Belajar
kepada Korban
Saya beruntung diundang Kontras ikut berbicara di
Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (Sehama) beberapa hari lalu. Saya
belajar banyak kepada para korban kekerasan, yang kebetulan menjadi peserta
forum itu. Saya ingin berbagi di sini karena saya percaya ini juga berharga
bagi publik.
Tema sesi saya, agama sebagai sumber daya
perdamaian. Ini bukan tema mudah, karena agama lebih sering dirujuk sebagai
sumber kekerasan. Contohnya banyak: dari kekerasan organisasi massa tertentu
berbendera agama di sekitar Jakarta hingga kasus Cikeusik.
Saya menghindar dari bicara soal teori atau kasus
di mana agama bisa menjadi sumber damai. Bahannya bukan tak ada, karena
belakangan makin berkembang studi-studi tentang tema itu. Saya hanya tak mau
bicara abstrak, menjanjikan yang muluk-muluk, ketika hati dan otak kita terus
diterpa berita soal kekerasan agama.
Saya memilih mengajak peserta menonton film The
Imam and the Pastor. Film dokumenter 39 menit ini memotret usaha Imam Asyafa
dan Pastor James, dua pemimpin agama yang dulunya bermusuhan, untuk
berekonsiliasi dan bersama menyebarkan nilai-nilai perdamaian di satu kota di
Nigeria. Digambarkan juga upaya mereka membangun lembaga antar-iman dan
kampanye bersama mereka di Nigeria, lalu Afrika, kemudian dunia. Film itu
diakhiri dengan keduanya saling berucap, “I love you.”
Suka-duka keduanya mengharukan. Karena keduanya
sama-sama amat taat dan merupakan korban, upaya rekonsiliasi jadi tak mudah.
Butuh waktu lama agar uluran tangan sang Imam diterima sang Pastor, dan trust
terbangun di antara mereka.
Rekonsiliasi mereka semula dibenci kedua komunitas
dari mana mereka berasal. Meski kadang berbeda pandangan, mereka terus saling
menghargai dan mencari titik-temu. “Kami sudah seperti suami-istri. Jika kami
pisah, kedua komunitas bisa kembali saling bunuh,” kata Pastor James.
Dokumenter ini sudah digunakan di banyak tempat
sebagai medium dialog dan upaya bina-damai antar-iman. Tapi saya tak tahu
apakah di sini sudah ada yang memanfaatkannya. Di Sehama, saya hanya
mencobanya.
Untungnya, para peserta antusias mendiskusikan
film itu. Penanggap pertama, peserta Kristen asal Ambon, mengaku semula tak
tahan menyaksikan film itu. Sebagai korban, dia tak suka jika ingatannya akan
konflik lama kembali muncul. Tapi akhirnya dia merasa terilhami oleh film itu.
Katanya, “Seharusnya para pemimpin agama kami berlaku seperti itu.”
Ini diperkuat tanggapan kedua, oleh peserta asal
Ambon juga, tapi kali ini seorang mahasiswa muslim. Baginya, tantangan terbesar
adalah bagaimana meyakinkan komunitas korban agar pilihan perdamaian dijadikan
satu-satunya pilihan. Ini tak mudah, karena kecurigaan dan ketegangan di antara
komunitas masih kuat.
Tanggapan sebaliknya datang kemudian, dari seorang
penganut Ahmadiyah dan korban kekerasan di Cikeusik. Dengan nada bergetar, dia
mengaku sulit berdamai dengan para “bangsat” penyiksanya, yang akibatnya--fisik
dan non-fisik--masih dan mungkin akan terus dia rasakan.
Atas beragam tanggapan itu, saya tak bisa bicara
banyak, apalagi menasihati satu kepastian. Menurut saya, siapa pun tidak akan
bisa.
Yang bisa saya katakan: ajakan damai hanya akan
bergema kuat jika para korban yang menyampaikannya. Makin tinggi “derajat”
korban seseorang, makin bergema ajakan damainya. Itulah yang terjadi di Afrika
Selatan: ajakan damai bergema kuat karena tak kurang dari Nelson Mandela, tokoh
anti-apartheid Kristen yang dipenjara hampir setengah abad, yang memeloporinya.
Tapi, belajar dari dokumenter di atas, kita juga
tak harus menunggu pembesar korban untuk “turun gunung”. Apalagi pemerintah.
Imam Ashafa dan Pastor James mewakili inisiatif dari bawah, akar rumput. Saya
tambahkan, di Ambon, inisiatif sejenis sudah mulai dilakukan oleh komunitas
Kofi Badati, yang jelas bersifat lintas-iman.
Untungnya, saya dibantu seorang peserta perempuan
dari Poso, yang mengaku anak seorang pendeta dan korban kekerasan. Sambil
bersedih, dia menceritakan bahwa konflik kekerasan di Poso hanya merenggut
nyawa kawan-kawannya, yang menyisakan trauma padanya, dan memisahkannya dari
sang ayah. Baginya, film ini sangat inspiring.
Saya juga dibantu seorang peserta muslim asal
Banten, yang secara terbuka meminta maaf, khususnya kepada peserta dari
Ahmadiyah. Saya ikut mendukungnya karena, sebagai bagian dari kelompok
mayoritas, kami jelas tidak berbuat banyak untuk menghalanginya, kalau bukan ikut
mendukungnya.
Saya tak tahu apa yang ada di benak peserta lain.
Tapi saya memperoleh banyak hikmah malam itu. Yang terbesar adalah bahwa saya
bukan apa-apa di depan para korban itu. Ya, mereka: yang diinjak-injak,
dipukuli, dibunuh, hanya karena mereka ingin menjalankan apa yang mereka yakini
sebagai kebenaran.
Mendengar mereka, melihat wajah mereka, saya
teringat kaum minoritas muslim di Eropa, Amerika, Cina, Filipina--dan Myanmar.
Kami, mayoritas muslim di negeri ini, jarang memuji Presiden Obama dan rakyat
Amerika yang mengizinkan sebuah Islamic center berdiri di dekat bekas Gedung
Menara Kembar yang dirobohkan teroris atas nama Islam. Tapi kami sigap bersuara
keras ketika kaum muslim dibantai di Myanmar.
Di Sehama, malam itu saya belajar betapa kami
munafik. Kami mau muslim dihargai, tapi kami tak mau menghargai orang lain.
Ihsan
Ali-Fauzi
Dosen
pada Paramadina Graduate School
KORAN
TEMPO, 11 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi