Pemerintah berencana mengurangi
beban belajar siswa SD melalui peleburan mata pelajaran IPA dan IPS ke dalam
enam mata pelajaran lain.
Enam mata pelajaran itu adalah
Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Matematika, Bahasa
Indonesia, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Diharapkan
aktivitas belajar anak akan lebih dekat dengan kehidupan bermain yang selama
ini terampas oleh kegiatan sekolah.
Perlu dihargai motif baik di
balik rencana perubahan kurikulum tersebut. Kini poin kritisnya justru sejauh
mana strategi pendidikan yang digagas pemerintah telah menjawab beban berat
anak bersekolah.
Rasanya, sejak kurikulum Rentjana
Pendidikan 1947 hingga sekarang kita tidak pernah memiliki konsep pendidikan
anak yang jelas. Secara historis, perubahan kurikulum di Indonesia acap
bersifat reaktif terhadap kebutuhan pragmatis orang dewasa sebagai representasi
negara, agama, dan pasar. Dalam desain pendidikan anak, kita justru acap
mengabaikan kebutuhan dan hak anak meskipun seolah-olah merekalah yang
diprioritaskan.
Jika kita hendak mengurangi beban
belajar anak, bukankah lebih efektif menghapuskan ujian nasional yang kerap
jadi alasan di balik padatnya aktivitas belajar anak? Bukankah begitu banyak
anak yang frustrasi menjelang dan setelah ujian nasional?
Coba kita tengok juga keseharian
seorang anak. Lebih kurang lima jam dihabiskannya di sekolah. Itu pun jika tak
ada kegiatan tambahan semacam pramuka atau matrikulasi. Belum lagi bila anak
belum melampaui batas ketuntasan minimal. Dengan segera guru harus merancang
kegiatan tambahan berupa remedi agar anak itu mencapai angka tuntas. Padahal,
angka tuntas bukan hasil keputusan guru, melainkan tekanan dinas pendidikan
setempat. Angka tuntas penting untuk merepresentasikan prestasi pendidikan
sebuah kabupaten ataupun provinsi.
Negara pun tidak rela melihat
anak-anak memiliki waktu luang. Mendikbud M Nuh pernah menyatakan akan menambah
jam belajar di sekolah demi memproteksi siswa dari lingkungan negatif di luar
sekolah. Kini, pertanyaannya, siapa yang membebani anak di sekolah?
Hilang
Daya Kritis
Penyederhanaan yang diperlukan
saat ini justru bukan pada ranah keilmuan, melainkan pola sistem pendidikan di
Indonesia yang direcoki birokratisme dan formalisme seremonial. Standardisasi
nasional memang perlu, tetapi bila menguras energi anak dalam indikator-indikator
kemajuan yang membebani, sudah sepantasnya lebih disederhanakan.
Suasana kelas yang kering dan
dipenuhi norma berperilaku dalam standardisasi kolektif telah menghilangkan
daya ekspresi anak. Benar bahwa program demi program, baik bersifat psikologis
maupun religius, ditambahkan untuk membentuk sikap anak. Ironisnya, semua
kegiatan tersebut, mulai dari retret hingga pesantren kilat, acap diadakan
justru di masa liburan ketika anak-anak sedang menikmati kemerdekaan bermain.
Seorang sahabat guru SD di
Geraldton, Australia barat, mengatakan bahwa untuk ukuran moral dan agama, anak
Indonesia tak terkalahkan. Mereka fasih melafalkan ayat-ayat kitab sucinya,
bahkan berceramah mengenai moralitas dan etika.
Pakaian sekolah pun sangat rapi,
bagian atas putih dan bawah merah, lengkap dengan celana berikat pinggang kulit
berwarna hitam untuk siswa laki-laki. Tak lupa, emblem merah putih beberapa
sentimeter di atas saku baju. Semua sama, bahkan ukuran tinggi kaus kaki
putihnya.
Meminjam bahasa Henry A Giroux
(2006), inilah badai budaya positivisme pada wilayah sekolah. Ilmu-ilmu
direduksi bukan karena kompleksitasnya, melainkan karena dianggap tak berguna.
Bagi negara dan arus utama masyarakat, guna sekolah bagi anak memang bukan
untuk membentuk ”anak yang cerdas secara sosial atau kritis kepada masyarakat,
negara, agama, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Sekolah berguna cukup untuk
membuat anak menjadi saleh dan terampil sehingga: ”Sudahlah, jangan dipusingkan
lagi, yang penting Agama, PPKn, dan Matematika dikuatkan,” ujar pegawai dinas
pendidikan kepada saya.
Pertanyaannya, dengan IPS
disederhanakan, siapkah anak- anak kita hidup di tengah masyarakat yang sarat
otoritarianisme birokrat, korupsi, dan fundamentalisme agama?
Yohannes
Sanaha Purba ;
Dosen
Pengampu Pendidikan Multikultural PGSD/FKIP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
KOMPAS,
07 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi