Kurikulum baru yang rencananya
disosialisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2013 memberi harapan.
Kurikulum yang sampai sekarang belum diketahui apa namanya, serta bentuk
fisiknya seperti apa, itu sudah banyak mendapat tanggapan luas dari berbagai
media. Beberapa kisi-kisi memang sudah "bocor", misalnya soal jumlah
mata pelajaran di SD yang dikurangi menjadi tujuh mata pelajaran serta tekanan
pada pendidikan karakter.
Namun setidaknya kurikulum baru
perlu disambut dengan positif. Setidaknya kurikulum baru memberi tempat pada
pembaruan pendidikan. Pendidikan terasa sudah lapuk atau usang sehingga perlu
ada pompa semangat baru untuk menambah energi. Pendidikan juga berkutat pada
persoalan itu-itu saja. Dan, kurikulum baru diharapkan mampu membangkitkan lagi
gairah dunia pendidikan, guru, serta peserta didik. Proses belajar-mengajar
dibuat semakin menarik, guru pun bekerja bukan semata-mata karena dibayar.
Sekarang seolah semua
permasalahan dalam kehidupan politik, hukum, ekonomi, sosial, termasuk agama
dan moral, ditimpakan kepada dunia pendidikan. Karena perilaku warga bangsa
buruk, perlu ditambahkan pendidikan karakter. Menjumpai anak didik tidak sopan,
perlu ditambahkan pendidikan budi pekerti. Karena peserta didik tidak mengerti
bahasa daerah, perlu ditambahkan bahasa daerah. Begitu pun tuntutan dunia kerja
yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi, lalu mata pelajaran matematika
dan ilmu pengetahuan alam diperbanyak.
Kurikulum yang cenderung adaptif
untuk semua permasalahan sosial masyarakat tidak tepat diberikan kepada peserta
didik. Yang ada hanyalah keranjang sampah. Peserta didik menerima demikian
banyak informasi, tapi itu hanya sampah karena tidak mendalam dan tidak
berguna, malahan membebani serta mengotori hidup peserta didik. Kurikulum baru
diharapkan benar-benar kurikulum yang berisi (nuchter), mengajarkan apa yang
benar-benar diperlukan bagi peserta didik untuk masa depan mereka.
Kurikulum baru meminjam slogan
majalah Tempo, harus benar-benar enak dibaca dan perlu. Artinya, mata pelajaran
yang memang sangat tidak diperlukan tidak perlu diajarkan. Guru juga tidak
berlelah-lelah memberikan materi yang hanya meracuni peserta didik. Yang tidak
boleh dilupakan, diseminasi informasi kurikulum baru harus memperhatikan guru.
Betapa pun hebatnya sebuah kurikulum didesain oleh para pejabat di Kementerian
Pendidikan dengan melibatkan pakar-pakar yang kompeten dalam pendidikan, guru
tetap merupakan ujung tombak penerapan kurikulum.
Memastikan bahwa semua guru telah
menguasai kurikulum tentu bukan persoalan sederhana. Karena itu, guru harus
dituntut benar-benar menguasai semua arahan kurikulum dan mampu menjabarkan
dalam proses belajar-mengajar kepada peserta didik. Guru harus mampu menangkap
"roh" perubahan kurikulum, apa beda secara substansial dengan
kurikulum sebelumnya, seperti kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Berbahaya jika guru menangkap kurikulum baru hanya pada pengurangan jumlah mata
pelajaran, sementara proses lain tetap mempergunakan cara-cara lama.
Sangat mungkin para guru merasa
terbebani oleh hadirnya kurikulum baru. Mengingat, setiap berganti kebijakan
pendidikan, yang selalu paling direpotkan adalah para guru. Selain harus
belajar lagi lantaran ada pergantian buku-buku pelajaran, guru dituntut membaca
dan mengubahnya menjadi rencana pembelajaran harian kepada peserta didik. Bisa
jadi guru tidak menangkap substansi pembaruan ini. Judulnya dengan kurikulum
baru, tapi belajar-mengajarnya tetap dengan model lama.
Maka guru harus menjadi ujung
tombak diseminasi informasi dan memastikan mereka benar-benar siap dengan
pembaruan. Akan sia-sia ketika pembaruan dan gong sudah telanjur dicanangkan,
tapi guru justru tidak dipersiapkan dengan baik. Memang prosesnya akan
bertahap, tapi betapa pun guru tidak boleh diremehkan. Jangan sampai ada
anggapan nanti pada saatnya para guru pasti mengikuti dengan sendirinya.
Diseminasi informasi kurikulum
harus memperhatikan kesenjangan guru di kota dan pelosok pedesaan. Jangan
sampai terjadi, guru yang melek informasi disamakan dengan guru-guru yang gagap
informasi alias gaptek. Sangat mungkin sekolah-sekolah maju sudah merespons
kurikulum baru dalam proses belajar mereka, sementara sekolah pinggiran
cenderung masih bertahan dengan kurikulum yang lama. Keterlambatan informasi
akan terasa pada saat ujian nasional masih diperlakukan.
Pada era kurikulum baru, sekolah
tidak boleh menambah jumlah mata pelajaran di luar yang digariskan dalam
kurikulum resmi. Bisa jadi Kementerian Pendidikan sudah mematok hanya ada tujuh
mata pelajaran di jenjang SD. Namun, karena desakan orang tua dan komite
sekolah, sekolah menambah mata pelajaran lain yang dirasa sesuai dengan
tuntutan zaman. Kondisi ini tentu semakin membebani peserta didik.
Peserta didik harus dibebaskan
dari proyek-proyek titipan semacam ini karena mereka bukanlah obyek. Mereka
juga bukan ajang eksperimen. Guru harus berani menolak manakala pihak luar
memaksakan kehendak yang justru membuat pendidikan kian menjadi beban. Pada
kesempatan yang sama, kurikulum baru juga bisa menjadi ajang bisnis yang
menggiurkan. Kurikulum baru menghasilkan proyek buku pelajaran dan lembar kerja
siswa, yang berarti proyek besar.
Guru harus dibebaskan dari
jebakan proyek-proyek semacam ini. Pemerintah harus konsisten bahwa buku-buku
pelajaran akan disediakan dan distribusi ke semua sekolah. Bukan hanya di
sekolah-sekolah pemerintah, tapi juga di sekolah swasta. Tidak terbayangkan
berapa rupiah yang akan beredar manakala proses pengadaan buku diserahkan
kepada sekolah. Pemerintah harus belajar dari buku sekolah elektronik (BSE)
pada masa lalu yang ternyata sulit dilaksanakan.
BSE dijanjikan murah, mudah, dan
transparan, tapi ternyata aksesnya masih perlu Internet, komputer, listrik, dan
printer, yang semuanya pasti lebih mahal dan kurang praktis. BSE tidak bisa
berjalan di berbagai tempat karena kendala listrik dan ketersediaan akses
Internet. Pada masa mendatang, pemerintah harus memilih perangkat teknologi
dalam rangka menyebarluaskan buku-buku pelajaran secara mudah, murah, dan praktis.
Lebih dari itu, guru-guru harus
diberdayakan. Kurikulum baru akan diterima sebagai tantangan dalam pembaruan
pendidikan manakala proses pengenalan dan sosialisasi benar-benar
"nguwongke" para guru. Seminimal mungkin harus ditekan terjadinya gejolak
di kalangan guru. Dinas pendidikan daerah harus pandai-pandai
"ngemong" guru, karena keberadaan guru pada masa lalu dan sekarang
sudah sangat jauh berbeda. Dinas pendidikan tidak bisa lagi menjadi tukang
perintah, melainkan harus bersama-sama guru dan sekolah melakukan pembaruan.
Jangan sampai sekolah dan guru diperalat dinas pendidikan karena merekalah agen
perubahan yang sesungguhnya!
Paulus
Mudjiran ;
Pendidik
sekaligus Ketua Pelaksana
Yayasan
Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
KORAN
TEMPO, 05 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi