Guru menjadi kata suci bagi
sebuah bangsa. Di tangan para gurulah karakter suatu bangsa dibentuk. Peran
guru sangatlah penting. Apa-lagi mengingat tahun 2030 McKinsey memprediksikan
bahwa perekonomian Indonesia akan menempati urutan ketujuh ekonomi dunia
mengalahkan Jerman dan Inggris.
Itu artinya, Indonesia butuh sumber daya
manusia yang berkompeten dan profesional. Masih ada waktu sekitar 18 tahun
lagi. Data demografi tahun 2010 menunjukkan, penduduk berusia 0-29 tahun
berjumlah sekitar 130 juta jiwa. Pada tahun 2030 merekalah yang akan menjadi
generasi penentu wajah peradaban Indonesia.
Di sinilah peran guru sangat
strategis dalam mendidik dan membentuk penduduk usia 0 tahun sampai 29 tahun
tadi. Pada titik ini tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa nasib suatu bangsa
bergantung pada peran para guru.
Tapi, kita akan miris ketika guru tidak
diperhatikan kesejahteraannya. Di Semarang, ada guru yang hanya menerima gaji
senilai Rp 100 ribu setiap bulan. Ada juga seorang guru yang terpaksa menjadi
pemulung atau tukang ojek demi menambah penghasilan karena gaji sebagai guru
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Melihat kondisi seperti ini,
pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas guru
dengan politik kebijakan anggaran. Nilai anggaran untuk gaji dan tunjangan guru
sekarang telah meningkat secara signifikan. Para guru yang sudah diangkat
menjadi pegawai negeri sipil (PNS) berhak mendapatkan sertifikasi.
Setiap bulan, guru yang sudah
tersertifikasi mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji pokoknya. Sedangkan,
guru non-PNS mendapat tunjangan sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan. Di Provinsi
DKI Jakarta, tunjangan kinerja bagi guru cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 3 juta.
Guru kini lebih sejahtera jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Implikasinya adalah meningkatnya
jumlah peminat lulusan SMA/SMK untuk menjadi guru. Peminat Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pun terus
meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, peserta SNMPTN di Universitas
Negeri Jakarta pada tahun 2012 adalah 31.435 orang, meningkat dari tahun
sebelumnya 31.207 orang. Di Universitas Negeri Medan kecenderungannya juga
sama; peserta SNMPTN pada tahun 2011 berjumlah 40.578 orang meningkat menjadi
43.834 orang pada tahun 2012.
Di lapangan, kebutuhan terhadap
PNS cukup tinggi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan
dan alokasi sumber daya manusia potensial. Pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk merekrut guru PNS. Masalahnya adalah guru yang terekrut tidak
selalu sesuai dengan kapasitasnya. Yang diterima sebagai guru bukan lulusan
dari FKIP, sehingga kemampuan pedagogis dan mentransfer ilmunya rendah. Hal ini
juga salah satu faktor hasil uji kompetensi guru di daerah-daerah relatif
rendah. Belum lagi jika kita bicara dedikasi. Seorang guru dituntut untuk
memiliki idealisme dan dedikasi yang tinggi.
Menjadi guru berbeda dengan profesi lainnya.
Seseorang ketika menjadi guru harus sadar bahwa tugasnya adalah mendidik dan
membentuk karakter generasi penerus bangsa. Menurut Undang-Undang No 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa seorang guru harus memiliki
kapasitas yang meliputi bakat, minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen,
kualifikasi akademis, kompetensi dan tanggung jawab. Namun, faktanya masih
banyak guru yang tidak memiliki kapasitas tersebut.
Ada guru yang secara kapasitas
moral masih tidak memberikan teladan yang baik bagi peserta didik. Misalnya,
masih ada guru yang bermain judi. Ada juga guru yang tidak bijak ketika
kehilangan ponselnya, lalu menghukum semua siswa di kelas dengan denda
masing-masing siswa Rp 100 ribu untuk mengganti ponselnya yang hilang, dan
masih banyak lagi. Bahkan, ada juga mahasiswa fakultas keguruan (alias calon
guru) yang terlibat tawuran dengan mahasiswa lain. Termasuk juga kapasitas
kompetensi. Masih banyak guru yang malas mengajar, tidak menguasai bidang
ajarnya, tidak update informasi, tidak menguasai teknik belajar mengajar, dan
seterusnya.
Namun, di samping itu, banyak
juga guru yang berhasil menunjukkan dedikasinya. Banyak di antara mereka yang
berprestasi. Misalnya, ada guru yang mampu membuat peraga pendidikan yang
menarik, guru yang berhasil memperbaiki perilaku siswan, guru yang mampu
mengangkat derajat para pemulung sampah untuk sekolah dan kuliah, dan masih
banyak lagi. Filosofi mereka adalah suatu kebahagiaan tersendiri ketika anak
didiknya mencapai kesuksesan melebihi dirinya.
Jika hal ini terus ditanamkan
kepada 2,9 juta guru di seluruh Indonesia, bukanlah mustahil prediksi McKinsey
tadi akan terbukti, bahkan mungkin melebihi. Sekarang tinggal bagaimana
pengelola pendidikan mau atau tidak untuk mewujudkannya
Raihan
Iskandar ;
Anggota
Komisi X DPR RI
REPUBLIKA,
05 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi