Data Jiaravanon (2007)
menunjukkan mayoritas petani Indonesia berpendidikan rendah. Sekitar 27,8
persen petani Indonesia tidak tamat SD, bahkan tidak sekolah dan mayoritas
(49,2 persen) tamat SD. Hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Tentu hal ini berpengaruh pada kecepatan atau kemampuan menyerap transfer of
knowledge berkaitan dengan informasi dan teknologi pertanian.
Di sisi lain, sumber dari Dinas
Pendidikan Nasional menyebutkan jumlah calon mahasiswa yang mendaftar pada
bidang studi pertanian menurun dari tahun ke tahun. Ini terindikasi sejak tahun
ajar 2002/2003, dari 57 ribu calon mahasiswa, turun menjadi 41 ribu calon
mahasiswa, tiga tahun kemudian. Penurunan juga terjadi pada semua rumpun ilmu
pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dan kehutanan). Jikapun ada
peningkatan, proporsi peminat bidang pertanian tetap lebih kecil dibanding
bidang lain.
Rendahnya minat calon mahasiswa
di bidang pertanian berawal dari gambaran negatif profesi petani di mata
masyarakat. Menjadi petani sekarang sudah tidak kompetitif lagi. Penilaiannya
sederhana, mana lebih sejahtera, menjadi petani, pejabat atau pengusaha? Di
Indonesia, pertanian sudah telanjur identik dengan kemiskinan karena sebagian
besar masyarakat perdesaan adalah petani gurem.
Generasi muda tertipu dengan
kulit luar pertanian yang jorok, kotor, berlumpur dan panas. Tetapi, lupa
memaknai betapa enaknya makan nasi, lauk pauk dari hasil pertanian, ketika
sudah sampai di meja makan. Jika melihat makanan pokok, lauk-pauk, penganan,
hingga bumbu masak siap saji yang berjejer di supermarket, semua bersumber dari
pertanian. Tampaknya rantai sistem agribisnis tidak dipahami dengan baik oleh
mereka.
Fakta lain, pertanian rakyat
merosot drastis, tertinggal jauh di belakang 'industri pertanian'. Pengusaha
bermodal sudah beralih ke sektor pertanian secara global. Bisa jadi, satu
perusahaan bisa menangani proses pertanian dari pemuliaan bibit (paten) hingga
distribusi bahkan pengolahan hasil panen. Plus, menyediakan alat pertanian,
pestisida, dan lainnya. Di sektor perikanan, produksi udang nasional selama ini
paling banyak disumbang oleh pengusaha asing seperti Thailand. Problemnya,
mereka lebih suka menyimpan uang atau hasil keuntungan di negaranya, bukan di
Indonesia. Maka, terjadilah fenomena kebocoran ekonomi (economic leakage).
Di sini, pertanian rakyat menjadi
marginal, tidak berdaya saing dan dipertaruhkan. Bagi rakyat Indonesia,
pertanian adalah sumber kehidupan, kultur, kearifan lokal, warisan turun
temurun, keterampilan bersimbiosis dengan alam. Bukan memeras alam. Jika
pertanian rakyat hilang maka negara kehilangan jati diri sebagai negara agraris
atau negara maritim yang keduanya bertumpu pada natural resource yang sama
yaitu pangan.
Lulusan perguruan tinggi
pertanian banyak melarikan diri dari sektor pertanian. Kondisi ini
mengakibatkan hilangnya regenerasi pengelola pertanian di masa depan, ketiadaan
regenerasi berlanjut pada permasalahan keterbatasan tenaga ahli yang menekuni
bidang ilmu pertanian. Kondisi ini berpotensi menciptakan ketergantungan pada
asing dalam pengembangan teknologi dan mekanisasi pertanian, alat-alat
pertanian, pestisida hingga paten bibit unggul tanaman.
Perguruan tinggi yang memiliki
jurusan pertanian menjadi tidak percaya diri, tidak kreatif mengenalkan
keunggulan yang dimiliki. Perguruan tinggi pertanian sibuk memutar otak membuka
jurusan-jurusan baru yang lebih banyak diminta oleh pasar kerja. Bukan
meningkatkan kapasitas dan daya kreasi bidang pertanian.
Hilangnya peran negara dalam
melindungi pertanian rakyat berakibat pada krisis pangan. Impor digalakkan,
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian ditinggalkan karena dianggap
memboroskan anggaran. Dalam revisi UU Pangan terbaru negara malah berniat
melepaskan tanggung jawab pengadaan (termasuk impor) dan distribusi pangan
kepada swasta. Kebijakan pengelolaan pangan didesentralisasi, ekspor impor
pangan dikendalikan daerah, bukan pusat. Suatu hal yang berbahaya. Karena,
tidak semua daerah subur dan surplus pangan. Ego muncul, daerah berlomba
meningkatkan pendapatan daerah. Sebagai solusinya, pemerintah harus memperbaiki
citra pertanian dengan mengganti politik pangan agar lebih pro rakyat dan pro
pertanian rakyat. Peng-hapusan subsidi pangan adalah suatu kekonyolan. Karena,
negara-negara maju malah berhasrat mensubsidi kebutuhan petani, memberikan
lahan pengelolaan yang luas dan abadi, membangun sistem irigasi, membeli hasil
produksi, dan membuat pertanian rakyat menjadi ekspansif. Ini mengingat
pertanian adalah sumber daya ekonomi riil dan berkelanjutan. Ide kebijakan desentralisasi
pangan perlu dikawal jangan sampai menjadi alasan pemerintah pusat untuk
berlepas tangan dan menjadi alasan bagi daerah untuk meraup untung.
Dalam hal distribusi, Bulog
(pemerintah) harus difungsikan kembali sebagaimana mestinya, menyerap dan mendistribusikan
hasil pertanian rakyat, mekanisme pasar dihapus sebagai satu-satunya alat
pemenuhan kebutuhan akan pangan. Celah impor dipersempit, berlakukan hanya pada
kondisi darurat pangan dan benar-benar dibutuhkan. Perlu sinergitas langkah
antara pemerintah, institusi pendidikan, stakeholder pertanian masyarakat dan
media massa. Dalam konteks pendidikan pertanian, para pemuda harus disadarkan
dengan kampanye pertanian edukasi sejak duduk di bangku SD. Di sini, pola pikir
pertanian dibentuk sejak dini.
Pengembangan riset di bidang
teknologi dan mekanisasi pertanian perlu mendapat asupan dana penelitian yang
cukup dan kontinyu dari pemerintah. Hasil-hasilnya diaplikasikan di lapangan
oleh para dosen dan mahasiswa kepada para petani. Akademisi pertanian harus
turun ke lapangan agar pendidikan pertanian lebih terserap dalam benak para
mahasiswa.
Helmy
Akbar ;
Mahasiswa
Pasca Sarjana IPB, Anggota Asosiasi
Peneliti
dan Pemerhati Sumberdaya Perairan dan Lingkungan-IPB
SUARA
KARYA, 05 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi