Apa yang diajarkan di sekolah
untuk mencegah tawuran? Mungkin sekali justru masih banyak sekolah absen dalam
pengajaran dampak negatif tawuran bagi para siswa, selain akibat buruknya bagi
reputasi sekolah bersangkutan.
Di mata siswa, boleh jadi mereka
yang tawuran justru merasa mendapatkan ‘manfaat’ bagi dirinya. Di antaranya
malah merasa ‘puas’ karena berhasil melampiaskan nafsunya menyakiti atau
membunuh lawan atau minimal mengalahkan pihak ‘musuh’.
Menteri Pendidikan M.Nuh sempat
kaget mendengar pengakuan AU yang diduga membunuh Deni Januar, siswa kelas XII
SMA Yayasan Karya 66. “Siapa tidak terkejut. Membunuh orang puas. Saya tanya
lagi, ‘Apa benar puas setelah membunuh’? Dia jawab, ’Puas Pak, tetapi saya agak
menyesal!’ Baru kata penyesalan itu keluar,” kata Nuh.
Selain itu, boleh jadi mereka
merasa menjadi pemberani, dan lebih pandai dalam berkelahi atau ‘ilmu’ bela
diri, atau muncul sebagai ‘jagoan’, kayak lakon film laga dan para ‘pemberani’
di berbagai kericuhan yang sering ditunjukkan di televisi.
Namun jelas semua itu bukan
manfaat yang absah, alias palsu belaka. Itu hanya fatamorgana. Malah, alih-alih
sebagai ‘manfaat’, yang terjadi justru ‘mudharat’ (bahaya) yang amat besar,
sehingga tawuran, sebagaimana bullying, sangat diharamkan.
Tetapi masalahnya, apakah para
siswa SMU itu belajar yang demikian? Apakah mereka diajarkan bahwa kalau bukan
kawan mereka yang menjadi korban, tawuran itu bisa juga mengancam diri mereka
sendiri, dan bahwa akibat darah yang menetes atau muncrat itu bisa membuat
orang tua mereka sendiri ‘nangis darah’ seumur hidup?
Di samping berbagai upaya lain
yang mesti dilakukan, kiranya sekolah mesti mengajarkan beberapa hal penting
ini. Pertama, kepada para guru, orang tua dan para siswa diajarkan bahwa tidak
ada masalah bisa selesai dengan menggunakan kekerasan.
Alih-alih dari menggunakan
‘logika kekuatan’, semua mesti belajar menggunakan ‘kekuatan logika’ dalam
setiap masalah, karena yang pertama hanya dipakai para penjahat yang terdesak
atau saat orang dalam perang sedangkan yang kedua adalah alat bagi setiap
menusia beradab dan beragama.
Mereka semua harus benar-benar
paham bahwa ‘violence is contagious’, kekerasan itu menular. Dalam urusan ini,
pihak yang berwenang, mulai dari orang tua siswa, pimpinan sekolah, dan aparat
keamanan harus tegas dalam menindak pelaku tindakan violence sesuai aturan dan
prosedur yang ada. Karena, sebagaimana pernah dikatakan tokoh pendidikan Anies
Baswedan, “Resep membiarkan penularan kekerasan adalah ketika pelakunya tidak
divonis.”
Anies pernah mengatakan bahwa di
dalam pendidikan, banyak orang hanya melihat pentingnya pengetahuan
(knowledge), padahal kalau hanya itu yang diperhatikan, sekolah justru mengunci
– alias tidak ‘membebaskan’ -- anak didik. Pasalnya, selain knowledge,
pendidikan seharusnya juga mengajarkan skill (kecakapan) dan attitude (sikap)
yang lazimnya dipelajari lewat contoh tindakan, dan bukan hanya retorika.
Cinta,
Role Model dan Komunikasi
Patut digarisbawahi, sekolah
hendaknya juga mengajarkan cinta dan kepercayaan (trust); melakukan komunikasi
yang terus menerus (konstan) dan membimbing anak didik untuk memiliki ‘role
model’ bagi dirinya.
Role model itu penting bagi anak
didik, sehingga sekolah perlu memperkenalkan mereka: tokoh, negarawan,
pengusaha atau wiraswastawan besar dan kecil, motivator, agamawan yang toleran,
budayawan, wartawan, filanstropis (dermawan) dan semua ‘pribadi ideal’ yang
patut menjadi cermin bagi para siswa itu.
Datangkan mereka ke sekolah,
perkenalkan riwayat hidup mereka – sehingga anak-anak itu tidak hanya mengenal
tokoh film fiksi Hollywood melulu. Ada baiknya bila sesekali putarkan juga
video tokoh inspiratif yang bisa turut membangkitkan motivasi.
Adapun soal cinta, tidak sekedar
diceritakan, melainkan harus dipraktekkan. Lewat tindakan nyata, para pendidik
mengajarkan bagaimana mereka mencintai keluarganya, bagaimana mereka mencintai
dan menghormati guru mereka dulu, tetangga, dan kawan-kawan mereka. Datangkan
juga orang-orang itu ke sekolah – perkenalkan, dan berikan kesempatan
berinteraksi dengan para siswa.
Selain cinta, para siswa juga
diberdayakan untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dalam kehidupan mereka.
Lewat kegiatan pinjaman lunak untuk modal bisnis kecil-kecilan, misalnya, anak
didik dapat diajari bagaimana dua hal sekaligus: bahwa penting sekali menjadi
orang yang bisa dipercaya, dan bahwa mereka bisa belajar menjadi enterpreuner
sejak muda.
Untuk semua yang di atas itu,
komunikasi menjadi kunci terpenting. Komunikasi antar-siswa (baik dalam satu
sekolah ataupun siswa sekolah lain), sebagaimana komunikasi antara siswa-orang
tua-guru-manajemen sekolah, sangat vital sifatnya. Ia tidak saja harus dilakukan
secara konstan, melainkan juga harus dilaksanakan secara dua arah dan simetris
dan terus menerus.
Hanya dengan komunikasi model itu
-- baik secara lisan maupun tertulis – maka keluhan dan berbagai permasalahan
bisa dihadapi dengan baik. Semua ‘issue’ bisa ditengarai, sebelum ia meledak
menjadi krisis semacam tawuran.
Ilmu
Kehidupan dan Optimisme
Di sementara sekolah di Amerika,
belakangan juga diajarkan beberapa hal berikut ini untuk menghindari bullying
dan tawuran. Pertama praktek bela diri. Untuk ini, sekolah bisa mengajarkan
kepada mereka, khususnya yang ‘lemah’, beberapa hal berkaitan dengan bela diri.
Bukan saja, bagaimana
‘menghindari serangan atau membalas pukulan penjahat secara efektif tapi aman’,
melainkan juga prinsip-prinsip seperti ‘bagaimana menghindari mereka yang
hendak menganiaya kamu’, dan sejenisnya.
Dalam kaitan ini, anak didik
diajarkan prinsip-prinsip bahwa, untuk menjadi sukses mereka tidak perlu pandai
berkelahi – dan ketika ada tokoh idola yang datang ke sekolah, ia pun bisa
membantu menekankan pesan tersebut.
Selain itu, diajarkan juga hal
praktis semisal, ‘Bagaimana mengetahui bahwa orang yang menghampirimu
menyembunyikan senjata’, dan ‘dompetmu tidak seberharga nyawamu’.
Hal itu masih bisa dilengkapi
dengan penyampaian pesan ‘mengapa senjata api dan pisau sama sekali tidak
keren’, yang pelaksanaannya dilengkapi dengan presentasi multimedia dengan
menunjukkan gambar menyeramkan akibat luka, video korban yang hidup di kursi
roda, dan sebagainya.
Terakhir, anak didik selayaknya
juga mendapatkan ‘ilmu sosial kehidupan’, yang mengajarkan kenyataan hidup pada
mereka. Di sini, mereka jadi tahu bahwa ‘hidup memang keras, tapi aku harus
tetap optimis ’, bahwa ‘kalian suatu saat juga akan meninggal sehingga perlu
berbekal diri sejak muda’, dan bahwa kehidupan ‘indah’ ala film Hollywood itu
tidak nyata.
Anak didik mesti tahu bahwa
banyak orang mungkin harus hidup dalam tekanan, sehingga dapat dihinggapi
depresi pada umur 20-an, akibat karir yang tersendat, putus cinta, kehilangan
orang tua, dan sebagainya.
Namun semuanya bukan berarti
kiamat, karena banyak kebaikan lain yang dapat membantu mencegah atau mengobati
kesedihan luar biasa itu, misalnya melalui hubungan penuh cinta dengan teman,
tetangga, famili; selalu bersikap optimis; saling membantu satu dengan yang
lain; dan memantapkan keyakinan agama tentang Hari Pembalasan, dan sebagainya
Syafiq
Basri Assegaff ;
Konsultan
Komunikasi,
dan
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta
INILAH.COM,
27 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi