SETIAP orang pasti akan berhenti berpikir sejenak
untuk menjawab pertanyaan itu. Jika kita percaya kepada Tuhan, padahal Tuhan
tak berbentuk, mengapa kita tak memercayai pendidikan yang efek negatifnya
terlihat begitu dahsyat terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat kita?
Lihat saja angka pengangguran terus bertumbuh,
pertumbuhan ekonomi tak seimbang sehingga membuat jurang antara yang kaya dan
yang miskin semakin melebar, juga kekerasan, kelaparan, dan kebodohan. Akan
tetapi, mengapa kita tetap seperti tak memercayai pentingnya pendidikan untuk
suatu bangsa?
Ketika negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura
di era 70-an banyak mengalokasikan dana untuk mengirim ratusan ribu anak-anak
mereka agar belajar ke luar negeri, kesadaran itu di Indonesia justru baru
muncul belakangan. Di 2010 pernah pemerintah mengeluarkan statement akan
membuat dana abadi (endowment) pendidikan yang bertujuan untuk mengirim
mahasiswa kita belajar ke luar negeri. Kabar itu tak pernah terdengar lagi dan
tiba-tiba salah satu rekan saya, seorang profesor ternama dari Yogyakarta,
bercerita dia baru saja mendapat tugas untuk me-review calon pe-review yang
akan menyeleksi anak-anak berbakat untuk melanjutkan studi keluar negeri. Apa
komentarnya?
Lucu, karena hampir semua calon pe-review yang
di-review tak sampai 20% yang lulus berkas. Padahal, jumlah calon pe-review
program penerima beasiswa semuanya berasal dari kampus ternama di Tanah Air.
Apa penyebabnya? Rekan saya menduga praktik pemilihan calon pe-review ini
asal-asalan dan beraroma kolusi dan nepotisme di tingkat rektorat. Saya kira
selain kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan sebagai akibat langsung dari proses
pendidikan 30 tahun silam, korupsi menjadi peninggalan kasatmata dari sistem
pendidikan yang tidak jelas karena hampir semua indikator yang merujuk kepada
visi pendidikan nasional sangat sulit mengukurnya.
Di tingkat sekolah, kerusakan sistem terlihat amat
jelas dari cara pemerintah daerah mengatur alokasi dan distribusi dana bantuan
operasional sekolah (BOS) yang penuh dengan praktik korupsi. Jika sudah seperti
itu masalahnya, masihkah kita percaya bahwa pendidikan dapat mengubah perilaku
masyarakat? Jawabannya harus bisa, apalagi jika disertai dengan keyakinan dan
kebersamaan. Kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat harus dibangun
kembali. Bukan seperti sekarang, seperti imajinasi masyarakat bahwa sekolah
selalu terasosiasi dengan milik pemerintah, bukan milik masyarakat.
Hampir semua skema kebijakan publik tentang pendidikan
selalu menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang tak berdaya dan harus
terus dibantu. Padahal, sejatinya, dalam sejarah pendidikan di negara
mana pun di dunia, masyarakatlah pemilik saham terbesar dari setiap lembaga
pendidikan. Bahkan ketika sekarang ini pemerintah mengendalikan semua
suprastruktur dan infrastruktur pendidikan, masyarakat tetap melakukan
perlawanan dengan memberikan bukti bahwa mereka, meskipun miskin, bisa berdaya
dalam mendidik anakanak mereka.
James Tooley (2013), dalam The Beautiful Tree: A
Personal Journey into How the World’s Poorest People are Educating Themselves,
mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem
pendidikan dan politik yang tidak berpihak kepada mereka.
Tidak hanya di negara seperti India, Ghana, dan China
terdapat perilaku diskriminatif terhadap kaum miskin, di Amerika Serikat juga
tetap ada contoh dan perilaku otoritas pendidikan yang tidak pro terhadap kaum
miskin.
Seni
Berkemungkinan
Film dokumenter Waiting for Superman memberi kita
banyak ilustrasi tentang optimisme, harapan, dan kesetiaan sistem yang memiliki
keberpihakan kepada yang lemah dan tak berdaya. Selain itu, film tersebut
mengajarkan pentingnya kebijakan melihat sisi lain dari kehidupan sosial
manusia, yaitu tentang seni berkemungkinan (the art of possibilities).
Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala
setiap orang, dan sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi
beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak kurang
beruntung dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Salah satu contoh berkemungkinan dalam dunia
pendidikan dilakukan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Ketika di awal sekolah itu
dibangun, idealisme yang diusung ialah bagaimana memberikan kualitas pendidikan
yang layak dan memadai bagi anak-anak yang kurang beruntung. Karena itu, ketika
di tahun pertama sekolah tersebut menerima siswa, hal pertama yang disepakati
ialah tentang kualifi kasi siswa, yaitu untuk anak korban tsunami, korban konfl
ik, yatim piatu, dan fakir miskin. Dalam prosesnya, rekrutmen siswa ternyata
tidak semudah itu, mengingat jumlah anak korban tsunami dan konfl ik serta anak
yatim dan fakir sangatlah banyak.
Dalam pikiran sekolah normal, mungkin salah satu cara
untuk menekan jumlah peminat dari kalangan kurang beruntung tersebut ialah
dengan menggunakan tes, baik akademis maupun psikologis. Namun, pengurus
memutuskan untuk tidak melakukan keduanya, tetapi lebih memilih merekrut siswa
secara door-to-door alias terjun langsung ke daerah untuk memastikan kepapaan
calon siswa.
Prosedur awalnya yaitu dengan membagi kuota beasiswa
kepada setiap kabupaten/kota. Kemudian panitia rekrutmen menyeleksi sendiri
ketidakmampuan anak-anak calon siswa Sukma Bangsa tersebut.
Kesadaran dan idealisme untuk mempertahankan pola
rekrutmen siswa yang pro kepada kemiskinan siswa merupakan sebuah
kebermungkinan yang seharusnya dimiliki para pimpinan negeri ini. Itulah
pangkal keyakinan bahwa kita tetap harus percaya akan pendidikan yang bisa
melayani semua lapisan sosial dan tetap mempertahankan idealisme puritan
tersebut; membela si papa untuk ikut serta ke dalam proses pendidikan yang
berkualitas.
Dengan demikian, artinya kita sedang bergerak ke arah
kesetaraan terhadap akses pendidikan berkualitas.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 11 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi