Kalau sekarang pemerintah disibukkan
dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebagai kompensasi kenaikan harga
BBM, diam-diam perguruan tinggi negeri juga menikmati bantuan serupa: bantuan
operasional perguruan tinggi negeri.
Bedanya, bantuan langsung sementara
masyarakat (BLSM) diberikan kepada masyarakat miskin karena kelompok masyarakat
miskin perlu diberdayakan, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN)
diberikan kepada semua PTN, dengan jumlah yang bervarasi: semakin kuat sebuah
PTN akan semakin banyak dana BOPTN yang diterimanya. Pemerintah mengalokasikan
BOPTN setiap tahun. Jumlah alokasi pada tahun berikutnya dapat naik atau turun.
Pada tahun 2013 alokasi BOPTN sebanyak Rp 2,7 triliun bagi 94 PTN.
”Evaluasi ini berdasarkan faktor
kualitas sesuai akreditasi,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh saat memberikan keterangan pers di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta, Senin (27/5), seperti yang diberitakan melalui laman Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi di www.dikti.go.id.
Apa artinya kualitas?
Tulisan ini mencoba memaknai jumlah
dana BOPTN yang diterima masing-masing oleh 12 PTN (berdasarkan urutan jumlah
dana yang diterima), berikut jumlah publikasi internasional yang terindeks di
Scopus per 23 April 2013 yang dihasilkan PTN yang menerima BOPTN dimaksud. Data
Scopus tertanggal 23 April 2013 ini saya kira sangat tepat dihadirkan karena
dua hal.
Pertama, dana BOPTN dibagikan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang terjadi di sekitar April 2013.
Kedua, karena Dirjen Dikti paling ngotot agar publikasi internasional
dijadikan dasar penilaian bagus-tidaknya sebuah PTN, publikasi internasional
seharusnya jadi indikator sangat penting dalam penentuan jumlah dana BOPTN yang
diterima PTN.
Sosialisasi dan aturan main tentang
publikasi internasional yang dilakukan Prof Djoko Santoso, selaku Dirjen Dikti,
benar-benar luar biasa. Hal ini tecermin dari beberapa surat edaran serta dalam
bentuk ceramah-ceramah langsung. Masalah publikasi ini jadi berita paling panas
tentang perguruan tinggi sejak Djoko menjadi Dirjen Dikti. Oleh karena itu,
seharusnya kualitas yang dimaksud M Nuh sama dan sebangun dengan kualitas yang
dimaksud Djoko Santoso.
Seperti telah dikemukakan, jumlah
dana yang disalurkan BOPTN ini adalah Rp 2,7 triliun. Jumlah yang diterima
keseluruhan PTN, setelah dikurangi satuan kerja Ditjen Dikti (untuk Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat Rp 500 miliar dan BOPTN untuk PTN baru Rp
25.348.039.239) serta satuan kerja Universitas Terbuka sebesar Rp 100 miliar,
yang tersisa dan diperebutkan oleh PTN seluruh Indonesia adalah Rp
2.074.651.960.761.
Berdasarkan jumlah dana yang
diterima, Universitas Indonesia bertengger di urutan pertama dengan dana Rp
226.790.370.292. Ini berarti UI menyerap hampir 11 persen dana BOPTN. Jumlah
publikasi UI yang terindeks di Scopus (per 23 April 2013) juga terbilang
fantastis untuk ukuran Indonesia, yaitu 2.531. Namun, dibandingkan Universiti
Malaya yang punya publikasi sekitar 20.000 atau National University of
Singapore yang memiliki publikasi 70.000 lebih, UI (apalagi PTN lain) tampak
menjadi universitas yang tidak berdaya.
Namun, yang juga menarik, dalam
beberapa hal jumlah BOPTN yang diterima tidak sesuai dengan jumlah publikasi
yang dihasilkan PTN. Ini artinya, faktor kualitas sesuai akreditasi, seperti
yang dikatakan Mohammad Nuh, tidak ada hubungannya dengan jumlah publikasi
internasional yang dihasilkan PTN. Jadi, jumlah publikasi internasional yang
tinggi tak ada hubungannya dengan akreditasi yang mereka dapatkan. Ini bertolak
belakang dengan program Dirjen Dikti yang sangat menggebu-gebu dalam hal
publikasi internasional.
Sebagai contoh, IPB terpelanting ke
urutan ke-4, padahal sesuai publikasi internasional yang mereka miliki mestinya
IPB di posisi ke-3. Publikasi internasional IPB (1.047) hampir tiga kali lipat
daripada Universitas Brawijaya (360) yang ada di peringkat ke-3. Universitas
Andalas (309) dan Universitas Syiah Kuala (249), yang punya jumlah publikasi
hampir sama tercampak di urutan ke-9 dan ke-10, padahal kalau publikasi
internasional yang dijadikan ukuran, seharusnya dua universitas ini berada pada
peringkat ke-5 dan ke-6.
Tak kalah menarik, Universitas
Negeri Malang dan Universitas Negeri Surabaya menjadi universitas-universitas
yang sangat beruntung karena mampu duduk di urutan ke-6 dan ke-7 meskipun tidak
mempunyai publikasi internasional sama sekali yang tercatat di indeks Scopus.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada dua universitas ini saja. Universitas
bekas IKIP yang lainnya juga mengalami nasib serupa: menerima jumlah dana BOPTN
yang banyak, tapi minim publikasi internasional.
Ini memerlukan analisis yang
sempurna, untuk mencari akar masalahnya. Karena universitas-universitas ini
bergerak dalam bidang yang sangat strategis (bidang pendidikan), seharusnya
institusi ini juga didorong untuk melakukan publikasi internasional
sebanyak-banyaknya.
Akreditasi dan publikasi
Tampak dari analisis di atas bahwa
kualitas sebuah PTN yang dimaksud oleh pemerintah sedikit sekali hubungannya
dengan publikasi internasional yang dihasilkan oleh sebuah PTN. Saya juga yakin
di level paling bawah, yaitu level program studi (prodi), publikasi
internasional juga tidak menjadi ukuran akreditasi sebuah prodi. Kalau dugaan
ini betul, pekerjaan yang dilakukan Dirjen Dikti menjadi pekerjaan yang agak
sia-sia.
Agar pekerjaan (sosialisasi dan
tuntutan publikasi internasional) ini tidak menjadi pekerjaan mubazir yang
berkepanjangan, ke depan akreditasi prodi dan akreditasi universitas, basisnya
harus didasarkan pada publikasi internasional. Kalau ini ingin dijalankan
secara konsisten, jumlah dana BOPTN yang diterima PTN pun seharusnya mempunyai
korelasi positif dengan publikasi internasional yang dihasilkan PTN.
Syamsul Rizal ;
Guru Besar Universitas Syiah Kuala,
Ketua Presidium Forum Pimpinan Pascasarjana Indonesia
KOMPAS, 16 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi