Mendambakan Perguruan Tinggi Bermutu

Melanjutkan tulisan Prof Hendra Gunawan (Kompas, 1 Juli 2013) mengenai perguruan tinggi bermutu, saya sepaham hal itu bermuara pada mutu dosen. Namun, dosen tidak akan mampu berbuat banyak bilamana tidak didukung sistem manajemen pendidikan tinggi memadai. Jadi memang semuanya akan bermuara kepada kekuatan modal insani (human capital).
Perguruan tinggi (PT) di Indonesia tentunya belum mempunyai sejarah panjang dibandingkan dengan PT di berbagai negara maju. Namun, dibandingkan dengan Malaysia pun, sekarang kita kalah. Misalnya, dalam hal produktivitas menulis makalah di jurnal ilmiah yang terindeks Scopus, penulis yang berasal dari seluruh kampus-kampus besar Tanah Air ternyata masih lebih sedikit ketimbang penulis yang berasal dari satu kampus di Malaysia.

Pengalaman IPB
Pada pertengahan tahun 50, Pemerintah Indonesia mulai membenahi PT dengan program ’Indonesianisasi’ tenaga pengajar. Dosen-dosen PT yang umumnya warga negara Belanda, mulai diganti secara bertahap oleh orang Indonesia. Di Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (UI) yang kemudian menjadi cikal bakal Institut Pertanian Bogor (IPB), penataan dimulai dengan bekerja sama dengan Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Dosen dikirim ke berbagai universitas di AS dengan prioritas memperkuat ilmu-ilmu pertanian berbasis ilmu-ilmu dasar. Jadi, pendirian IPB dimulai dengan penguatan tenaga pengajarnya.
Program penguatan pengajar ini terus berlanjut dalam bentuk berbagai kerja sama meski sempat berhenti pada pertengahan dekade 1960-an. Pola pengiriman para dosen ini tidak menumpuk di satu kampus. Mereka menyebar ke universitas-universitas besar di berbagai negara bagian agar memiliki aspek keragaman pendidikan dan suasana kampus sehingga terhindar dari kesamaan konsep berpikir yang akan menyebabkan kemandekan akibat homogenitas.
Paling tidak ada dua hal penting yang dapat dipetik dari pengalaman di atas. Pertama, pentingnya keragaman asal-usul modal insani yang akan menjadi dosen, dan kedua, rencana besar (grand design) PT dimulai dengan penguatan ilmu-ilmu dasar lalu diteruskan ke bidang ilmu terapan.

Dipresi ”indbreeding”
Di dalam ilmu pemuliaan ternak atau tanaman ada istilah inbreeding depression, yakni suatu keadaan penurunan produktivitas atau mutu suatu individu dan kelompok akibat kehomogenan genetik. Kejadian ini diakibatkan oleh persilangan satu galur secara terus-menerus. Bahkan tidak mustahil, pada tahap embrio pun individu tidak mampu berkembang dan mengalami kematian. Keadaan ini dalam genetika disebut keadaan lethal. Para pemulia tanaman atau ternak selalu berusaha menghindari kawin silang satu galur ini karena akan menyebabkan kehomogenan genetik yang sulit mendongkrak pertumbuhan.
Secara teori genetika, produktivitas suatu populasi itu berbanding lurus dengan keragaman genetik (genetic variance) yang berarti semakin seragam akan semakin kecil produktivitas. Pelajaran dari ilmu pemuliaan ini bisa kita implementasikan ke dalam organisasi. Sebuah organisasi yang tidak menjaga keragaman individu cenderung tidak produktif, kehilangan gagasan, dan akhirnya bangkrut. Jadi, para perencana modal insani di PT sebaiknya memahami konsep keragaman untuk kemajuan ini supaya terhindar dari dipresi inbreeding yang bisa berakibat fatal, yakni lethal (kematian), kemandekan, kehilangan inovasi dan semangat.
Kalau kita perhatikan buku profil universitas-universitas kelas dunia, jarang ditemukan dosen yang lulus S-1,S-2, dan S-3 dari tempat dia mengajar. Pada umumnya mereka bukanlah alumni almamaternya, paling tidak satu dari ketiga gelar akademiknya. Dengan demikian, di kampus-kampus besar itu tidak ditemukan fenomena inbreeding depression. Maka, wajar bila universitas-universitas tersebut semakin maju dan berkembang.
Kampus-kampus di daerah pada tahap awal pembentukannya tidak mengalami dipresi inbreeding karena calon-calon dosen pada saat itu dikirim sekolah ke PT pembina di Pulau Jawa melalui program afiliasi. Setelah mereka lulus sarjana dari PT di Jawa kemudian mendapat tugas belajar di beberapa negara. Dengan demikian keragaman dosen di PT daerah akan terjamin. Saat ini, program afiliasi sudah tidak ada lagi dengan asumsi PT di daerah sudah siap berkembang sendiri. Bahkan PT tersebut sudah mendapat izin menjalankan program pascasarjana sampai ke tingkat doktor. Peluang terjadinya inbreeding menjadi tinggi, yakni semakin banyak dosen yang lulus S-1 sampai S-3 dari almamaternya. Lama-kelamaan terjadilah dipresi inbreeding dan dosen-dosen yang sudah menyandang gelar doktor akan mengejar posisi-posisi struktural.
Fenomena dipresi inbreeding di universitas tidak bisa dianggap enteng, karena efeknya akan ke mana-mana. Para eksekutif PT harus mulai hati-hati dengan persoalan ini sejak dini. Bila mereka tidak menganggap ini persoalan besar, berarti sedang mempersiapkan keruntuhan PT untuk tidak lagi menjadi tempat mendidik para agent of change (agen perubahan). Begitu juga Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi harus mulai membuat pemetaan kondisi dosen PT di Indonesia. Dari data ini dapat dihitung koefisien inbreedingsebuah PT. Bilamana koefisien itu sudah melewati ambang tertentu, berarti sedang menjurus ke situasi dipresi inbreeding. Ini cukup berbahaya bagi masa depan PT, sains dan teknologi di Indonesia.

Asep Saefuddin  ;   
Guru Besar pada Departemen Statistika FMIPA IPB
KOMPAS, 06 Juli 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi