ADA tiga miskonsepsi terhadap
otonomi daerah (otoda) di Indonesia yang selama ini jadi pijakan kritik.
Pertama, praktik-praktik buruk otoda selalu ditimpakan kepada daerah. Padahal,
daerah hanyalah penerima desain otonomi. Sementara pemerintah (pusat) sebagai
desainer seolah bukan penyebab situasi itu.
Kedua, otoda lebih banyak
ditelaah sebagai disinsentif. Kritik-kritik tersebut lebih banyak mengedepankan
sisi negatif otoda. Sementara, praktik-praktik baik oleh daerah sepertinya
tidak mampu memuaskan para pengkritik.
Berikutnya, para pengkritik
menetapkan standar sempurna kebijakan otoda. Padahal, terbitnya UU 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah kala itu lebih tepat dikatakan sebagai peredam
semangat disintegrasi. Pemerintah sejatinya tidak menyiapkan kebijakan otoda
secara baik (well planned) dan cukup waktu untuk persiapan implementasinya
(well prepared). Melainkan sebagai strategi penyeimbang kala posisi pendulum
politik lebih kuat dipegang daerah.
Bila ditelaah secara kritis,
perdebatan otoda justru sengaja sedang digiring untuk mematenkan sudut pandang
pemerintah sebagai yang paling benar (getting fundamental right). Secara tidak
sadar, banyak substansi kritisisme terjebak dalam konstruksi perangkap
diskursus sentralisasi. Maka, tidak heran apabila banyak kritik yang muaranya
cenderung menganjurkan resentralisasi daripada memperkuat desentralisasi.
Miskomparasi
dan Miskompleksitas
Berbagai sodoran dan temuan
dampak negatif otoda lebih sering menampilkan fakta sepihak. Sebab, faktanya
Indonesia tidak memiliki praktik otoda sebelum 2001. Keberadaan UU 5/1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak bisa dikatakan sebagai cikal
bakal otoda. Sebab, itu baru diterapkan saat uji coba pada 1995 dengan transfer
kewenangan yang sangat terbatas.
Dengan kata lain, cukup sulit
membandingkan capaian-capaian daerah setelah otoda dijalankan. Sebab, daerah
sebelumnya tidak pernah mendapat delegasi kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri seperti sekarang. Alhasil, data dan fakta memburuknya
performa daerah sulit dijustifikasi.
Misalnya, kritik terkait
membengkaknya belanja pegawai daerah. Sangat logis apabila belanja pegawai
membesar karena sebelum otoda, sebagian besar birokrasi di daerah berstatus
pegawai pemerintah. Angka itu wajar naik fantastis karena setelah otoda terjadi
penyerahan personel dan anggaran, terutama bidang pendidikan.
Di tengah kenaikan alokasi APBD
untuk belanja pegawai, beberapa kritik luput dari salah satu indikasi
kemandirian fiskal daerah. Kabupaten dan kota sebenarnya semakin mengurangi
porsi dana alokasi umum (DAU). Untuk kasus Jawa Timur, the Jawa Pos Institute
of Pro-Otoda (JPIP) menemukan besaran rata-rata kontribusi DAU terhadap APBD
kabupaten dan kota menyusut dari 71 persen pada 2006 menjadi 58 persen pada
2010. Selain itu, pendapatan asli daerah (PAD) mengalami kenaikan tiap tahun.
Fakta penting lainnya yang sering
luput dari analisis anggaran setelah otoda adalah besaran transfer ke daerah.
Menurut data yang dirilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
dalam kurun 2007-2010 besaran transfer itu tidak pernah beranjak dari angka
30-an persen. Padahal, belanja negara terus naik.
Selain itu, tren ruang fiskal
kabupaten dan kota terus turun. Salah satu penyebabnya kebijakan pemerintah
menaikkan gaji PNS. Pada 2007, ruang fiskal daerah masih berada pada kisaran 64
persen. Sedangkan, 2010 nilainya turun hingga sekitar 51 persen. Karena itu,
cukup sulit menuntut perbaikan pelayanan publik dan sektor pembangunan daerah
lainnya.
Selain kritik yang sering
menampilkan wacana bias pusat, analisis kegagalan otoda tidak jarang disebabkan
dominasi cara pandang dan fakta normatif. Maka, tidak heran apabila fakta dan
analisis yang disajikan tidak lebih dari kampanye negatif otoda. Ironisnya,
praktik empiris pelaksanaan otoda tidak bisa dilepaskan dari kompetisi politik
lokal maupun dalam hubungan pusat-daerah.
Hadiz (2004) mengingatkan
kesalahan diagnosis kegagalan kebijakan desentralisasi bila hanya bertumpu pada
pendekatan rasionalitas teknis. Alasannya, fakta empiris di daerah maupun pusat
memperlihatkan bahwa proses kebijakan otoda melibatkan kekuasaan, pertarungan,
dan kepentingan.
Sehingga, kegagalan otoda tidak
bisa semata dipandang karena persoalan-persoalan teknis. Misalnya,
ketidakmampuan atau mismanajemen daerah dalam mengimplementasikan kebijakan
otonomi. Melainkan memasukkan pula unsur kompetisi kepentingan di daerah dan
antara pusat dan daerah.
Hubungan politik eksekutif dan
legislatif di daerah yang saling menyandera tentu bisa memperlambat akselerasi
kemajuan daerah. Begitu pula, delegasi kewenangan setengah hati pemerintah
kepada daerah akan berimplikasi serupa. Juga, hasil studi JPIP (2011) menemukan
beberapa hambatan otoda menurut versi kabupaten dan kota di Jatim.
Yakni, ketidaksesuaian kebijakan
pemerintah dengan kondisi daerah karena proses yang tidak partisipatif,
keterbatasan anggaran dan infrastruktur daerah, belum konsistennya pelaksanaan
UU 32/2004 oleh pemerintah, dan eksistensi provinsi yang ambigu. Secara elegan,
daerah mengakui pula kendala dinamika politik lokal pascapilkada.
Implikasi yang telah
teridentifikasi, antara lain, fakta politisasi birokrasi, tidak harmonisnya
hubungan kepala daerah dan wakilnya, dan sandera praktik politik transaksional
antara kepala daerah, DPRD, partai politik, serta aktor-aktor informal. Sejumlah
fakta problematik tersebut kemudian berimplikasi menghambat kinerja
pemerintahan daerah.
Untuk itu, yang dibutuhkan saat
ini adalah perspektif progresif yang berkarakter adil dan proporsional atas
otoda. Otoda dipahami sebagai kombinasi kebebasan dan kemajuan daerah. Dengan
kata lain, permintaan dan kebutuhan lokal bukanlah semata perwujudan daerah
untuk bebas.
Wawan
Sobari ;
Peneliti
JPIP, Sedang menyusun disertasi Doktor Ilmu Politik
di
Flinders University, Adelaide, Australia
JAWA
POS, 26 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi