Kecerdasan
Memenangkan Pertarungan Politik
Kampanye pilkada DKI Jakarta sudah berakhir dan
dilanjutkan dengan pencoblosan hari ini. Segala janji politik dengan suguhan
ala jual kecap manis nomor satu sudah tak henti-hentinya digelontorkan. Semua
pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur beramai-ramai menunjukkan diri
sebagai figur yang lebih layak memimpin Jakarta lima tahun ke depan ketimbang
calon lainnya.
Memang, kampanye politik pemilu atau pilkada tidak
lain adalah suatu proses komunikasi politik dialogis antara para kontestan
dengan para konstituen. Dan dalam kampanye-kampanye politik itu, para kontestan
selalu berusaha untuk membangun image, citra dan pesona politiknya agar
keberadaan mereka menarik simpatik konstituen. Namun, apakah image politik
dapat terbangun dalam kampanye pemilu dengan waktu yang begitu singkat?
Pertanyaan tersebut layak diadopsi mengingat
kampanye politik baik dalam teori maupun dalam prakteknya selama ini secara
sederhana diartikan sebagai suatu aktivitas pengumpulan massa,
parade-mobilisasi massa, orasi politik, pemasaran atribut partai seperti
umbul-umbul, poster, spanduk, brosur dan pengiklanan di media massa. Jangka
waktu pelaksanaan kampanye sudah ditentukan oleh panitia pemilu yang sangat
terbatas yang kemudian diakhiri dengan pemungutan suara untuk menentukan
konstituen pemenang pilkada.
Padahal, terjadinya interaksi yang baik antara
konstestan dengan masyarakat secara efektif seharusnya dilakukan lewat
"kampanye" atau "dialog" yang terus-menerus dalam
keseharian dan dari waktu ke waktu dengan intensitas yang terukur dan permanen.
Tujuan kampanye politik tidak lain adalah untuk
menciptakan semangat dan kebersamaan politik demi terbangunnya persamaan
persepsi politik. Dan di dalam kampanye, sasaran utama yang ingin diraih oleh
para kontestan adalah menarik simpati konstituen agar pada saat pemilihan, para
kontestannyalah yang dipilih. Maka, usaha yang dilakukan oleh para kontestan
adalah membangun citra dan pesona atau image politik secara baik. Di dalam
image, citra dan pesona politik itulah yang merupakan sarana pendukung
keberhasilan dalam pemenangan pemilu. Konsekuensi logisnya, persaingan dalam
kampanye sesungguhnya adalah persaingan dalam membangun image, citra dan pesona
politik.
Untuk itu benar, kata A. Locke dan P. Harris
(1996) bahwa kampanye politik terkait erat dengan pembentukan image, citra dan
pesona politik. Dalam kampanye politik terdapat dua hubungan yang akan
dibangun, yaitu internal dan eksternal. Hubungan internal adalah suatu proses
antara anggota-anggota parpol dengan pendukung untuk memperkuat ikatan
ideologis dan identitas mereka. Sementara hubungan eksternal dilakukan untuk
mengomunikasikan image, citra dan pesona yang akan dibangun kepada pihak luar
parpol atau para kandidat, termasuk media massa dan masyarakat luas. Dan dalam
membangun image, citra dan pesona politik ini, parpol harus memiliki
karakteristik sendiri dibandingkan dengan para pesaingnya.
Perlu dicatat bahwa demi membangun image, citra
dan pesona politik ini, bukan saja terjadi di seputar kampanye pemilu atau
pilkada tetapi juga harus dibangun dari waktu ke waktu baik sebelum maupun
sesudah pemilu atau pilkada. Atau, citra politik harus dibangun melalui proses
interaksi yang terus menerus dengan masyarakat agar nilai-nilai kampanye tidak
mudah hilang dari mamori kolektif masyarakat. Karena itulah kerap dikatakan
preferensi pemilih akan kandidat atau konstituen tertentu sudah terbentuk jauh
hari sebelum kampanye pemilu atau pikada dimulai. Preferensi pemilih tidak
dapat dibentuk hanya dengan kampanye pemilu yang bersifat jangka pendek.
Oleh karena itu pula, citra politik seorang kandidat
dilihat dari citra dan, pesona pribadi sebelumnya. Karena itu pula, pertama,
sulit bagi seorang pemimpin yang sebelumnya sudah dinilai gagal, dipilih lagi
pada pemilu atau pilkada berikut. Kedua, sulit bagi seorang kontestan atau
kandidat yang belum dikenal sebelumnya akan tiba-tiba menampilkan dirinya pada
saat kampanye dengan waktu yang sangat singkat. Seorang kandidat
"dadakan" yang belum dikenal publik dengan image, citra dan pesona
politiknya yang belum diketahui sebelumnya memang dapat saja memenangkan sebuah
pertarungan politik pemenangan pemilu atau pilkada.
Tetapi, hal ini hanya terjadi jika ia memiliki
karisma dan pesona pribadi yang memang sangat istimewa jauh di atas rata-rata
para kontestan atau kandidat lainnya. Dan ini hanyalah suatu perkecualian yang
berada di luar rel analisa, studi, dan teori politik yang berlaku umum, bahkan
itu dapat muncul di luar jalur demokrasi yang normal?
Untuk itu dalam demokrasi yang normal, para
kontestan harus memiliki atau membangun citra dan pesona politik sepanjang
waktu. Para kontestan yang memiliki kredibilitas bagus di masa lalu akan
memudahkannya membentuk opini publik bahwa mereka memang pantas memenangkan
pemilu atau pilkada.
Implikasinya, kontestan yang ingin memenangkan
pemilu atau pilkada harus selalu hati-hati dan cerdas dalam segala tindak
dan/atau perilakunya sehari-hari. Sekali mereka melakukan kesalahan dan menodai
citra dan pesona diri dan/atau merusak citra dan pesona politiknya, akan
menjadi cacat politik yang dengan sendirinya akan menghancurkan reputasi
politik.
Membangun citra dan pesona politik sama dengan
membangun kepercayaan publik. Jadi, tatkala citra dan pesona politik rontok,
maka hancurlah kepercayaan publik. Sehingga, sangat sulit membangun citra dan
pesona politik atau mempertahankan kepercayaan publik jika masyarakat sudah
terlanjur tidak memiliki kepercayaan (trust) positif terhadap parpol atau
kontestannya. Betapa sulitnya dapat membangun kepercayaan publik yang sudah
terlanjur rontok.
Thomas
Koten
Direktur
Social Development Center
SUARA
KARYA, 11 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi