Fajar
Baru Pendidikan Nasional
SETIAP 2 Mei kita selalu memperingati Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas). Itu menunjukkan bangsa ini menganggap
pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan anak negeri sehingga layak
diperingati dengan memunculkan hari istimewa. Apa pesan penting dari perayaan
(paling banyak dengan upacara) yang dilakukan setiap tahun oleh institusi
pendidikan, dari kementerian sampai sekolah tersebut? Apakah itu sebatas
seremonial belaka?
Momentum yang diisbatkan pada tanggal kelahiran
Soewardi Soerjaningrat yang populer dengan nama Ki Hadjar Dewantara tersebut
memiliki pesan yang layak untuk dijadikan landasan filosofis, etis, maupun
praksis dalam kebijakan nasional pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara yang
mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada 24 Juli 1924 sebagai modus perjuangan
layak dijadikan teladan.
Pendirian Taman Siswa sebelumnya didahului
aktivitas Soewardi di bidang pergerakan dan politik. Pada 3 Juli 1913, dia
menulis Alsi keens Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda) yang dimuat
di surat kabar De Expres, Bandung. Soewardi menyatakan, `Andaikata aku seorang
Belanda, aku tidak akan merayakan perayaan itu di dalam negeri yang sedang kami
jajah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang kami
jajah, kemudian baru memperingati kemerdekaan kami sendiri... (Soewito, 1991)'.
Tulisan tersebut merupakan jeritan Soewardi ketika melihat kolonialisme
bercokol di tanah Hindia Belanda yang menindas orang-orang pribumi.
Soewardi juga menulis Eenvoorallen, maar
ookallenvooreen (Satu untuk semua, semua untuk satu), yang pada akhir tulisan
ia menulis, `Kita harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam menghadapi
perjuangan nasional ini. Jika tidak, maka selamanya saudara-saudara akan tetap
menjadi budak! Lepaskan diri dari perbudakan ini (Soewito, 1991)!' Bersama
Tjipto Mangoenkoesomo dan Douwes Dekker, ia mendirikan Indisjhe Partij yang
dilarang pemerintah Belanda karena banyak mengkritik kebijakan pemerintah yang
tak berpihak kepada rakyat pribumi. Dari perjuangan politik seperti itulah
Soewardi memilih pendidikan sebagai jalan perjuangan. Spirit perjuangan Ki Hadjar
di bidang pendidikan memiliki misi yang tetap relevan kendati apa yang dilawan
kini berbeda wajah.
Semua tujuan pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar
dapat disimpulkan pada dua pokok. Pertama, semangat kemerdekaan yang diwujudkan
pada semangat antikolonialisme, antiperbudakan, antipenindasan, dan
antiimperialisme. Kedua, dengan semangat tersebut, rumusan utamanya ialah
kemerdekaan, yang dimulai dari kemerdekaan bangsa dari penjajah, lalu
kemerdekaan diri yang direngkuh dan diperjuangkan melalui praksis pendidikan.
Problem
Pendidikan Nasional
Harus diakui, pendidikan nasional kita kini masih
sarat dengan masalah. Ujian nasional (UN) yang baru saja dijalani para siswa
tentu tidak lepas dari berbagai silang sengkarut yang mengiringi pelaksanaan UN
dan pendidikan kita pada umumnya. Pilihan UN yang tetap dijalankan, kendati
banyak pakar pendidikan pesimistis itu tidak bisa dijadikan tolok ukur
(evaluasi) apakah siswa telah berhasil merampungkan suatu jenjang pendidikan,
merupa kan autokritik agar pemerintah tidak menutup mata bahwa kebijakan harus
terus dievaluasi dan diperbaiki.
Di beberapa kabupaten, seperti di Lamongan, Jawa
Timur, ditemui pelaksanaan UN menggunakan kamera tersembunyi (CCTV) untuk
meminimalkan peluang siswa menyontek. CCTV itu sejatinya menyimpan paradoks dan
ironi; pendidikan gagal menanamkan sikap jujur dan percaya diri kepada siswa
sehingga mereka harus menjadi pihak yang diawasi.
Kedua, masih terdapat kelas kelas sekolah ,mulai
berstandar nasional (SSN) hingga internasional (SBI), yang banyak dikecam
berbagai kalangan yang peduli pendidikan untuk semua (education for all).
Kapitalisme pendidikan bercokol dalam moda sekolah seperti itu sehingga peluang
bagi anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin
kecil.
Ketiga, pendidikan belum bisa sepenuhnya lepas
dari sekolah sebagai habitus utama pendidikan. Ketika kita bicara pendidikan,
segera teringat sekolah yang disamakan dengan pendidikan. Muncul semacam
hujatan ketika menemukan orang yang nakal tak bermoral akan dikatakan sebagai
wong sing gak tau mangan sekolahan (orang yang tak pernah mengenyam sekolah).
Keempat, kurikulum yang selama ini menjadi acuan
pendidikan perlu dikoreksi ulang. Betul bahwa kurikulum merupakan acuan utama
untuk menjalankan pengajaran sistematis. Namun perlu diingat, kurikulum di
sekolah kadang berjalan terlalu lamban. Materi pelajaran yang bisa diselesaikan
dalam waktu singkat itu dilaksanakan dalam beberapa pertemuan selama satu
semester.
Kelima, anggaran pendidikan masih jauh panggang
dari api. Meski nilainya untuk 2012 ini meningkat, itu juga dipakai untuk gaji
tenaga pen didik. Artinya, alokasi anggaran pendidikan untuk siswa dan
operasional pendidikan lebih sedikit, hanya sekitar 30%. Program pemenuhan
sarana prasarana penunjang pelak sanaan KBM (kegiatan belajar mengajar) menjadi
terhambat, padahal itu penting untuk me ningkatkan kualitas anak didik (meski
bukan faktor utama).
Keenam, munculnya sekolah sekolah swasta yang
berafiliasi dengan kelompok agama dengan ideologi tertentu dapat menyebabkan
bangunan keindonesiaan merapuh. Cukup banyak lembaga pendidikan yang justru
tidak percaya dengan Pancasila, nasionalisme, NKRI, dan nilai-nilai kebangsaan
lainnya. Keberbedaan yang mereka hadir kan tidak dilandasi semangat saling
menghormati dan bersama-sama membangun persatuan bangsa.
Ketujuh, jamak dikeluhkan rendahnya minat baca siswa,
meski itu juga cerminan realitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Buku-buku hanya mangkrak dan berdebu di perpustakaan. Siswa hanya membaca buku
paket pelajaran dan LKS (lembar kerja siswa), belum berminat untuk membaca
buku-buku lain. Belum banyak sekolah melakukan langkah progresif untuk
mendorong minat baca siswa. Alih-alih dijadikan pertaruhan kredibilitas lembaga
pendidikan, buku justru dijadikan lahan bisnis oknum sekolahan. Sekolah telah
gagal membentuk budaya membaca siswa yang semestinya menjadi bagian tak
terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah.
Pertanyaan mendasar; jika sekolah yang
digadang-gadang sebagai habitat/ komunitas utama pendidikan justru gagal
mendidik siswa untuk berpendidikan, dari mana lagi siswa belajar mengenai nilai-nilai
kehidupan? Siswa berada di sekolah hanya sekitar 6-7 jam per hari, selebihnya
berada di luar dengan segala nilai-nilai yang saling menegasi, sedangkan
sekolah sendiri tidak steril dari nilai-nilai yang berkembang di luar.
Fajar
Baru
Yang penting untuk diingat semua pihak ialah
sekolah bukan satu-satunya `lembaga pendidikan'. Ivan Illich membedakan secara
tegas antara sekolah dan pendidikan, bahkan seperti bumi dan langit. Sekolah
membelenggu kebebasan siswa, padahal pendidikan pada hakikatnya bertujuan
membebaskan siswa dengan seluruh potensi kreativitas yang dimilikinya.
Meringkus pendidikan ke dalam paradigma sekolahan akan dapat memunculkan
ketergantungan pada sekolah, sedangkan peran institusi sosial lainnya
terabaikan.
Telah cukup lama sekolah seperti ruang eksklusif
yang ditandai dengan gedung dan pagar yang melingkari sekolah. Sekolah menjadi
dunia lain, yang terlepas dari realitas masyarakat di luar sekolah. Di sinilah
sekolah menjadi `lembaga kebudayaan' yang `invalid' karena nilai-nilai
kebudayaan di luar sekolah justru dikebiri bangunan sekolah dan kurikulum
pendidikan.
Kondisi itu merupakan titik kulminasi dari rentang
panjang pendidikan nasional yang masih terdikte oleh kepentingan asing
(kapitalisme global) yang semakin merongrong sumber daya manusia (kebudayaan)
anak negeri dan sumber daya alam Indonesia.
Dengan dikembalikannya kebudayaan ke pangkuan
Kementerian Pendidikan, kita sepatutnya berharap Kemendikbud dapat membawa
fajar baru pendidikan nasional yang lebih baik. Asalkan, sekolah dapat
menangkap itu sebagai pengejawantahan kebudayaan dalam praksis pendidikan dan
belajar mengajar di sekolah, bukan pada aspek material kebudayaan yang
indikasinya ialah aspek kognitif; siswa mampu menyebutkan tarian, lagu daerah,
alat musik tradisional, dan anasir-anasir kedaerahan yang dimiliki setiap
provinsi.
Kita berharap respons sekolah ketika menangkap
instruksi pemerintah tidak dengan cara yang konyol; sekadar memasukkan frasa
kebudayaan dalam RPP, silabus, dan acuan kurikulum yang lain. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan lebih elok jika tak melulu mengurusi masalah
persekolahan, tapi juga institusi sosial lain, semisal organisasi keagamaan,
pers dengan media massanya, juga organisasi masyarakat yang sering
bersinggungan dengan masalah sosial, karena turut mengonstruksi kebudayaan
masyarakat.
Sekolah mesti menjadi lembaga kebudayaan tempat
bersemainya manusia-manusia berbudaya, berkarakter, nasionalis, dan toleran.
Semangat Ki Hadjar dapat dijadikan pengingat kita sebagai insan Indonesia yang
masih percaya pendidikan yang berkebudayaan merupakan jalan penyelamatan bangsa
dari segala krisis kemanusiaan.
Abdul
Munif
Direktur
el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA
INDONESIA, 09 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi