SUATU hari seorang murid
bercerita kepada gurunya, "Bu, ketika teman-temanku bercita-cita ingin
menjadi dokter atau tentara, aku hanya ingin jadi nelayan seperti ayah. Apa ada
yang salah jika aku jadi nelayan? Rasanya aku tidak ingin pergi jauh-jauh ke
tanah itu. Aku hanya ingin di sini, dan akan aku jadikan di sini seperti di
sana."
Itu ungkapan salah satu anak
negeri yang tinggal di kepulauan terluar Indonesia di Kepulauan Sangihe,
Sulawesi Utara. Anak kecil ini berani memupuk harapan yang besar. Dia ingin
suatu saat nanti dapat memajukan daerahnya seperti halnya kota-kota besar di Indonesia.
Meski, kenyataannya, realitas tak sejalan dengan harapan.
Sangihe hanyalah satu di antara
banyaknya tempat di mana impian anak bangsa bersemayam namun tak diiringi
fasilitas pendidikan yang memadai. Hingga tebersit pertanyaan, mengapa mimpi
mereka seakan diragukan? Mengapa keberadaan mereka seperti tidak dianggap?
Padahal, mereka termasuk generasi penerus bangsa yang berhak punya masa depan.
Kisah-kisah seperti ini akan
banyak kita dapatkan dari mereka, para pengajar muda yang tergabung dalam Gerakan
Indonesia Mengajar. Tak dimungkiri, saat ini merekalah segelintir pihak yang
memahami betul seberapa baik kualitas pendidikan yang tersedia di
pelosok-pelosok pulau di negeri ini. Indonesia begitu kaya akan sumber daya
alam. Negeri ini juga dianugerahi sumber daya manusia yang besar. Namun, tidak
banyak yang turun tangan untuk berkontribusi langsung terhadap nasib pendidikan
bangsa ini di masa yang akan datang.
Siswa
Bukan Plastisin
Dalam suatu kesempatan di
Jakarta, pencetus Gerakan Indonesia Mengajar Anies Baswedan mengatakan,
"Indonesia itu tidak bisa disamakan semuanya. Tapi, sering orang berpikir
bahwa pendidikan di mana saja sama dengan Jakarta. Itu tidak bisa."
Tidak banyak orang yang menyadari
bahwa masyarakat yang berada di kepulauan terluar Indonesia ini tidak selalu
bisa diibaratkan sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak
sama dengan plastisin yang dapat dibentuk sesuai dengan keinginan gurunya.
Seperti anak kecil dalam kisah di atas, anak-anak di sana sudah membawa
nilai-nilai budaya dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Alangkah bijak
bila gurunya menyelipkan nilai-nilai kearifan lokal dalam setiap bentuk proses
pendidikan di sana.
Bila pendidikan di sana lebih
diperhatikan, semangat belajar mereka akan mengalahkan keterbatasan yang mereka
hadapi. Tak perlu kurikulum yang begitu terperinci. Yang mereka butuhkan
hanyalah sedikit perhatian dari pemerintah untuk mau membantu mengembangkan
potensi wilayah mereka. Katakanlah model pendidikan ini disebut dengan pendidikan
berbasis kearifan lokal.
Pendidikan yang berkiblat pada
kearifan lokal dapat melestarikan sekaligus meningkatkan mutu sumber daya
spesifik yang dimiliki suatu daerah. Karena mencintai kearifan lokal, bukan
berarti mereka ketinggalan zaman. Bangsa Jepang merupakan satu contoh bangsa
yang maju karena menjunjung tinggi kearifan lokalnya, sekalipun mereka sudah
menguasai berbagai teknologi modern. Pendidikan berbasis kearifan lokal ini
juga dapat mewujudkan mimpi masyarakat Indonesia untuk menjadikan bangsa yang
maju dan berkembang.
Bangsa
di Tangan Guru
Memaksakan pendidikan ala modern
kepada para penduduk yang belum mengalami modernisasi merupakan metode
pendidikan yang kurang tepat, juga belum tentu bermanfaat untuk mengembangkan
potensi daerahnya. Tidak mungkin pendidikan dipisahkan dari nilai-nilai dan
konteks pandangan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas.
Menurut Anies Baswedan, letak
keberhasilan dan kegagalan sebuah pendidikan nasional ada di tangan para guru.
Ketika guru memiliki pemahaman dan kemampuan yang baik dalam mentransfer ilmu
serta memahami peserta didiknya, tujuan pendidikan itu akan tercapai. Tiga hal
yang harus diperhatikan pemerintah adalah kualitas guru, distribusi guru, dan
kesejahteraan guru.
Semua orang hebat di dunia ini
tentu memiliki seorang guru, dan guru yang baik adalah mereka yang mampu
memahami kondisi peserta didiknya. Kembali kita dapat melihat sebuah
implementasi dari konsepsi guru yang sesuai konteks dalam diri para pengajar
muda yang membawa lilin harapan kepada anak-anak di sana. Kehadiran mereka ikut
membangunkan impian di dalam hati para calon orang hebat dan pembaharu bangsa
tersebut.
Dengan mengimplementasikan
pendidikan yang berkiblat pada kearifan lokal para pengajar ini dapat memberikan
solusi untuk pemerataan pendidikan, serta mendorong proses kemajuan pendidikan
di Indonesia. Guru berperan menyampaikan kepada anak-anak bangsa di mana pun
mereka berada bahwa cakrawala pengetahuan itu begitu luas. Karena itu,
anak-anak tersebut berani membangun impian yang bukan hanya terbatas oleh
hamparan laut dan hutan belantara, tapi hingga langit di atasnya.
Abdushshabur
Rasyid Ridha ;
Mahasiswa
Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
JAWA
POS, 05 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi