Fenomena tawuran pelajar di
berbagai kota besar seperti di DKI Jakarta, terjadi ketika para pelajar yang
sedang mencari identitas diri tidak menemukan penyaluran kreativitas seni atau
olahraga karena ruang-ruang itu seolah-olah tertutup. Mereka merasa tak mendapatkan
tempat untuk pemekaran jati diri, sikap dan wataknya yang bersifat positif.
Yang ditemukan justru lingkungan pergaulan menghalalkan segala cara dan
cerminan masyarakat yang hidup dalam kesulitan. Akibatnya, mereka terjerembap
dalam tindak kriminal, merasa jadi jagoan berkelahi secara gerombolan dan bukan
satu lawan satu secara fair.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin
tahun 1970-an, hampir setiap sekolah memiliki lapangan untuk berolahraga dan
dilengkapi ruang-ruang seni untuk berkreasi. Dengan aneka kegiatan semacam itu,
pelajar atau siswa dengan mudah menemukan identitas dirinya. Manakala bakat
mereka tersalurkan, tak ada kesempatan untuk tawuran.
Kini, ada tiga model sekolah.
Pertama, sekolah yang memberikan ruang hingga talenta anak didiknya berkembang.
Sekolah macam ini selain sarana gedung dan guru-guru yang memadai, juga
menyediakan lapangan olahraga dan aula untuk kreativitas seni para siswanya.
Kedua, sekolah dengan gedung dan
guru-guru berkemampuan setengah-setengah, belum pendidik yang benar-benar mampu
mendidik siswanya dengan baik. Hasilnya adalah anak-anak berkemampuan rendah
atau pas-pasan, dengan pengutamaan aspek pengetahuan secara dangkal.
Ketiga, sekolah yang tidak peduli
dengan masa depan anak didik karena yang dipentingkan adalah pemasukan uang.
Sekolah macam ini, selain tidak memiliki gedung dan guru-guru yang memadai,
juga tidak menyediakan ruang-ruang untuk penyaluran bakat siswa. Guru-guru dan
orangtua tidak berperan banyak dalam mendidik anak ke arah yang lebih baik.
Para siswa pun berpotensi melakukan tawuran.
Bagaimanapun, model sekolah kedua
dan ketiga harus diubah agar menjadi sekolah model pertama di mana ruang
bermain siswa tersedia. Dalam mengajar, guru tidak sekadar mendiktekan
pelajaran. Tapi bersikap terbuka, merentangkan tangan lebar-lebar untuk
memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan bakat hingga menemukan
identitas dirinya. Kalau anak-anak muda merasa tak dimanusiakan dan tak
memiliki ruang untuk menyalurkan hobi, mereka bisa frustrasi dan lari ke narkoba
atau melakukan kekerasan lewat perkelahian.
Saya menengarai, setelah
pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah dihapuskan, kemudian jam pelajaran
agama masing-masing siswa ditambah dan dipolitisasi supaya tidak saling pindah
agama, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan anak. Etika, sopan santun,
sikap, dan perilaku berbudi luhur cenderung terlupakan. Para siswa pun jadi
kurang menghargai toleransi, kebersamaan dan rasa persatuan karena terjebak
pada sikap ego pribadi.
Apalagi, kita makin
"nol" keteladanan. Beberapa televisi lebih banyak menyajikan tayangan
yang kurang mendidik. Lihat, acara Jakarta Lawyer Club. Bagaimana orang-orang
saling merendahkan, memaki, dan gontok-gontokan yang dipertontonkan secara
terbuka di hadapan pemirsa, termasuk anak-anak.
Seperti pernah diperkenalkan Romo
Mangunwijaya bahwa edukasi dasar perlu dimulai sejak dini. Dari TK, anak-anak
harus sudah diajari kemampuan kognitif dan kreativitas seni secara seimbang.
Ini agar terbentuk karakter (character building) anak hingga memiliki identitas
diri yang kuat. Sekaligus untuk mengubah mental bangsa terjajah yang bermental
kuli, pengecut, dan selalu nebeng orang lain, menjadi lebih baik dan
bermartabat.
Mudji
Sutrisno ;
Budayawan
SUARA
KARYA, 28 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi