Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh mengungkapkan bahwa akan ada perubahan kurikulum. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan yang kini sedang berlangsung—meski baik—dianggap kurang
cocok dengan zamannya, maka perlu diperbarui (Kompas, 5/9).
Apa yang diharapkan dari
kurikulum baru? Kurikulum baru idealnya memperhatikan minimal konteks anak
zaman yang mau dibantu, kritik pendidikan yang banyak muncul terhadap Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini, dan kebutuhan bangsa ke depan.
Konteks
Anak Zaman
Anak sekarang termasuk anak
generasi Z (generation net). Mereka kebanyakan sudah terbiasa berkomunikasi
menggunakan internet, Facebook, Twitter, Blackberry. Mereka hidup dalam budaya
serba cepat sehingga tak tahan dengan hal-hal yang lambat. Mereka anak-anak
budaya instan yang serba ingin berhasil dalam waktu cepat dan kalau bisa tanpa
usaha keras.
Anak-anak ini butuh model
pendekatan dan model belajar yang berbeda. Mereka sudah terbiasa dengan
internet, maka model pembelajaran harus menggunakan teknologi modern itu. Kalau
tidak, mereka akan bosan.
Mereka sudah sering mengerjakan
berbagai persoalan dalam satu waktu. Kalau mereka mengerjakan PR, mereka
sekaligus juga membuka laman lain, sambil masih bicara dengan teman lewat HP
dan chatting dengan teman lain lagi lewat Facebook.
Perhatiannya biasa terpecah dalam
berbagai hal. Dalam mempelajari suatu bahan mereka tak mau urut, kadang dari
belakang, kadang dari tengah, kadang dari muka. Ini berarti model pendekatan
linear sudah kurang tepat bagi mereka. Perlu dicarikan model-model yang
berbeda.
Kemajuan teknologi internet dan
media menjadikan anak sekarang dipenuhi berbagai informasi dari segala penjuru
dunia. Di tengah kekacauan informasi dan nilai ini mereka dituntut lebih punya
keterampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta mengambil
keputusan bagi hidupnya. Maka, ke depan, kurikulum, model dan cara pembelajaran
harus mampu membantu anak menganalisis secara kritis, memilih, dan mengambil
keputusan dalam hidup.
Karena guru bukan lagi satu-
satunya sumber belajar dan pengetahuan, sikap anak terhadap guru pun berubah.
Guru bukan satu-satunya yang harus dihormati. Maka, sikap guru pun harus
berubah: bukan sebagai orang pinter yang akan menggurui, melainkan lebih
sebagai fasilitator yang menjadi teman belajar. Guru tidak perlu marah bila
kurang didengarkan oleh anak.
Beberapa kritik terhadap sistem
pendidikan kita, terutama level SD hingga menengah, mengungkapkan bahwa mata
pelajaran terlalu banyak, ada 14-16 macam. Jumlah mata pelajaran yang begitu
banyak, dengan jam yang sedikit, menjadikan siswa tidak terlatih belajar
bertekun dan mendalam. Mereka mudah puas pada lapisan atas saja. Maka,
kemampuan mengolah bahan, menganalisis secara kritis bahan, kurang terjadi.
Pendidikan kita masih terlalu
menekankan segi kognitif. Ini pun masih terbatas pada mencari nilai angka, bukan
kemampuan menganalisis secara kritis dan mendalam suatu bahan. Akibatnya, nilai
karakter sangat dibutuhkan bagi kejayaan bangsa ini kurang mendapatkan tekanan.
Tujuan pendidikan pada jenjang
SD, SMP, SMA kurang begitu jelas. Sebenarnya apa yang diharapkan bila anak
lulus SD, SMP, dan SMA? Kompetensi atau tujuan yang ingin dicapai ini perlu
jelas, tak terlalu banyak, dan dapat dimengerti oleh siapa pun.
Kita perlu sadar, kita mendidik
anak Indonesia, bukan manusia dewasa Indonesia. Maka, tuntutan kepada anak pun
harus terbatas. Dalam UU Sisdiknas dan juga dalam standar pendidikan, anak-
anak kita terlalu banyak dituntut sesuatu yang sebenarnya lebih merupakan
tuntutan bagi orangtua. Akhirnya, kalau hal itu tidak terjadi, kita frustrasi
dan anak mengalami beban berat.
Demi keutuhan bangsa ini,
anak-anak bangsa harus rela menerima perbedaan di antara kita dan belajar hidup
dalam semangat perbedaan itu. Maka, semangat multikultural dan penghargaan
kepada tiap-tiap pribadi manusia harus ditekankan.
Kurikulum
ke Depan
Berdasarkan beberapa analisis di
atas, kurikulum baru diharapkan memuat beberapa hal. Pertama, tujuan yang jelas
untuk setiap jenjang SD, SMP, dan SMA. Tujuan ini harus singkat, sederhana,
sesuai jenjangnya, dan mudah dimengerti oleh siapa pun.
Kedua, jumlah mata pelajaran
perlu dikurangi sehingga anak dapat belajar lebih mendalam, dapat berpikir
lebih kritis.
Ketiga, pendidikan sikap dan
karakter harus dapat tekanan, bukan hanya pengetahuan.
Keempat, kurikulum yang membantu
anak dapat belajar memilih dan mengambil keputusan dalam levelnya.
Kelima, kurikulum yang juga
menunjang kesatuan bangsa, maka pendekatan multibudaya dan penghargaan pada
nilai manusia mendapatkan tekanan.
Keenam, metode dan model
pembelajarannya disesuaikan dengan situasi anak zaman.
Ketujuh, bentuk evaluasi,
termasuk UN, perlu dikembangkan dengan menekankan kemampuan berpikir kritis dan
bernalar.
Paul
Suparno ;
Dosen
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
KOMPAS,
29 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi