Sejak zaman Orde Baru hingga sekarang, telah
terjadi empat kali perubahan kurikulum: kurikulum 1975, kurikulum Cara Belajar
Siswa Aktif 1984, kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Tahun ini pemerintah berencana
menerapkan kurikulum baru 2013. Mengapa kurikulum harus diubah? Mutu murid
Indonesia dalam banyak bidang berada di bawah mutu siswa negeri lain. Perbaikan
harus diadakan dalam isi dan metode pengajaran. Guru harus ditingkatkan
kualitasnya.
Kurikulum 2013 hendak memanfaatkan momentum
yang disebut periode "bonus demografi" (2010-2035) saat penduduk
produktif dominan. Pada masa "emas" ini perubahan harus diadakan
sebelum terlambat saat tenaga produktif menyusut. Manusia Indonesia dalam
Kurikulum 2013 ditekankan dalam hal kompetensi dan kreativitasnya.
Inilah fakta di lapangan dari empat kali
perubahan kurikulum sebelumnya. Praksis kurikulum tergelincir menjadi sekadar
urusan tersier jual-beli buku pelajaran, administrasi persekolahan, dan ujian
nasional (UN). Pihak yang mengambil manfaat paling besar sesungguhnya para
penerbit buku pelajaran dan LKS. Kurikulum baru belum dirilis, para wiraniaga
penerbit buku pelajaran sudah bergerilya menawarkan produk sesuai dengan
kurikulum 2013. Itulah yang membuat setiap kali ada pembaruan kurikulum, para
guru adem ayem. Tidak tampak risau, apalagi greget. Format peranti mengajar,
seperti silabus, program semester, dan rencana pembelajaran, disediakan penerbit
buku sebagai suplemen. Para guru tinggal mengetik ulang dan memoles sedikit
agar sesuai dengan kebutuhan sekolah tempat mengajar. Guru lain tinggal
copy-paste (salin-tempel).
Sehebat apa pun kurikulum baru, hasilnya bisa
ditebak. Mayoritas guru tetap mengajar dengan langgam konvensional. Para murid
tetap jenuh total. Kurikulum, mau diubah-ubah seperti apa, ujung-ujungnya tetap
UN. Begitulah lingkaran setannya. Kapan ada lingkaran malaikat? Saatnya ujian
akhir dikembalikan ke sekolah masing-masing, tidak dimonopoli pemerintah. Ujian
sekolah akan membuat sekolah kreatif mengkreasikan kurikulum. UN mengurung
pendidikan dalam mekanisme "perangkap pecundang sekolah kandang".
Setiap ada pembaruan kurikulum, hasilnya
involutif (mungkret) dan kontra-produktif (tidak kena sasaran). Departemen
Pendidikan sebaiknya berubah menjadi Departemen Sekolah saja. Pendidikan absen
karena berfokus pada kegiatan instruksi guru kepada murid dalam kelas.
Pendidikan telah merosot sekadar pelatihan menjadi bodoh. Pendidikan terperangkap
materialisme kurikulum.
Makna pendidikan direduksi sebagai serangkaian
aktivitas memindah materi buku ajar. Sibuk mengurusi memori otak pada taraf
primitif: menghafal materi pelajaran guna menghadapi UN. Esensi pendidikan
sebagai kegiatan menuju kematangan, kedewasaan, dan kepribadian murid
dikerjakan sambil lalu. Pengolahan bakat (memori otot) individual seolah hanya
menjadi urusan sekolah kejuruan. Siswa berbakat justru sengsara jika studi di
sekolah umum.
Kurikulum, yang terbelenggu pabrikan buku dan
ujian nasional, didominasi ranah kognitif sebagai simbol prestasi tertinggi.
Bidang studi tetap banyak, standar isi sangat berat, mendewakan matematika-IPA,
dan mengabaikan humaniora-sastra. Proses belajar-mengajar di kelas menegangkan,
hingga membuat murid mengalami down-shifting. Input murid kualitas santan,
output malah bisa jadi ampas. Paradigmanya masih beranggapan ada anak yang
bodoh dan tidak punya potensi apa pun.
Metode mengajar guru akan terus bercorak
indoktrinatif. Strategi mengajar didominasi ceramah dengan fokus mengerjakan
soal-soal berpikir tingkat rendah guna mempersiapkan UN. Guru mengajar, bukan
murid belajar. Mengagungkan ends values (hasil akhir) bersifat ambisius,
materialistis, logis, dan individualistis. Guru tak ubahnya gladiator pembunuh
minat, bakat, dan kecerdasan majemuk murid. Perkembangan murid direduksi dalam
peringkat (ranking). Murid dipertarungkan dengan murid lain.
Kurikulum yang belum bisa bebas dari kartel
industri buku dan UN mereduksi kehidupan siswa yang kompleks dan kaya potensi
menjadi kumpulan skor, persentase, dan nilai. Standar misterius mengharuskan
sekian persen siswa mengalami kegagalan. Murid digeneralisasi secara seragam.
Pembelajarannya ekstrinsik dan berlomba memperoleh skor tertinggi.
Kurikulum memerangkap para guru menjadi
manusia bermental kandang, sehingga kurang kreatif dan malas berinisiatif.
Mereka bekerja berdasarkan inisiatif pimpinan. Program sertifikasi guru hanya
mengangkat status sosial guru. Guru hanya masuk zona comfortable karena
terpenuhi kebutuhan materialnya. Pada umumnya guru bersertifikat pendidik
perilakunya masih menunjukkan guru medioker dan superior. Kerja mereka ceramah
dan memperagakan kewibawaan. Mayoritas guru bukan guru terpuji yang mudah
dipahami. Bukan pula guru inspiratif yang sadar profesi utamanya mendidik,
bukan semata mengajar.
Para guru belum terbiasa melayani murid dengan
beragam gaya belajar. Metode mengajar belum multi-strategi. Mereka belum
menjadi lentera jiwa yang lebih banyak melayani dan mendengarkan. Mereka suka
mengindoktrinasi, menghakimi, dan menjadi agen penerbit buku.
Pendidikan (bukan persekolahan) mestinya
menawarkan pengalaman menarik, aktif, hidup, dan membahagiakan; membangun
lingkungan yang memberikan kesempatan sama bagi setiap murid untuk berhasil;
memungkinkan guru mengembangkan kurikulum bermakna dan melakukan penilaian
dalam konteks program tersebut.
Penilaiannya didasari proses berkesinambungan,
sehingga menghasilkan gambaran akurat tentang prestasi murid; memperlakukan
murid sebagai pribadi otentik; mementingkan proses sekaligus hasil akhir.
Mencakup kecakapan berpikir tingkat tinggi. Memotivasi pembelajaran sebagai
sesuatu yang memang substansial. Membandingkan siswa hanya dengan pencapaian
mereka sendiri dari masa sebelumnya.
Kurikulum esensial mengarah pada inti
kecerdasan: problem solving, character building, life-skill, dan pelbagai
kegiatan yang membuat murid bahagia belajar. Juga mengutamakan means values
(proses nilai) seperti integritas, kejujuran, tanggung jawab, kesetaraan, dan
kepedulian. Itu sebabnya, kurikulum 2013 harus dibebaskan dari kartel industri
buku pelajaran dan UN.
J
Sumardianta ;
Guru
SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
KORAN
TEMPO, 14 Maret 2013
tulisan yang sangat kritis.
BalasHapusmantap membacanya. salam