BEBERAPA elemen penting dari
otonomi daerah (otoda) saat ini sedang dipersoalkan oleh banyak kalangan.
Paling baru, Munas PB NU di Cirebon yang baru usai merekomendasikan agar
pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) ditiadakan. Bupati dan wali kota
cukup dipilih oleh DPRD seperti sebelum otoda, sedangkan pemilihan gubernur
masih dimungkinkan memakai sistem sekarang. Pertimbangannya adalah mahalnya
pengeluaran pemerintah (dari APBN dan APBD) untuk membiayai pilkada, ongkos
kandidat makin menjulang (akibat praktik politik uang) sehingga meruapkan
korupsi (setelah calon terpilih), dan kerap menimbulkan konflik sosial berlatar
SARA.
Tetapi, di luar itu, dari sisi
ekonomi, juga terdapat fenomena lain yang tidak kalah gawat sehingga kaji ulang
terhadap konsep desentralisasi ekonomi sangat dibutuhkan. Aneka paradoks
ekonomi menyeruak sehingga wajah otoda menjadi compang-camping.
Paradoks
Otonomi Daerah
Dari tinjauan ekonomi,
sekurangnya terdapat empat paradoks otoda yang laik dipertanyakan secara
saksama. Pertama, desentralisasi dimaksudkan untuk menggeser sentralisasi
pembangunan ke luar Jakarta (atau secara umum luar Jawa) sehingga beban ekonomi
dan penduduk bisa disebar ke daerah-daerah lain. Namun, alih-alih hal itu
terjadi, otoda justru makin memerkuat peran perekonomian Jawa (dan Sumatera)
dalam konfigurasi perekonomian. Sekarang, sekitar 82 persen PDRB (produk
domestik regional bruto) Indonesia dikuasai oleh dua pulau tersebut, yang makin
meningkat seiring dengan implementasi otoda.
Kedua, semangat desentralisasi
juga dipahami untuk mengurangi peran campur tangan pemerintah (baik pusat
maupun daerah) dalam perekonomian. Fungsi regulasi tetap harus dijalankan,
namun hanya terhadap aspek-aspek yang memang betul-betul diperlukan agar tidak
disinsentif bagi perekonomian. Tetapi, sejak otoda diselenggarakan, kurang
lebih terdapat 13 ribu perda bermasalah dan sekitar 4.000 yang telah dibatalkan
oleh Kemenkeu dan Kemendagri.
Ketiga, otoda secara implisit
mengharapkan adanya partisipasi kegiatan ekonomi yang lebih luas kepada
masyarakat sehingga peran pemda (lewat APBD) makin mengecil. Sayangnya,
ketergantungan beberapa daerah terhadap APBD juga tidak mengecil meskipun
desentralisasi ekonomi telah berjalan hampir 12 tahun. Di beberapa provinsi dan
kabupaten, nyaris ekonomi hanya bergerak dengan topangan belanja pemda.
Pengusaha hidup dari proyek-proyek pemda, seperti pembangunan infrastruktur.
Keempat, otoda secara eksplisit
memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk mendesain kebijakan dan
menjalankan program sehingga model penyeragaman kebijakan (yang disodorkan
pemerintah pusat) sudah tidak terjadi lagi. Tetapi, harapan itu nyatanya tidak
seluruhnya benar. Sebab, beberapa program vital, seperti kemiskinan, masih
dikuasai oleh pemerintah pusat. Pemda cuma diberi ruang sedikit untuk
memodifikasi konsep yang didesain oleh pusat.
Perubahan
Gradual
Implikasi dari paradoks-paradoks
di atas menimbulkan masalah yang cukup pelik untuk dipecahkan. Misalnya, pada
2011 masih ada sekitar 23 provinsi yang mendapat bagian (share) PMA kurang dari
1 persen, bahkan 16 provisi bisa dikatakan nyaris tidak mendapatkan bagian
karena porsinya kurang dari 0,2 persen (BKPM, 2012). Pola yang sama persis juga
terjadi dalam proporsi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Ini tentu
menyedihkan sekaligus menerbitkan pertanyaan fundamental: akankah otoda masih
memiliki peluang untuk mendistribusikan pembangunan antardaerah?
Berikutnya, disparitas
pembangunan/investasi antardaerah tersebut mengakibatkan perputaran uang/modal
juga terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Tengok saja, DKI Jakarta pada 2011
menguasai 50,9 persen dana pihak ketiga dan menggenggam 49,1 persen kredit
perbankan, selanjutnya diikuti Jatim dan Jabar masing-masing dalam kisaran 7-9
persen (BI, 2012). Bisa dibayangkan, bila modal bank tidak tersedia,
pembangunan kian muskil dilakukan.
Harapan pembangunan daerah
akhirnya bertumpu kepada anggaran pemda (APBD). Masalahnya, struktur APBD dalam
banyak hal jauh lebih parah daripada APBN. Studi yang dilakukan oleh The Asia
Foundation (2011) menunjukkan, pada 2007 sekitar 65 persen dana transfer dalan
bentuk DAU (dana alokasi umum) habis untuk belanja PNS, yang kemudian pada 2010
melonjak menjadi 95 persen.
Data dari Kemenkeu (2011) juga
menunjukkan, selama periode 2007-2011 rata-rata pertumbuhan belanja pegawai
sebesar 29 persen, belanja barang 20 persen, belanja modal 9 persen, dan
belanja lainnya 19 persen. Padahal, belanja modal itulah yang diharapkan bisa
menstimulus pembangunan daerah, misalnya untuk alokasi infrastruktur. Studi
Indef (2011) juga menemukan, jika belanja daerah (APBD) dinaikkan 10 persen,
maka hanya menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Jika
DAU dan DAK (dana alokasi khusus) ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap
kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi, yaitu 0,03 persen dan
0,02 persen.
Deskripsi itu rasanya cukup untuk
melakukan kaji ulang terhadap konsep otoda, tidak saja secara politik, tetapi
juga ekonomi. Pemerintah tidak harus melakukan perombakan secara drastis,
tetapi opsi perubahan secara gradual lebih mungkin untuk diambil. Beberapa hal
penting yang perlu dilakukan, antara lain, (i) adanya pembatasan alokasi
belanja pegawai sehingga ruang APBD untuk pembangunan masih memadai, diikuti
dengan langkah reformasi birokrasi; (ii) formula dana transfer sebaiknya
ditambahkan dengan variabel beban daerah terbelakang, misalnya kemiskinan,
pengangguran, dan ketertinggalan infrastruktur; tidak cukup beban itu ditutup
dengan alokasi DAK; (iii) moratorium investasi asing (PMA) di Pulau Jawa, tentu
disertai dengan percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa; dan (iv)
mengembalikan kewenangan izin investasi SDA ke pemerintah pusat karena konsesi
eksplorasi SDA selama ini diberikan secara ugal-ugalan sehingga merusak
lingkungan. Tentu saja, ada hal-hal lain di luar ide ini yang masih perlu
didalami lebih lanjut.
Ahmad
Erani Yustika ;
Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
JAWA
POS, 26 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi