TAWURAN pelajar mengakibatkan
sesama mereka luka-luka, bahkan hingga kehilangan nyawa! Pelajar menjadi
pembunuh! Sebutan itu berat masuk di nalar, tapi nyata. Kejadiannya kian kerap
terulang.
Tragedi tersebut menghangatkan
kembali wacana tentang pentingnya pendidikan karakter. Saya setuju. Orang tua
perlu berperan lebih aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka, dan tidak
''memasrahkan''-nya kepada pihak sekolah semata. Baguslah itu. Siswa perlu
diberi kesempatan lebih luas untuk mengekspresikan gairah muda sesuai tuntutan
psikologis mereka. Ide yang pantas didukung.
Tapi, semua gagasan tersebut
butuh waktu tidak singkat agar dapat berproses, sehingga menghasilkan manfaat
yang diharapkan. Masalahnya, problem paling akut saat ini, menurut saya, adalah
menindak para pelajar yang menjelma sebagai pembunuh tersebut.
Kenakalan
dan Kejahatan
Pelajar yang melakukan
pembunuhan, sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), bisa jadi masih
berusia anak-anak. Di dalam UUPA tercantum bahwa anak adalah individu sejak
berada dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Kelakuan mereka yang tidak baik
lazimnya dikategorikan sebagai kenakalan, bukan kejahatan. Konsekuensinya, anak
yang sebenarnya telah melanggar hukum tidak patut dipidanakan.
Sebagai gantinya, kepada mereka,
dikenakan cara-cara alternatif (alternative dispute resolution) seperti group
conferencing. Tujuannya lebih pada membingkai persoalan anak sebagai persoalan
keluarga, sekolah, bahkan masyarakat luas. Dengan pendekatan seperti itu,
diyakini peluang keberhasilan proses edukasi ulang akan lebih besar
menghasilkan anak dan keluarga (terutama orang tua) dengan perilaku yang telah
termodifikasi.
Kesannya, sampai di situ memang
ideal. Tapi, kalau kita mau konsekuen dengan UUPA, berarti pelajar yang telah
melanggar hukum tidak dipidana, faktanya, pernahkah ada alternative dispute
resolution yang diselenggarakan secara paripurna? Apakah pernah, misalnya,
kedua keluarga (pelaku dan korban) dipertemukan? Apakah pemantauan berkala
dilakukan terhadap anak dan keluarganya oleh otoritas terkait semacam dinas
sosial? Paling tidak, karena pendekatan non pemidanaan membutuhkan dana yang
tidak kecil serta kerja sistemik yang komprehensif, terintegrasi, serta
berkesinambungan, saya ragu ada cerita sukses tentang pelaksanaan cara-cara
alternatif dalam mengatasi anak Indonesia yang bermasalah dengan hukum.
Soal lain, kelakuan-kelakuan keji
seperti yang dilakukan pelajar-pembunuh kerap dipandang sebagai manifestasi
buruknya pengasuhan orang tua. Sekali lagi, jika kita mau konsekuen dengan UUPA
dan pandangan tersebut, siswa (anak) pembunuh itu sesungguhnya berhak diasuh
atau diangkat orang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku (pasal 7 UUPA).
Bahkan, pasal 13 UUPA menegaskan bahwa orang tua yang tidak melaksanakan
kewajiban pengasuhan sebagaimana mestinya, baik dengan menelantarkan maupun
memperagakan kekejaman atau perlakuan salah lainnya, dikenai pemberatan
hukuman.
Sebagai catatan, penelantaran
maupun kekejaman dan perlakuan salah merupakan tiga penjelasan umum tentang
penyebab perilaku-perilaku buruk anak. Anak menampilkan perilaku buruk sebagai
cara untuk menarik perhatian karena telah ditelantarkan atau sebagai balas
dendam karena telah diperlakukan secara keji atau wujud duplikasi perilaku
karena sehari-hari melihat orang tua ''berkomunikasi'' dengan mengandalkan
kekerasan.
Kenyataannya, saya juga tidak
percaya ada majelis hakim yang telah menyandarkan diri pada UUPA untuk
menghukum orang tua anak berdasar kondisi-kondisi tersebut.
Atas dasar itu, titik
berangkatnya, saya mengusulkan dilakukannya perubahan terhadap pengategorian usia
anak. Usul ini dilatarbelakangi pandangan bahwa dalam kejadian ekstrem siswa
membunuh siswa lain, saya justru melihat penggunaan acuan usia anak berdasar
UUPA tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban.
Amicus
Curiae
Berbeda dari UUPA yang menetapkan
kategori anak-anak berdasar usia biologis, agar proses hukum dapat berjalan ke
depan, perlu dipertimbangkan bahwa penetapan kategori anak maupun pasca-anak
diperhitungkan berdasar usia psikologisnya. Pergeseran penetapan usia anak ini
diutamakan pada kasus-kasus berat, termasuk pembunuhan.
Dengan melibatkan amicus curiae
seperti dari kalangan psikologi perkembangan, daya nalar anak ditakar. Bila
pelajar yang membunuh tersebut disimpulkan sudah mempunyai pemahaman yang
memadai tentang baik buruk atau benar salah, menurut saya, tidak tepat lagi dia
tetap dikategorikan sebagai anak hanya karena UUPA by default mengelompokkan
usia biologisnya sebagai usia anak-anak.
Sebagai gantinya, pelajar yang
bukan anak lagi tersebut dimintai pertanggungjawaban secara pidana. KUHP
ditegakkan. Undang-undang orang dewasa. Demikian pula, sejumlah pasal ketentuan
pidana dalam UUPA (bab XII) ditegakkan tidak untuk meringankan ancaman bagi si
pelaku, melainkan guna memberikan pemberatan sanksi bagi siswa-pembunuh tersebut.
Begitu juga untuk siswa
provokator. Logika kerja yang sama, yakni penetapan kategori pasca-anak
berdasar usia psikologis, bisa diterapkan terhadap siswa-siswa senior yang
telah memprovokasi adik-adik kelas mereka untuk memusuhi bahkan mencederai dan
menghabisi siswa-siswa dari sekolah yang berbeda. Siswa provokator dapat
dijerat dengan dua pasal.
Pertama, pasal 160 KUHP:
''Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya
melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum..., dihukum dengan penjara
selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.00.''
Kedua, pasal 87 UUPA: ''Setiap
orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak... atau pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan... dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).''
Laksanakan!
Reza
Indragiri Amriel ;
Dosen
Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara
JAWA
POS, 29 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi