“Usut punya usut, ternyata pihak
Istana menginginkan agar dalam naskah itu ditambahkan aspek yang belum diulas,
yakni peran SBY dalam reformasi ABRI. Editor buku ini kemudian melengkapi hal
tersebut, tapi acara peluncurannya tidak kunjung diadakan.”
Kesemrawutan pendidikan sejarah di
Indonesia pada era reformasi ini tidak hanya menyangkut gonjang-ganjing
kurikulum, tapi juga mengenai buku standar yang tidak tersedia. Sejak 1975,
buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dijadikan buku pedoman untuk pengajaran sejarah
di sekolah. Jadi, buku-buku teks yang digunakan dalam kelas harus mengacu pada
buku "babon" tersebut. Dalam buku yang terdiri atas enam jilid itu
(dari zaman purbakala sampai awal pemerintahan Orde Baru), jilid terakhir, yang
membahas peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto, paling banyak
dikritik. Dimensi politisnya sangat kental, yakni memberi legitimasi kepada
rezim Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dan mereduksi peran Sukarno
dalam sejarah Indonesia.
Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pada awal reformasi, menganggap buku SNI tidak layak lagi
dijadikan buku pegangan. Karena itu, perlu disusun buku pengganti. Pada
mulanya, proses penulisan tersebut dibiayai dengan anggaran dari Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata dengan editor umum Taufik Abdullah, A.B. Lapian, dan
Anhar Gonggong. Dalam perkembangannya, Anhar Gonggong tidak ikut dalam
penyusunan buku tersebut.
Buku itu terdiri atas delapan jilid
dari masa prasejarah sampai era reformasi. Hampir 100 sejarawan dilibatkan
dalam proyek ini dan, setelah berkali-kali mengalami bongkar-pasang tim
penulis, selesailah naskah itu pada akhir 2008. Menurut rencana, buku ini akan
diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk program 100 Hari
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin Jero Wacik pada awal 2009.
Namun rencana ini urung terlaksana dan menimbulkan pertanyaan apakah Presiden
keberatan terhadap isinya. Usut punya usut, ternyata pihak Istana menginginkan
agar dalam naskah itu ditambahkan aspek yang belum diulas, yakni peran SBY
dalam reformasi ABRI. Editor buku ini kemudian melengkapi hal tersebut, tapi
acara peluncurannya tidak kunjung diadakan.
Ketika buku standar sejarah itu
belum terbit, pada 2010 Balai Pustaka mencoba menerbitkan kembali Sejarah
Nasional Indonesia, yang dianggap sudah tidak layak oleh Menteri, dan memang
ditambahkan beberapa bab baru pada beberapa jilid. Namun uraian mengenai kasus
1965 masih dengan versi Orde Baru. Jilid terakhir tetap kontroversial. Massa
pengikut Megawati Soekarnoputri dituduh melakukan pembakaran dan perusakan
dalam peristiwa 27 Juli 1996,sementara keterlibatan aparat keamanan dalam
penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia itu tidak disinggung. Yang lebih
parah, dalam buku teks ini ditulis bahwa Soeharto mengundurkan diri dari
jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Pernyataan tersebut keliru, karena Soeharto
menyatakan berhenti sebagai Presiden bukan karena mengundurkan diri. Bila
mengundurkan diri, ia harus mengajukan permohonan kepada MPR (dan bisa saja
ditolak). Jadi, buku ini belum layak dirujuk.
Akhirnya, pada Desember 2012,
terbitlah buku Indonesia dalam Arus Sejarah. Entah apa alasannya, hak
penerbitan diberikan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kepada Ichtiar
Baru van Hove. Penerbit ini mencetak buku tersebut sebanyak delapan jilid, ditambah
satu jilid berisi indeks dan aneka fakta. Harga paket buku tersebut Rp 6 juta.
Sebuah penerbit di Yogyakarta mengatakan kepada saya bahwa mereka sanggup
menerbitkan buku itu dengan harga 10 persen dari penerbit yang ditunjuk oleh
Departemen.
Dalam perkembangannya, Direktur
Jenderal Kebudayaan berpindah ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya
memperoleh informasi bahwa departemen ini membeli buku tersebut untuk
didistribusikan ke perpustakaan seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Tidak jelas buku itu dibeli dengan harga berapa. Jika dengan tarif Rp 6 juta,
jelas itu terlalu mahal.
Buku Indonesia dalam Arus
Sejarah masih bisa menjadi sumber dan pegangan, terutama jilid-jilid
awal. Buku mengenai prasejarah ditulis oleh para pakar yang kompeten. Bagian
ini bisa menjadi referensi, misalnya, tentang asal-usul orang Indonesia. Yang
tetap menjadi persoalan adalah jilid terakhir (7 dan 8), yang mengandung
peristiwa sejarah kontroversial.
Terlepas dari kontroversi tersebut,
buku ini seyogianya beredar luas di tengah masyarakat dan bisa dibeli di toko
buku dengan harga yang wajar. Sebetulnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bisa mencetak sendiri buku tersebut dan mengedarkan ke seluruh Indonesia tidak
dengan harga Rp 6 juta. Atau bisa melelang naskah ini kepada penerbit swasta.
Yang lebih bagus lagi adalah bila paket buku bisa diunduh secara gratis di
Internet, sehingga bisa diakses oleh semua orang.
Asvi Warman Adam ;
Peneliti
Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KORAN TEMPO, 22 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi