jaya Suranto dan A Dakir (PT Ghalia Indonesia Printing-Pusat
Perbukuan). Salah satu standar kompetensi kelulusan ilmu pengetahuan sosial
adalah memahami identitas diri dan keluarga. Identitas diri diterjemahkan
pengarang sebagai dokumen pribadi dan keluarga. Maka, pembahasan ini masuk
bagian berjudul ”Dokumen Pribadi dan Keluarga” dan yang dibahas adalah akta
kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan surat izin mengemudi.
Konsep tentang identitas diri tentu saja bukan
dokumen identitas administratif. Ini adalah konsep mengenali diri, karakter
diri, kelebihan, dan kekurangannya. Jika pemahaman tentang konsep identitas
diri ini saja salah diarahkan, tidak heran jika pendidikan karakter hanya
wacana karena pendekatannya bukan lewat pemahaman, tetapi sekadar pengetahuan
administratif.
Kesalahan konsep juga terdapat pada buku teks
matematika terbitan Pusat Perbukuan yang juga mendapat penilaian kelayakan dari
BSNP. Pada buku Matematika 2: Tematik, halaman 72, tertulis: ”Jadi 4x3>3x4”.
Lalu pada halaman 74 terdapat ilustrasi gambar untuk soal pembagian 6:3>2.
”Jika dibalik, sebanyak 3 orang mendapatkan 2 es krim. Kalimat matematikanya
menjadi 2x3>6.”
Bukankah seharusnya kalimat matematikanya adalah
3x2>6? Jika dibalik: 6:3>2. Kalimat matematika tersebut adalah simbol
dari 6 es krim yang dibagikan kepada 3 orang, setiap orang mendapat 2 es krim
atau 3 orang masing-masing mendapat 2 es krim sehingga jumlahnya 6 es krim.
Kalimat matematika ini tak menyimpulkan secara benar dan menyimpang dari
konsep.
Tanggung
jawab BSNP
Tiga contoh buku teks dengan kekeliruan
masing-masing mengandung kekeliruan konsep yang menyesatkan anak didik.
Kekeliruan pemahaman bisa terbawa sampai dewasa.
Celakanya, buku-buku ini diterbitkan oleh Pusat
Perbukuan dan telah dinilai oleh BSNP sebagai buku yang memenuhi syarat
kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran sesuai Permendiknas No
46/2007. Para penulis buku tersebut telah mendapat penghargaan
setinggi-tingginya karena telah mengalihkan hak ciptanya ke Pendidikan dan
Kebudayaan untuk digunakan secara luas oleh pendidik dan peserta didik.
Artinya, kekeliruan konsep dalam buku-buku
tersebut juga tersebar ke peserta didik seluruh Indonesia. Saya dengar ada
ratusan buku dibeli oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mungkin ada
ratusan judul buku yang juga mengandung kekeliruan.
Kekeliruan konsep, kekeliruan pengertian, bahkan
kekeliruan cetak ini justru terjadi pada buku yang sudah dianggap layak oleh
BSNP. Jadi, jelaslah siapa yang harus bertanggung jawab. Tidak bisa dilemparkan
ke pengarang, apalagi guru sebagai pengguna
Utomo
Dananjaya
Direktur
Institute for Education Reform Universitas Paramadina
KOMPAS,
09 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi