RUU PT
dan Upaya Menaikkan Angka Partisipasi
Persoalan Rancangan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (RUU PT) ternyata bukan hanya soal otonomi yang kini ramai dibicarakan.
Ada hal lain yang juga perlu disampaikan dan amat strategis untuk masa depan
perjalanan sebuah perguruan tinggi.
Apa itu? Yakni berkait dengan upaya pemerintah
dalam menaikkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, dan
harmonisasi pendidikan vokasional dan akademik. Dua hal ini tentu bukan hanya
dalam pencapaian APK, tapi juga berkait dengan kesiapan dan peran perguruan
tinggi dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk mengisi pembangunan.
Itu
sebabnya dalam RUU PT ditegaskan tentang fungsi perguruan tinggi sebagai wadah
pendidikan calon pemimpin, pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
humaniora, serta sebagai pusat pengembangan peradaban bangsa (Pasal 25 ayat 1).
Tulisan berikut akan mengemukakan beberapa hal strategis dari RUU PT selain
persoalan otonomi.
Perguruan
Tinggi Komunitas
Satu
terobosan baru dalam RUU PT adalah akan diberlakukannya pendidikan perguruan
tinggi komunitas atau community college (CC).Program ini diharapkan dapat
meningkatkan bukan hanya APK PT, melainkan juga menjembatani kekurangsiapan
lulusan pendidikan memasuki pasar kerja. Pendirian program CC bukan tanpa
alasan. Beberapa studi menunjukkan nilai positif dari program CC. Sekadar
menyebutkan, studi yang dilakukan oleh Bernanke, B (2007).
Dalam
“Speech At the US Chamber Education and Workforce Summit”, CC memberikan
kontribusi nyata terhadap perluasan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi
karena biayanya murah, jadwal yang lentur, lokasi yang dekat, karena tersebar
merata di seluruh negara. Di AS hampir 50% mahasiswa mengikuti pendidikan
tinggi melalui CC. Community college sangat membantu pemenuhan kebutuhan
pelatihan khusus, pendidikan perbaikan (remedial), dan pendidikan orang dewasa.
Lebih dari itu,
melalui CC kebutuhan peningkatan APK dalam jumlah besar, dalam waktu cepat,
membutuhkan model-model baru pengelolaan pendidikan tinggi dan menengah, yang
antara lain dengan membangun CC minimal di tiap kota/ibu kota kabupaten.
Melalui CC, biaya pendidikan tinggi akan dapat ditekan karena peserta didik
tidak harus pergi terlalu jauh untuk bisa kuliah. Selain soal CC, dari sudut
pandang pemerintah, sedikitnya ada dua hal penting lain yang menjadi dasar
dalam penyusunan RUU PT.
Pertama,
semangat otonomi yang berlandaskan pada amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK),
31 Maret 2010, yang tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan;
pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan
pendidikan; dan tidak terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan,
sebagaimana terdapat dalam UU BHP yang telah dibatalkan MK.
Ini menjadi
amat penting, belajar pada UU BHP, RUU PT tidak boleh terulang lagi, setelah
diundangkan kemudian dibatalkan MK. Kedua, berkait dengan kesetaraan. Tidak
boleh lagi terjadi diskriminasi terhadap jenis pendidikan tinggi yang ada.
Selama ini di jalur politeknik diperlakukan diskriminatif berkait dengan
jenjang karier dan jabatan akademik. Itu sebabnya, dalam RUU PT, dimungkinkannya
jalur politeknik untuk membuka jenjang S-2 dan S-3 terapan, serta jabatan
akademik sebagai guru besar terapan. Sebelumnya jalur politeknik hanya
membatasi jabatan akademik tertinggi sampai golongan IVC (lektor kepala).
Soal
Otonomi?
Berkait
dengan otonomi, ada dua hal. Pertama, otonomi akademik, kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah. Hal ini sejatinya sudah
melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Itu sebabnya, kekhawatiran
terhadap RUU PT yang akan mengooptasi perguruan tinggi, terkikisnya daya kritis
perguruan tinggi, independensinya akan tergadaikan, adalah sesuatu yang tidak
akan terjadi.
Nilai
kebebasan akademik sejatinya telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam
lingkup individu-individu di perguruan tinggi, sebagai seorang ilmuwan dan
cendekiawan. Otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih
tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan
perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.
Bagaimana
dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, dan
penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya hal itu bagian
lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat ini
banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak
terakreditasi. Jika ini dibiarkan, bukankah masyarakat yang justru dirugikan?
Kedua, otonomi pengelolaan keuangan.
Para
pengelola perguruan tinggi berharap otonomi pengelolaan keuangan dapat diberikan
seluas-luasnya sehingga mereka bisa leluasa menentukan dan mengatur anggaran
perguruan tinggi. Tapi, sebagian masyarakat mengkhawatirkan, jika otonomi
pengelolaan keuangan diberikan seluas-luasnya pada tiap perguruan tinggi, bukan
mustahil penentuan biaya akan dilakukan seenaknya.
Kekhawatiran ini amat beralasan karena ketika
diberlakukannya UU PTBHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara), yang
kemudian dibatalkan oleh MK, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang
ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besaran biaya pendidikan. Itu
sebabnya dalam pengelolaan otonomi keuangan, khususnya bagi PTN, RUU ini telah
menyiapkan tiga pilihan otonomi yang akan diberikan.
Pertama,
PTN yang difungsikan sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola
pengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam PP 66 Tahun 2010 dan UU No 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997 tentang PNBP
(PPK-Negara). Kedua, sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola
pengelola keuangan badan layanan umum (BLU) juga telah diatur dalam PP 66 Tahun
2010 dan UU No1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997
tentang PNBP (PPK-BLU).
Ketiga,
perguruan tinggi negeri otonomi penuh sebagai badan hukum (PTN BH). Pola
pengelolaan otonomi dan transisi dari PPK-Negara ke PPK-BLU dan dari PPK-BLU ke
Badan Hukum (PTN BH) akan diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan
pemerintah ini penting karena sebelum pemberian hak otonomi penuh dalam
pengelolaan keuangan harus dapat dipastikan PTN yang bersangkutan telah
mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan; mampu melakukan pemberdayaan
terhadap sumber daya yang dimiliki; dan dapat melakukan sinergitas sehingga
tidak mementingkan diri sendiri.
Tiga hal
ini penting dimiliki sebelum sebuah PTN mendapatkan hak untuk menjadi PTN BH.
Tapi, apa pun diskusi yang berkembang baik di masyarakat maupun di lembaga
pembuat undang-undang, kita berharap kehadiran UU PT akan membawa manfaat baik
bagi masyarakat, dunia usaha, pengelola perguruan tinggi, pemerintah maupun
dosen. Semoga.
Sukemi
Staf
Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
SINDO, 12
Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi