Guru itu lentera kehidupan.
Perjumpaannya bersama para murid adalah perjumpaan yang mencerahkan. Guru hadir
menyingkapkan tabir gelap para muridnya dengan ilmu dan tubuhnya. Pendeknya,
hidup guru adalah lentera bagi para muridnya.
Hal itu penulis sadari ketika
membaca kisah-kisah guru kehidupan. Pada buku Tokoh + Pokok (2011), Goenawan
Mohamad menulis kisah guru-guru besar negeri ini. Ada kisah tentang Kartini
yang kental dengan tema ”Habis Gelap Terbitlah Terang”, juga Hatta atau
Sjahrir. Tokoh-tokoh ini menginspirasi kehidupan bangsa kita hingga hari ini.
Ada yang sama dari kisah mereka.
Ketiga tokoh itu mengalami masa-masa kehidupan yang sulit. Mereka punya
pengalaman ketertindasan sebagai manusia, terlebih sebagai bangsa. Yang
menarik, dan mungkin yang membuat mereka berbeda, adalah mereka tak hanyut oleh
nestapa. Masa sulit dan penindasan justru memantik semangat juang mereka untuk
menggapai kehidupan yang lebih cerah. Lebih mengagumkan lagi adalah mereka
peduli dan berjuang untuk mencerahkan sesama.
Pada peristiwa itu kita belajar
bahwa situasi sulit, bahkan ekstrem sulit, kadang berguna bagi proses pencerahan.
Dalam situasi hidup yang tidak ideal itu seseorang seperti bertarung dan
diseret hingga sampai pada kesadaran diri terdalamnya. Memang ia bisa menyerah
dan musnah. Namun, ketiga tokoh kita itu menunjukkan kemungkinan lain, yaitu
berpikir dan bertindak yang lain demi menggapai pencerahan diri dan bangsanya.
Di sini kita belajar: kehidupan yang tidak ideal adalah ruang dan saat yang
istimewa bagi seorang pendidik.
Kreatif
dalam Keterbatasan
Kisah para guru Laskar Pelangi
menunjukkan hal serupa. Kehidupan yang sulit terkadang justru menuntun para
guru untuk menemukan kemungkinan lain dalam mendidik dan mencerdaskan anak
didiknya.
Hingga hari ini kita selalu saja
dibuat kagum dengan cara-cara sederhana tetapi cerdas dari para guru di tempat
pembelajaran yang sulit untuk mencerdaskan para muridnya. Itulah yang sering
ditunjukkan para guru kreatif. Keterbatasan justru sering menjadi ruang yang
menantang sekaligus menuntun mereka untuk menemukan metode pembelajaran yang
terbaik.
Di sini kita belajar, pergulatan
guru menerabas kehidupan yang sulit, tertindas, dan menantang adalah berkat
bagi kehidupan, khususnya dunia pendidikan. Para guru yang berhasil menerabas
kesulitan hidup dengan tetap merawat idealisme sebagai pendidik pada akhirnya
memuncratkan gairah hidup dan mencerahkan kehidupan. Itu tak mengherankan
karena para guru semacam itu hidupnya dilimpahi semangat juang. Ia memompa daya
juang dan menolak menjadi pecundang kehidupan.
Jiwa guru yang menolak
dipecundang realitas kehidupan yang pahit pada akhirnya menyengat jiwa anak
didiknya. Menolak dipecundang adalah ekspresi tentang berpikir yang lain
(alternatif). Dengan sikap itu seorang guru tidak mudah tunduk, kalah, dan
menyerah. Ia tetap mampu menjadi orang bebas yang berpegang teguh pada prinsip dan
idealisme.
Sampai di sini kita menyadari,
guru yang bebas adalah guru yang mampu berpikir serta bersikap yang lain
tentang realitas hidupnya yang sulit. Lalu mereka memperjuangkan sikapnya
dengan sebuah aksi nyata. Pelan-pelan ia kian membadankan karakter sebagai
manusia bebas itu hingga menjadi spontanitas ekspresi hidupnya. Guru-guru
semacam itu bakal menyalakan api kerinduan jiwa akan kebebasan yang menuntun
kita untuk berpikir yang lain.
Negeri ini butuh guru-guru
semacam itu. Guru yang berlimpah semangat juang, menolak menjadi pecundang,
teguh pada idealisme, hingga mampu menawarkan dan melakukan yang lain. Guru
semacam itulah yang bakal terus menggulirkan kehidupan.
Sidharta
Susila ;
Pemerhati
Pendidikan; Tinggal di Muntilan, Magelang
KOMPAS,
27 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi