Di luar persoalan ''kebingungan''
kalangan pendidik, peserta didik dan orang tua mereka terkait pemberlakuan
kurikulum baru mulai tahun ajaran 2013-2014,
ada kabar menarik mengiringi kebijakan baru tersebut. Pemerintah
berencana memberikan buku-buku pelajaran secara gratis.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kemendikbud Diah Harianti mengatakakan hingga saat in kementerian itu masih menyempurnakan isi
model buku tersebut, dan belum memutuskan
pencetakannya oleh negara atau swasta. Pemberian buku gratis itu tentu
menjadi hal positif bagi Kemendikbud mengingat pada waktu bersamaan memulai
menerapkan kurikulum baru. Lebih penting lagi, dapat meringankan beban orang
tua peserta didik mengingat harga buku-buku pelajaran kini cukup mahal dan
memberatkan orang tua siswa.
Buku pelajaran gratis akan membuat pendidikan
dasar hingga menengah atas (SD, SMP, SMA) makin bisa dijangkau oleh masyarakat
kurang mampu, terlebih sebelumnya ada program bantuan operasional sekolah
(BOS). Hal itu tentu makin mempercepat ketercapaian indeks kualitas SDM
Indonesia.
Namun sebelum merealisasikan pemberian buku
pelajaran gratis itu, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama;
mengintegrasikan isi buku itu dengan seluruh satuan tingkat pendidikan dan
disesuaikan dengan rasionalitas kondisi anak didik. Semisal buku pelajaran tingkat SD harus dibuat sesuai
dengan sistem pembelajaran pada jenjang itu.
Selain itu, satu tema yang diangkat oleh guru
harus bisa diintegrasikan pada 6 mapel wajib, yaitu Pendidikan Agama, PPKn,
Matematika, Bahasa Indonesia, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan. Materi itu harus saling berhubungan pada seluruh tingkatan kelas dan
secara bertingkat harus ''nyambung'' pada jenjang SMP hingga SMA.
Kedua; mengutamakan kualitas isi. Jangan
sampai karena buku itu gratis, pemerintah mengabaikan kualitas. Buku itu harus
berisi mapel lengkap dan detail, baik dalam segi uraian maupun penggambaran.
Isi buku juga harus mudah diterapkan anak didik dalam kehidupan sehari-hari.
Jangan sampai anak didik terpaksa harus membeli lagi buku referensi lain.
Ketiga; pemerintah jangan sering mengganti
atau mengubah kurikulum pendidikan nasional. Pasalnya pergantian kurikulum
membuat buku pelajaran sebelumnya otomatis tidak ''nyambung'' lagi sehingga terpaksa
harus ganti buku pelajaran yang sesuai dengan kurikulum terbaru.
Menjaring
Masukan
Jika pemerintah memutuskan untuk menggratiskan
buku-buku pelajaran, berarti juga harus konsisten mempertahankan kurikulum
pendidikan dalam waktu cukup lama. Apabila Kemendikbud menganggap kurikulum
yang berlaku saat itu tidak lagi up to date, akan lebih baik bila hanya
merevisi sebagian isi yang dirasa perlu. Pilihan itu jauh lebih bijak daripada
mengganti secara keseluruhan. Selain menghemat anggaran negara, langkah itu
tidak membingungkan guru dan peserta didik terkait dengan buku referensi yang
harus dipakai.
Untuk itu, guna menghasilkan kurikulum baru
yang lebih bermutu dan menghindari kesalahan atau perevisian isi maka seluruh
isi dan makna dari kurikulum terbaru yang sudah disusun itu, perlu ditelaah
lebih cermat dan teliti. Jika ada yang masih tidak cocok atau sulit
diimplementasikan di lapangan maka harus secepatnya direvisi selagi belum
diterapkan.
Di sisi lain, pemerintah perlu membuat
beberapa model buku pelajaran, dan mengujinya dengan minta pendapat para pakar
dan guru. Pelibatan pakar dimaksudkan untuk menjaga mutu isi buku tersebut,
sementara pelibatan guru untuk memberi masukan supaya isi buku itu sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Untuk
mewujudkan akuntabilitas dan transparansi anggaran pengadaan buku gratis itu,
seluruh komponen masyarakat harus proaktif ikut mengawasi. Jangan sampai
terjadi penyunatan anggaran mulai tingkat pusat hingga daerah karena tindakan
itu berisiko mengurangi mutu dan
kualitas buku gratis yang kelak dibagikan.
Sri
Mulyati ;
Dosen
IKIP Veteran Semarang,
Guru MTs
Nurul Huda Mangkang Semarang
SUARA
MERDEKA, 09 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi