Lagi-lagi, wajah dunia pendidikan
kita tercoreng! Betapa tidak, hanya dalam waktu dua hari tragedi tawuran yang
menelan korban jiwa kembali terjadi di Ibu Kota Jakarta. Pertama, terjadi
tawuran Senin (24/9/2012) antara pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 di bilangan Blok M,
mengakibatkan seorang siswa tewas terkena bacokan senjata tajam. Tawuran kedua
terjadi di Manggarai, Jaksel, antara SMK Yayasan Karya 66 dan SMA Kartikaa Zeni
yang juga menimbulkan korban jiwa seorang pelajar pada Rabu (26/9/2012). Parahnya,
FR, tersangka kasus pembacokan di Blok M, Jaksel, tampak tak menunjukkan
penyesalan sama sekali atas tindakannya itu.
Tak pelak, deretan kasus ini
laksana tamparan serius bagi para stakeholders (pemangku kepentingan) dunia
pendidikan. Sungguh, tawuran sudah menjadi fenomena yang meluas. Artinya,
institusi pendidikan tampaknya gagal mendidik siswa-siswa mereka menjadi
pribadi yang diharapkan muncul dari pendidikan. Yaitu, mengutip Anita Lie dalam
Cooperative Learning (2005), siswa menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu
hidup berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya.
Sejatinya, ada dua mata rantai
yang bisa teramati dari peristiwa tawuran di atas. Pertama, tawuran sebagai
institusi atau pranata. Maksudnya, sebagai suatu nilai yang sudah demikian
melembaga serta dihayati betul oleh para anggota suatu kelompok.
Dalam kerangka antropologi,
tawuran adalah semacam perekat identitas khas kelompok dan berperan sebagai
ritus akil baliq atau inisiasi (rites of passage) bagi para anggota baru
kelompok.
Dalam masyarakat tradisional,
ritus itu bisa berupa tugas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang
memiliki budaya tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri.
Jadi, seorang pelajar baru, tidak
akan dianggap sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika
dia tidak melewati ritus akil baliq berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran
akan menegaskan identitas kelelakian sempurna atau kedewasaan seorang pelajar,
sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih
luas. "Filosofi" ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan
kekuatan fisik khas laki-laki yang militan atas orang lain yang menciptakan
budaya militerisme.
Tanpa melakoni ritus tawuran,
seorang pelajar akan diberikan stigma sebagai "warga kelas dua" atau
warga belum dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana
mereka, yang sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dari
istilah-istilah ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.
Kedua, aspek hilangnya
keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh perilaku
positif. Cakupan panutan, yang biasanya berusia lebih tua itu, mulai dari
orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa. Inilah buah dari
praktik-praktik tak patut para "orangtua" kita yang menghiasi media
dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik
antarkelompok, kebohongan publik, dan lain-lain.
Solusi
Konkret
Beranjak dari dua hal di atas,
sebetulnya kita bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata
rantai tawuran yang sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of
passage tawuran yang berbau militerisme ke arah budaya militer yang genuine
(sungguhan). Maksudnya, para murid SMA bisa diberikan latihan kemiliteran
selama, misalnya, satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS).
Tujuannya, supaya siswa
mendapatkan nilai-nilai militer sejati yang positif seperti patriotisme, jiwa
ksatria, kehormatan, etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya
militerisme berubah menjadi budaya militer yang lebih konstruktif. Pemberian
latihan militer ini, sebagai contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik
dan terbukti berhasil meredam potensi kekerasan di antara mahasiswa.
Kedua, kita seyogianya mulai
memberikan tingkah laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya
tercipta rasa hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi, yang
perlu memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab,
merekalah yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu
dengan siswa.
Terakhir, perlu diberikan suatu
pelajaran etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995),
dalam kurikulum SMA. Khususnya lagi, etika kepedulian (ethics of care).
Kurikulum etika kepedulian itu seyogianya memasukkan ke delapan ciri kepedulian
yang diberikan MC Raugust (1992). Satu, etika kepedulian mengutamakan hubungan
saling peduli terhadap orang lain. Dua, orang dalam situasi khasnya
masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.
Tiga, menjunjung tinggi
individualitas, bukan individualisme. Maksudnya, masing-masing individu, sesama
pelajar, wartawan, atau siapa pun, wajib diterima sebagai pribadi yang unik,
membuat mereka saling membutuhkan. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan
saling memberi dan menerima ketimbang menerima saja kebaikan orang lain.
Empat, etika ini berfokus pada
pribadi yang konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonim. Lima,
keputusan diambil berdasarkan konteks dan kekhususan kasus, bukan berdasarkan
universalitas situasi dan kondisi. Enam, hubungan antarmanusia dipandang sebagai
proses jangka-panjang, bukan jangka-pendek.
Tujuh, kebajikan (virtue) lebih
diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli
haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk
melaksanakan aksi tersebut.
Semoga kita tidak lagi
menyaksikan babakan kelam dunia pendidikan, tawuran antar-pelajar.
Satrio
Wahono ;
Budayawan
SUARA
KARYA, 28 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi