Tentang
Otonomi Perguruan Tinggi
CUKUP menarik membaca tulisan Saudara Sukemi yang
berjudul Minta, tapi Takut Otonomi PT (Jawa Pos, 10 Juli 2012). Beliau menulis
dilema otonomi bagi perguruan tinggi (PT) dan urgensi disahkannya RUU
Pendidikan Tinggi. RUU yang sedang digarap DPR dan pemerintah/Kemendikbud
tersebut memang sepatutnya didukung penuh sebagai visi pengelolaan pendidikan
tinggi ke depan. Namun, banyak konsep yang dikemukakan penulis tersebut yang
perlu diluruskan, karena misleading dalam memahami konsep otonomi, khususnya
bagi perguruan tinggi (PT) yang berstatus badan hukum milik negara (BHMN).
Bahkan, tidak tepat dalam menyebut landasan yuridis PT BHMN.
Pertama,
hakikat otonomi PT sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan yang
sewenang-wenang bagi PT untuk menetapkan biaya kuliah. Hakikat otonomi PT
adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya dalam
mencerdaskan bangsa berdasar pilihannya sendiri. Otonomi bukan berarti
kebebasan tanpa aturan, seperti yang tersirat dipahami oleh Saudara Sukemi.
Dalam
piagam Magna Charta Universitatum yang ditandatangani di Universitas Bologna,
dipahami bahwa universitas adalah institusi dalam masyarakat yang harus
dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan
berdasar riset dan pengajaran. Karena itu, PT harus otonom, baik secara
intelektual maupun secara moral, bebas dari kooptasi otoritas negara dan
kekuasaan ekonomi.
Tapi, pada
sisi lain, menurut piagam itu, otonomi membutuhkan kesempurnaan dalam bidang
akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. PT yang otonom dipersyaratkan
memiliki kepastian tentang good university governance (tata kelola universitas
yang baik). Akuntabilitas yang berupa transparansi dan checks and balances
harus menjadi jiwa dalam tata kelola.
Otonomi
tidak memiliki konsep akan kebebasan para pemimpinnya untuk menentukan
kebijakan yang tanpa aturan, terutama dalam menetapkan besaran biaya
operasional pendidikan yang diambil dari para orang tua peserta didik.
Penyimpangan kebijakan pemimpin PT dalam mengambil kebijakan yang menyebabkan
mahalnya biaya kuliah bukan disebabkan adanya otonomi, tapi dari kebijakan
setiap PTN, baik BHMN maupun non-BHMN.
Kedua,
masalah mahalnya biaya kuliah. Saudara Sukemi menulis bahwa PT BHMN telah
menyebabkan biaya kuliah mahal. Kemahalan biaya pendidikan di PTN bukan karena
faktor status BHMN. Banyak PTN yang non-BHMN, tapi biaya kuliahnya jauh lebih
mahal daripada biaya kuliah di, misalnya, Unair sebagai BHMN. Di Unair, 60
persen mahasiswa adalah melalui jalur SNM PTN dan biaya kuliah (SPP) bagi
mahasiswa jalur SNM PTN paling tinggi hanya Rp 1.250.000 per semester. Kemudian,
20 persen di antaranya bebas biaya pendidikan sama sekali karena ditanggung
oleh negara dan universitas.
Memang ada
BHMN tertentu yang memungut biaya cukup tinggi, tapi tidak sedikit PTN non-BHMN
melakukan hal yang sama. Demikian pula tidak sedikit BHMN yang berbiaya murah,
seperti di Unair, dan banyak pula PTN yang bukan BHMN yang berbiaya kuliah
murah. Jadi, mahal tidaknya biaya kuliah sama sekali tidak berkait dengan
status BHMN atau bukan.
Kemahalan
biaya kuliah di beberapa PTN dan BHMN disebabkan keterbatasan kemampuan
pemerintah menyediakan dana pendidikan. Jika pemerintah memiliki kemampuan yang
penuh untuk membiayai pendidikan, khususnya di semua PTN non-BHMN dan PTN BHMN,
biaya kuliah akan ditekan semurah mungkin, bahkan bisa bebas.
Ketiga,
tentang landasan yuridis. Saudara Sukemi menyebut-nyebut UU PT BHMN. Mahkamah
Konstitusi (MK) tidak pernah membatalkan UU PT BHMN, sebab tidak pernah ada.
Yang pernah dibatalkan MK adalah UU BHP (badan hukum pendidikan). BHP dengan
BHMN jelas sangat berbeda, baik objek maupun subjeknya. BHP merupakan badan
hukum yang diberlakukan terhadap semua penyelenggara pendidikan, baik swasta
maupun negeri, mulai tingkat SD sampai tingkat PT. Sedangkan BHMN hanya salah
satu jenis PTN sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.
Eksistensi
BHMN sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi masih valid, baik
secara de jure maupun de facto. Secara de jure, peraturan pemerintah yang
melahirkan tujuh BHMN sampai saat ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Lahirnya
PP 66 Tahun 2010 tidak mutatis mutandis menggugurkan figur hukum BHMN. PP 66
Tahun 2010 masih memberikan waktu untuk penyesuaian dalam beberapa hal hingga
akhir 2013. Demikian pula secara de facto, tata kelola BHMN masih eksis dan
diakui pemerintah. Kasus kisruhnya eksistensi BHMN di UI selesai dengan cara
mengembalikan UI sebagai BHMN dengan segenap tata kelolanya. Bahkan, di UGM pun
pemilihan rektor yang baru dilantik Juni lalu masih menggunakan tata kelola
BHMN.
Meski
demikian, pada sisi lain saya sependapat dengan Saudara Sukemi tentang perlunya
skema yang visioner dalam pendanaan dari negara untuk PT. Misalnya dalam bentuk
bantuan operasional (BO) bagi PTN. Jelasnya skema pembiayaan PT diharapkan
memperlebar aksesabilitas masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomis tapi
cukup mampu dari segi akademis. Lahirnya UU Pendidikan Tinggi nanti diharapkan
mampu mengurangi distorsi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pimpinan PT yang
tidak hanya pada PT BHMN, tapi juga PTN non-BHMN. Karena itu, patut kita dorong
dan kita songsong disahkannya UU Pendidikan Tinggi tersebut.
M Hadi
Shubhan
Sekretaris
Universitas Airlangga BHMN,
Doktor
Bidang Ilmu Hukum
JAWA POS,
11 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi