Untuk kesekian kalinya lembaga
pendidikan kita kebobolan bahasan pornografi yang menumpang dalam buku
pelajaran anak sekolah dasar. Dengan demikian menunjukkan bahwa pihak dinas
pendidikan dan sekolah yang bersangkutan tidak pernah belajar dari kasus-kasus
yang ada.
Sebelum kasus yang baru terjadi di
SDN Gunung Gede dan SDN Polisi IV, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu
kita sudah dikejutkan dengan kisah Istri Simpanan Bang Mamat yang juga menyusup
ke dalam buku pelajaran anak sekolah dasar di sebuah sekolah di wilayah Jakarta
Timur. Kisah Istri Simpanan Bang Mamat rupanya tidak dijadikan pelajaran,
buktinya pihak sekolah masih saja kebobolan dengan unsur-unsur di luar kaidah
pendidikan, buktinya tak lama kemudian di sebuah SMP di Mojokerto, Jawa Timur,
pada sebuah lembar kerja siswa atau yang lebih dikenal dengan LKS memuat foto
bintang artis porno asal Jepang Miyabi. Akibat termuatnya bintang film porno
yang kesohor itu maka dunia pendidikan kembali heboh.
Apakah pornografi secara tidak kita
sadari atau sadari akan terus menyusup ke sekolah-sekolah lewat buku pelajaran
yang telah diberi ijin oleh dinas pendidikan dan pihak sekolah? Sepertinya
masih akan terjadi.
Semasa pendidikan di masa Orde Baru,
buku-buku pelajaran yang ada dipinjami dari sekolah. Dengan demikian maka
anak-anak sekolah tak perlu membeli buku dari penerbit. Konsistensi kurikulum
semasa Orde Baru yang tak mudah berubah membuat buku pelajaran itu awet.
Sehingga penggunaan buku itu bisa secara estafet dan kontinu. Contohnya, bila
Kelas III naik kelas maka buku itu akan dipinjamkan kepada penghuni Kelas III
yang baru.
Dalam era reformasi rupanya terjadi liberalisasi dalam dunia pendidikan, dengan alasan otonomi daerah maka pihak sekolah berlomba-lomba menggunakan cara agar bagaimana sekolahnya maju dan berkualitas. Untuk itu sekolah-sekolah yang ada mempersilahkan pihak-pihak penerbit menawarkan buku-buku tambahan atau buku-buku pengayaan masuk ke dalam sekolah.
Dalam era reformasi rupanya terjadi liberalisasi dalam dunia pendidikan, dengan alasan otonomi daerah maka pihak sekolah berlomba-lomba menggunakan cara agar bagaimana sekolahnya maju dan berkualitas. Untuk itu sekolah-sekolah yang ada mempersilahkan pihak-pihak penerbit menawarkan buku-buku tambahan atau buku-buku pengayaan masuk ke dalam sekolah.
Peluang ini tentu dibaca oleh para
investor atau pelaku bisnis untuk membuat percetakan dan penerbitan. Tak heran
dalam masa reformasi tumbuh usaha percetakan dan penerbitan yang siap
memproduksi buku-buku tambahan atau buku-buku pengayaan dari jenjang taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas,
dan sekolah yang berada di lingkung Kementerian Agama dari madrasah,
tsanawiyah, hingga aliyah. Kita merasa senang bila ada pihak-pihak
non-pemerintah atau swasta terlibat langsung dalam dunia pendidikan namun
masalah yang terjadi tak semuanya didasari niat luhur. Ada yang menggunakan
kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan bisnis.
Banyaknya usaha penerbitan dan
percetakan itulah yang membuat pelaku usaha di bidang itu mengalami persaingan
yang sengit sehingga bila buku yang dicetaknya tidak laku maka usaha yang
dijalankan bisa bangkrut. Untuk memperlancar penjualan buku maka pihak-pihak
percetakan dan penerbit memberikan iming-iming kepada dinas pendidikan atau kepala
sekolah dan guru sebuah bonus yang menggiurkan bila berhasil memaksa muridnya
untuk membeli buku. Bonus yang diberikan kepada kepala sekolah atau guru bila
mampu menjual buku kepada peserta didik yang jumlahnya ratusan itu seperti
uang, barang, bahkan berlibur ke tempat-tempat wisata seperti Pulau Bali.Bertemunya
kepentingan pihak penerbit atau percetakan dengan guru dan kepala sekolah dalam
masalah jual beli buku bisa jadi kesejahteraan guru dan kepala sekolah kurang
sehingga mereka mencari tambahan penghasilan. Tergiur dengan iming-iming bonus
dari penerbit dan percetakan itulah yang membuat kepala sekolah dan guru luluh
mengiyakan kemauan penerbit.
Lolosnya unsur-unsur pornografi
dalam buku-buku pelajaran produk penerbit dan percetakan bisa jadi juga
disebabkan bahwa penerbit dan percetakan itu kekurangan sumber daya manusia
(SDM) yang tepat pada bidangnya. Penulis pernah menemukan sebuah lowongan dari
sebuah PT penerbit yang mencari lowongan seorang editor dengan klasifikasi yang
berat. Mereka yang dicari itu akan dijadikan editor buku biologi, fisika, dan
kimia. Apa yang dilakukan penerbit itu benar. Sebab dengan klasifikasi yang
berat maka akan melahirkan buku yang berkualitas.
Menjadi masalah bila penerbit atau
percetakan yang tidak memiliki SDM yang tepat sehingga berakibat pada banyak
kesalahan pesan atau ajar dari sebuah buku pelajaran. Ini berbahaya. Munculnya
pornografi dalam buku sekolah bisa jadi karena editornya bukan orang yang
dibesarkan dalam lingkup pendidikan, misalnya bukan alumni dari perguruan
tinggi yang berkejurusan pendidikan, bukan alumni universitas pendidikan, FKIP,
atau IKIP, Fakultas Tarbiyah pada IAIN, atau jurusan yang terkait dengan dunia
pendidikan. Mereka yang menjadi editor pada buku yang berbau pornografi itu bisa
jadi hanya orang yang dirasa bisa menulis, bisa juga dari kalangan sastrawan
atau wartawan yang tidak paham dengan kaidah-kaidah dunia pendidikan.
Untuk mencegah hal-hal yang di atas
tidak terulang lagi maka di sini perlunya pemerintah memberi perhatian kesejahteraan
yang lebih pada guru. Bisa jadi guru kesejahteraannya minim sehingga mereka
tergoda pada rayuan penerbit atau percetakan akan bonus yang menggiurkan bila
kepala sekolah dan guru mau menjadi agen penjual buku kepada anak didiknya
sendiri meski dilakukakn secara paksa.
Kemudian pemerintah juga harus
mengawasi penerbit atau percetakan yang mencetak buku-buku pendidikan.
Pendidikan adalah suatu yang vital untuk membentuk karakter dan kecerdasan
generasi muda sehingga muatan-muatan dari isi buku harus benar-benar mengacu
pada kaidah-kaidah pendidikan nasional. Untuk itu pemerintah harus mengawasi
penerbit dan percetakan, mulai dari SDM, mutu kertas, hingga harga. Bila tidak
diawasi maka selain rivalitas antarpenerbit yang tak sehat juga akan memunculkan
editan-editan yang tak sesuai dengan kaidah pelajaran.
Ardi Winangun ;
Pengamat
Sosial-Politik
OKEZONENEWS, 26 Juli 2013
thanks gan infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id