BBM dan Pendidikan

Seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pemerintah menaikkan anggaran belanja tahun ini lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 menjadi Rp 1,722 triliun. Peningkatan ini menyebabkan anggaran pendidikan turut naik. Dikutip dari data RAPBN-P 2013, total anggaran pendidikan pada RAPBN-P 2013 naik menjadi Rp 345,335 triliun dari sebelumnya pada APBN 2013 Rp 336,8 triliun. Salah satu rencananya, tambahan anggaran pendidikan ini akan dioptimalkan penggunaannya dalam bentuk Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Beasiswa Bidik Misi sebesar Rp 7,43 triliun untuk 16,6 juta anak dari keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Melihat komitmen pemerintah untuk tetap mematuhi amanah undang-undang bahwa anggaran pendidikan wajib 20 persen dari APBN patut diapresiasi. Hanya, yang masih patut disayangkan ada lah efektivitas anggaran dan strategi politik pendidikan yang masih melayang entah ke mana. 

Distribusi anggaran
Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Oleh karena itu, dua sektor penting pendidikan dan kemiskinan seharusnya menjadi cerminan fungsi distribusi anggaran. Dalam praktiknya, besarnya anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan berkualitas. 
Sejak 2009, akhirnya pemerintah memenuhi amanat konstitusi 20 persen anggaran pendidikan pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang memasukkan komponen gaji. Pada APBN-P 2009 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp 208,2 triliun dan empat tahun kemudian melonjak Rp 336,8 triliun pada APBN 2013, bahkan mengalami kenaikan lagi setelah APBN-P 2013 disahkan.
Besarnya peningkatan anggaran pendidikan ini terlihat belum bisa menyelesaikan persoalan pendidikan yang masih karut-marut. Di berbagai daerah, masih banyak jumlah gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.  Begitu pun yang terjadi kepada para pengajar. Secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia belum sesuai harapan. Hingga saat ini, baru sekitar 51 persen berpendidikan S-1, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Selain itu, baru 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. 
Alhasil, saat ini angka putus sekolah di Indonesia tergolong cukup tinggi. Pada 2010 mencapai 1,08 juta anak atau naik 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring yang dirilis UNESCO 2011, Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Pada level Asia, Indonesia tertinggal jauh dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34 yang masuk dalam jajaran kelompok dengan skor tinggi bersama Jepang (nomor 1 di Asia). Indonesia hanya mampu berada di atas negara-negara, seperti Filipina, Kamboja, India, dan Laos. 
Tak ayal, laporan terbaru World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Competitiveness Index 2012-2013 menunjukkan bahwa peringkat daya saing Indonesia melorot ke posisi 50 dengan skor 4,4 dari posisi ke-46 pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, dibandingkan dengan negara tetangga, posisi daya saing Indonesia makin tertinggal.
Kita pasti bertanya-tanya, mengapa besarnya anggaran pendidikan belum membawa hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena politik pendidikan nasional belum memiliki visi yang jelas sehingga berbagai kebijakan dan implementasi pendidikan tampak sekadar coba-coba dan reaktif. 
Dalam teori pembangunan kontemporer dikemukakan bahwa pendidikan mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan pembangunan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pembangunan SDM bernilai sangat strategis, tidak bisa diterapkan secara coba-coba dan seram- pangan. Sebab, pendidikan memberikan kontribusi yang amat besar terhadap kemajuan pembangunan, termasuk untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan yang baik dan benar akan mampu melahirkan angkatan kerja yang terdidik. Tenaga kerja terdidik akan berpengaruh lebih signifikan lagi bila disertai penguasaan teknologi sehingga menghasilkan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Penguasaan teknologi ini sangat penting untuk mendorong produktivi tas dan efisiensi. Penguasaan teknologi itu dimungkin kan bilamana persyaratan modal manusia yang andal telah dipenuhi. Jadi, antara modal manusia dan teknologi harus ada persenyawaan agar menciptakan kekuatan sinergis sehingga bisa mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.
Kini, semakin jelas bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih luas lagi, yaitu perkembangan ekonomi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pengembangan investasi pendidikan tidak bisa dilakukan dengan kebijakan instan, seperti BSM, Beasiswa Bidik Misi, atau sejenisnya. Program BSM hanya akan menempatkan masyarakat miskin sekadar sebagai objek penerima bantuan. Dalam konteks ini, akhirnya masyarakat tidak mampu berpikir secara kritis dan mengembangkan prakarsa-prakarsa inovatif yang sebenarnya menjadi esensi dari pemberdayaan.
Di tengah sebagian masyarakat yang semakin pragmatis, program BSM ini sangat tidak tepat karena justru hanya akan mengajarkan masyarakat semakin bergantung kepada pemerintah . Sudah saatnya pemerintah merancang solusi kebijakan jangka panjang dan terintegrasi agar masyarakat miskin tetap terlindungi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perseorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. 
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan, kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan instabilitas sosial yang menjadi beban sosial-politik bagi pemerintah. Sepatutnya kebijakan investasi pendidikan tak dihubungkan dengan kenaikan harga BBM

Ali Masykur Musa  ;   
Pengurus Pusat Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Penggagas AMM Berdedikasi
REPUBLIKA, 06 Juli 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi