Tontonan kekerasan kini seolah
telah menjadi bahaya laten dalam masyarakat. Bahkan, kekerasan tersebut justru
diperankan oleh kalangan terdidik yang mestinya menjadi agen pe rubahan
masyarakat. Tawuran antara pelajar SMAN 70 Jakarta dan SMAN 6 Jakarta seakan
mengingatkan kejadian serupa pada tahun lalu dengan adanya penganiayaan dan
perampasan kamera wartawan.
Pada dasarnya, kekerasan atau
agresi merupakan perilaku sosial yang di butuhkan manusia untuk bertahan hidup.
Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam masyarakat primitif yang
bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang. Dalam budaya ini, bagian
psikologi manusia bukan hanya pada aspek pembunuhannya, tetapi juga aspek
kekejamannya. Setidaknya, pernyataan itu sesuai dengan teori libido Freud bahwa
jiwa manusia dipengaruhi kekuatan seksual yang mendorongnya untuk agresif dan
ingin berkuasa.
Namun, fakta yang terjadi dalam
“reinkarnasi” gerakan moral kalangan pelajar demikian jelas merupakan bumerang
dalam dunia pendidikan nasional. Program pendidikan karakter melalui
peningkatan pemahaman tentang demokrasi, moral keagamaan, serta proses-proses
kebangsaan ternyata belum efektif mengendalikan akumulasi kefrustrasian anak
bangsa yang terdidik. Peristiwa memalukan tersebut sudah seharusnya me njadi
momentum bersejarah agar institusi terkait lebih mawas diri.
Pendidikan karakter sebagai model
pengembalian atas posisi pendidikan akhlak dan budi pekerti mendesak untuk
diperkuat. Pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat berperan dalam membentuk
karakter atau kepribadian seseorang, yang pada gilirannya akan mampu mendukung
karakter demokrasi maupun penyelenggaraan sistem kenegaraan.
Karenanya, program civic
education sebagai bagian dari pendidikan karakter harus diperkuat, yaitu
pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan hukum, pemahaman tentang
konsepsi hukum dan HAM, penguatan keterampilan partisipasi menyelesaikan konflik
sosial, dan mengembangkan kesadaran budaya demokrasi dan perdamaian.
Dengan demikian, mendudukkan
nilainilai Pancasila dalam dunia pendidikan perlu segera dibangun secara
sistematis karena telah mengalami keterpinggiran dari masyarakat Indonesia.
Imbasnya tentu dapat dilihat bahwa kalangan terdidik itu sendiri yang
merobohkan nilainilai kesantunan dan toleransi sebagai karakter orisinal bangsa
Indonesia melalui aksi kekerasan yang semakin merajalela. Apalagi terjadi
adanya proses penetrasi pemikiran sekaligus tindakan pragmatis yang cenderung
mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata melalui kekuasaan
dominan.
Hal tersebut bukan hanya akan
membuat masyarakat menjadi pihak tertindas, tetapi juga akan menjadi aktor yang
menghalalkan segala cara karena memahami bahwa segala sesuatu harus diperoleh
dengan kekuasaan. Tentu konsekuensi sosial yang harus dihadapi adalah konflik
yang tiada berujung karena masyarakat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang
sengaja menginginkan instabilitas keamanan. Terlebih bagi para pelajar yang
mudah tersulut emosi akibat tekanan pendidikan yang dialaminya.
Ketika rata-rata tingkat
pendidikan dan pendapatan masyarakat belum mendukung perjalanan demokrasi yang
modern, pemaksaan kebenaran secara sepihak akan menjadi tontonan harian
masyarakat. Dalam posisi demikian hukum yang berlaku harus tetap ditegakkan.
Para pelajar yang melakukan aksi tawuran, pada dasarnya merupakan kalangan
terdidik yang tentu menyadari bahwa aksi tawuran yang dilakukannya telah
mengganggu ketertiban umum sekaligus sebagai tindak kriminal manakala diiringi
adanya penganiayaan.
Mesti diakui bahwa perjalanan
pendidikan selama ini justru tidak memberikan kesempatan terhadap peserta didik
dan pendidik dalam berekspresi menempa jati diri masa depan. Mereka dipaksa
menjadi robot untuk menghapal segala rumus bahkan menghapal semua materi
pelajaran yang diujikan. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah
atas, semangat berpikir pragmatis dan instan menjelma menjadi budaya belajar
generasi
saat ini.
Persoalan pendidikan semacam itu
berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki nilai-nilai dasar
seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan toleran terhadap
perbedaan, karena semua diseragamkan da lam satuan sistem, yaitu lulus dan tidak
lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu. Proses pendidikan
hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif.
Kecenderungan pola pendidikan itu
berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang memasung sekat sosial
masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang yang pandai,
begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan disisihkan
bersama orang-orang yang bodoh lainnya. Dampak psikologis dari pilihan semacam
itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial yang sengaja
memarginalkannya.
Tidak heran jika produk komunitas
yang terpinggirkan tersebut akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar,
pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi kalangan ini,
pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial
kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya.
Muh
Khamdan ;
Fungsional
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
REPUBLIKA,
27 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi