Setelah Organisasi Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengumumkan subak dari Bali
sebagai budaya warisan dunia akhir Juni lalu, pekan ini, penghargaan itu resmi
diserahkan. Subak menjadi warisan dunia kedelapan di Indonesia.
Tujuh lainnya adalah Taman
Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Candi Borobudur, Candi Prambanan,
Situs Sangiran, Taman Nasional Lorentz, dan hutan hujan tropis Sumatera yang
mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan.
Konvensi UNESCO 1972 tentang
warisan dunia terinspirasi dari penyelamatan monumen Abu Simbel dan candi
lainnya di Nubia yang terendam banjir Sungai Nil ketika bendungan Aswan
dibangun. Aksi penyelamatan candi pada 1960 menarik perhatian 50 negara dan
terkumpul donasi 80 juta dollar AS. Kini UNESCO telah menetapkan 962 warisan
dunia di 157 negara.
Irigasi
persawahan
Subak adalah pengelolaan irigasi
persawahan secara komunal yang menjadi perekat sosial dan ketahanan pangan.
Kawasan warisan dunia 19.500 hektar itu meliputi lima kabupaten: Buleleng,
Tabanan, Gianyar, Badung, dan Bangli, termasuk Danau Batur dan Pura Taman Ayun.
Sistem subak dan peran pura di
dalamnya mengingatkan pada Kerajaan Tiwanaku di Bolivia di ketinggian 4.500
meter di atas muka laut. Kerajaan ini punah pada abad XI, meninggalkan candi
batu Kalasasaya dan sisa kanal-kanal pertanian. Sistem pertanian di dataran
tinggi Andes ini sekarang punah dan masyarakat Tiwanaku bergantung pada
pengawetan kentang dan daging sapi untuk pangannya.
Subak luar biasa karena sudah
dipraktikkan lebih dari 1.000 tahun dan masih lestari sampai hari ini. Namun,
tantangan yang dihadapinya dahsyat. Ada degradasi lingkungan karena perubahan
penggunaan lahan akibat turisme, peternakan, perhotelan, industri air minum,
dan pariwisata air terjun. Maka, hutan di Bali tinggal 22 persen dan dari 400
sungai sumber air subak, 260 mengering. Irigasi 82.000 hektar sawah subak
terancam.
Sejak menjadi warisan dunia, tamu
jadi ramai sekali. Mereka berjalan berkeliling merusak pematang sawah sehingga
perlu segera koordinasi dari berbagai pihak yang berwenang.
Lanskap budaya Bali ini
meruntuhkan terminologi the tragedy of the common ahli ekonomi Garrett Hardin
bahwa sumber daya alam selalu dikontrol oleh segelintir orang dan akan
dieksploitasi dalam era globalisasi karena tiap individu apalagi yang memiliki
perusahaan dapat meraup sumber daya alam. Menurut Tim Harford di Financial
Times, betul bahwa sumber daya alam akan hancur akibat keserakahan dan egoisme.
Namun, Hardin lupa bahwa sumber daya alam dapat dikelola komunitas. Subak
adalah contohnya. Ekonom Elinor Ostrom, pemenang Nobel ekonomi tahun 2009, juga
meneliti sumber daya yang dikelola komunitas nelayan lobster di Main, juga
irigasi di Spanyol.
Subak luar biasa karena
mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang memadukan teknologi dengan ritual
keagamaan dan tata sosial masyarakat. Stephen Lansing yang meneliti subak
menyimpulkan bahwa menanam varietas padi yang sama dan pembagian air melalui
kongregasi anggota subak merupakan cara untuk menghalau hama tikus, serangga,
dan penyakit.
Upaya
Pelestarian
Pelestarian subak adalah
pelestarian air, ketahanan pangan, dan pelestarian kehidupan. Prediksi
akademisi, tahun 2050 dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di kota. Dalam
ekosistem, kota adalah konsumen dan desa sebagai produsen.
Sayang, desa penghasil pangan
semakin sedikit jumlahnya sehingga subak menjadi semakin penting untuk
dilestarikan meski tidak gampang mewujudkannya. Perlu aturan dan ketaatan agar
tidak ada perubahan fungsi lahan, ketegasan pengelolaan tata ruang, serta
penanganan sistem pertanian secara baik dan benar.
Sistem
Nilai
Subak lebih dari sekadar sistem
irigasi. Ada juga sistem nilai, adat-istiadat, dan ritual yang menjaga kelestarian
air dan kehidupan. Perlu dialog ABCGM (akademisi, bisnis, komunitas,
pemerintah, dan media) agar petani mendapat keuntungan, misalnya dengan
mewujudkan wadah koperasi untuk kunjungan turis, mendapat bantuan dalam
pemasaran, dan branding beras organik Bali.
Turis datang jangan sampai hanya
melihat sawah, tetapi ada pedoman buku saku tentang nilai budaya di dalamnya.
Perlu dipertimbangkan pula rute turis agar tidak menginjak-injak pematang sawah
dan merugikan petani, serta pembatasan jumlah pengunjung. Makin menarik bila
turis bisa memandang undak-undak sawah dari balon udara seperti di Masai Mara
Afrika.
Tanpa komunitas, nilai dan budaya
terkikis maknanya. Air ini oleh anggota subak dibagi dengan hukum adat
awig-awig, air disucikan dengan ritual di pura-pura, dan ada denda bagi mereka
yang mencuri air. Dalam Subak, tata kelola air irigasi sawah secara komunal
merupakan manifestasi filosofi Tri Hita Karana yang menggambarkan hubungan
manusia dengan Tuhan (parhyangan), alam (palemahan), dan orang (pawongan).
Sistem nilai budaya mengelola
sumber daya air secara komunal merupakan nilai penting untuk diplomasi budaya.
Diplomasi budaya bukan rumah fisik, ia cair mengalir sebagai tata nilai,
tradisi, dan seni unik yang berbeda dari negara lain.
Diplomasi budaya sebagai bagian
dari diplomasi publik menjadikan bangsa lain ingin mengenal dan belajar tentang
kita. Ketika subak ditetapkan sebagai warisan dunia, ia menjadi iklan gratis
terhadap 195 negara anggota UNESCO lainnya.
Etty
Indriati ;
Antropolog;
Dosen Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,
29 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi