Para penerima Beasiswa Pendidikan bagi
Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) mengeluhkan keterlambatan pembayaran beasiswa
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga mengganggu kelancaran
studi. Bagi mereka, uang beasiswa itu memang tiang penyangga utama, karena
mereka memang berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Karena itu, beasiswa
tidak hanya untuk membayar Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP), tapi juga
untuk biaya kebutuhan pribadi (bayar kos, makan, beli buku, dan lain-lain).
Keterlambatan pembayaran beasiswa berarti terganggunya kehidupan mereka
sehari-hari. Keterlambatan pencairan beasiswa tidak hanya terjadi pada
Bidikmisi, tapi juga pada beasiswa lainnya, seperti beasiswa bagi para dosen
yang melanjutkan S2 dan S3 di luar negeri.
Bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) sendiri, keterlambatan pembayaran itu amat menyedihkan dan menjadi
beban moral sendiri. Mereka menyadari dampak buruknya, termasuk akan terkena
tembakan langsung dari masyarakat. Tapi keterlambatan tersebut di luar
jangkauannya. Informasi yang akurat menyebutkan bahwa keterlambatan pembayaran
Bidikmisi 2013 ini disebabkan oleh adanya pemblokiran anggaran untuk Kemdikbud
oleh Kementerian Keuangan. Anggaran untuk Bidikmisi merupakan salah satu item
anggaran yang dibuka blokirnya pada pertengahan Maret, namun tidak serta-merta
dapat disalurkan kepada para penerima. Semula diperkirakan prosesnya akan
cepat, tetapi ternyata muncul persyaratan baru, yaitu agar Kemdikbud memiliki
rekening baru khusus untuk penyaluran Bidikmisi agar terpantau dengan baik,
karena skema ini merupakan bantuan sosial. Berdasarkan PMK Nomor 81 Tahun 2012,
semua bantuan sosial harus langsung disalurkan ke penerima.
Dengan adanya ketentuan baru tersebut, jalan
yang paling aman bagi Kemdikbud, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, adalah kerja sama dengan bank penyalur. Maka, kemudian Kemdikbud pun
awal tahun ini melakukan e-procurement untuk menyeleksi bank, dan terpilihlah
Bank Mandiri sebagai bank yang memenuhi kriteria. Pada saat ini, MoU antara
Kemdikbud dan Bank Mandiri sudah dilakukan dan daftar mahasiswa penerima
Bidikmisi sudah di-SK-kan oleh rektor masing-masing, meski belum semua rektor
menyerahkan data tersebut. Pada saat ini, Kemdikbud siap menyalurkan dana beasiswa
tersebut ke sekitar 61 ribu mahasiswa yang tersebar di 68 PT, namun proses
tersebut juga terhambat karena masih menunggu surat persetujuan dari Dirjen
Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan pada 9 April 2013. Demikianlah
proses perjalanan beasiswa itu, begitu panjang dan berbelit.
Berdasarkan kronologi di atas, jelas bahwa
keterlambatan pembayaran Bidikmisi maupun beasiswa lain bersumber dari
Kementerian Keuangan, yang sempat memblokir anggaran untuk Kemdikbud. Dalam
konteks keterlambatan penyaluran Bidikmisi dan beasiswa lain, Kemdikbud pun
menjadi korban dari mekanisme pengelolaan anggaran negara yang ditandai dengan
kuatnya "rezim keuangan".
Rezim
Keuangan
Rezim keuangan adalah suatu tatanan
pengelolaan keuangan negara yang dikendalikan penuh oleh Kementerian Keuangan
dan menentukan hidup-mati suatu kementerian/lembaga (K/L) teknis. Akibat
keterlambatan pencairan anggaran di Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan itu
pula, proses implementasi kurikulum baru pun terganggu. Pencairan anggaran yang
terlambat menyebabkan tender pengadaan buku pelajaran tertunda, dan itu
berdampak tertundanya pelatihan untuk para guru, dan secara otomatis
tertundanya implementasi kurikulum. Sebab, bagaimana mungkin para guru diminta
mengimplementasikan kurikulum baru, sementara mereka sendiri belum mengenal
sosok kurikulumnya? Terlambatnya pencairan anggaran untuk Kemdikbud disebabkan
adanya mata anggaran yang dibintangi oleh Kementerian Keuangan, yaitu anggaran
untuk pengadaan buku.
Kasus keterlambatan pencairan Daftar Isian
Penggunaan Anggaran di Kemdikbud dan efeknya pada keterlambatan penyaluran
Bidikmisi itu hanyalah salah satu contoh dari kuatnya rezim keuangan di negeri
ini. Di kementerian/lembaga (K/L) lain juga sering terjadi keterlambatan
pencairan anggaran, sehingga pemandangan rutin yang dapat disaksikan pada ritme
kerja pegawai negeri adalah antara Januari dan Maret, mereka tidak banyak
melakukan aktivitas. April-Juni proses tender, dan baru setelah Juli hampir
semua kegiatan menumpuk. Puncaknya adalah setiap November-Desember, hotel-hotel
selalu dipenuhi oleh K/L yang mengadakan acara (diskusi, seminar, workshop, dan
sejenisnya). Semuanya menghabiskan penyerapan anggaran yang sudah mendekati
tutup tahun. Dalam bahasa para staf, pada Januari-Maret itu "mantab"
alias makan tabungan, karena tidak ada pendapatan lain dari hasil kegiatan K/L.
Kondisi ini berulang selama bertahun-tahun,
tapi tidak pernah mengalami perbaikan. Akhirnya, anggaran negara tidak jatuh
kepada masyarakat luas, melainkan hanya jatuh ke segelintir orang (konsultan,
kontraktor, pengelola hotel, EO, maskapai penerbangan, biro travel, pakar, dan
sejenisnya). Semuanya itu terjadi akibat dari kuatnya rezim keuangan yang
selalu terlambat dalam memberikan DIPA kepada K/L teknis, sehingga mindset K/L
pada akhir tahun adalah yang penting anggaran terserap semua, sehingga tahun
depan anggaran tidak dipotong.
Mekanisme pencairan anggaran yang selalu
terlambat sampai tiga bulan itu menimbulkan keheranan bagi orang awam seperti
penulis, mengingat program di masing-masing K/L sudah selesai disusun pada Juli
dan APBN sudah disetujui oleh DPR pada November tahun sebelumnya. Semestinya,
anggaran itu sudah dapat dicairkan paling lambat akhir Januari. Tapi mengapa
hal itu tidak pernah terjadi? Jadi, persoalan daya serap anggaran yang rendah
bukan hanya tanggung jawab K/L teknis, tapi juga tanggung jawab Kementerian
Keuangan yang selalu terlambat mencairkan DIPA ke K/L.
Mekanisme pencairan DIPA yang selalu terlambat
juga berpotensi mengajarkan ketidakjujuran. Mengapa? Karena K/L dituntut untuk
segera melaksanakan program, tapi DIPA belum turun. Akhirnya, para pemimpin K/L
yang berani mengambil risiko kemudian memilih menjalankan program tersebut
lebih dulu dengan anggaran gali lubang tutup lubang. Cara yang demikian kurang
bagus dari aspek akuntabilitas, tapi terpaksa harus dilakukan karena kondisi
birokrasinya memaksa demikian. Semoga Kementerian Keuangan belajar dari
pengalaman buruk tersebut dan berubah menjadi lebih baik. Mindset mereka perlu
diubah agar lebih berorientasi pada perwujudan kesejahteraan masyarakat dan
optimalisasi penggunaan anggaran negara daripada berpaku pada keteraturan
administratif saja. Administrasi itu alat saja, bukan tujuan. Tujuannya adalah
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Darmaningtyas ;
Aktivis
Pendidikan dari Tamansiswa, Jakarta
KORAN
TEMPO, 11 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi