Azas-Azas Pendidikan yang Terabaikan

Permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita adalah karena kita (pendidik dan orang tua) mengabaikan  azas-azas pendidikan yang dahulu pernah diungkapkan oleh  Ki Hajar Dewantara. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berpikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Di negara-negara yang sudah berkembang ataupun yang sudah mengalami stabilitas politik dan agama, pendidikan menjadi perhatian penting bagi masyarakat. Bahkan pada sekitar waktu peluncuran pesawat ruang angkasa pertama kali, sebagian besar masyarakat dunia tidak lagi hanya memperhatikan, melainkan menjadi demam memikirkan pendidikan. Masyarakat mulai ramai memperdebatkan fungsi dan tujuan pendidikan.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Para pakar yang giat memperdebatkan pendidikan, mereka lebih cenderung berprinsip bahwa tujuan pendidikan dasar adalah mempersiapkan generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan tinggi akhirnya dimaksudkan untuk mempersiapkan para mahasiswa untuk dapat memperoleh sukses dalam karir dan kehidupan pribadi, serta mampu berpartisipasi di dalam pembangunan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan Negara lebih maju dari Negara-negara yang lain. Kosasih Djahiri mengatakan bahwa Pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).
Akhir-akhir ini pendidikan diarahkan untuk menaggulangi permasalahan putus sekolah, kenakalan anak-anak, pengangguran dan dunia kerja. Bagi Negara-negara yang sedang berkembang masih dihadapkan dengan beban yang lain yakni mengatasi kemiskinan dan kebodohan. Indonesia termasuk Negara yang sudah mulai menekankan fungsi pendidikan formal sebagai tempat latihan serta persiapan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan lapangan akan  tenaga kerja. Langkah ini sangat berguna, dalam usaha mengatasi masalah kurangnya daya tampung pendidikan tinggi. 
Akan tetapi banyak pihak yakni masyarakat dan generasi muda yang menjadi bingung ketika mereka mengenyam bangku pendidikan. Bahkan sebagian diantara mereka ada yang meragukan tentang fungsi dan arti pendidikan kita. Mereka telah bersusah payah menempuh dan membiayai pendidikan, namun pada akhirnya tidak dapat bekerja menurut pengalaman  serta lapangan yang ada. Dengan pendidikan, pada akhirnya mereka tidak dapat menemukan kebahagiaan atau kesehjateraan hidup.
Permasalahan di atas semakin diperparah lagi dengan tingkah laku yang tidak baik yang dicontohkan oleh seorang pendidik kepada anak didiknya. Dari mulai kasus korupsi yang menyeret beberapa guru, kepala sekolah dan pimpinan perguruan tinggi serta kasus asusila yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya, kondisi ini menambah sederet derita panjang suramnya dunia pendidikan Indonesia. Maka kondisi yang terjadi ini sesungguhnya menurut hemat penulis adalah karena ketidak pahaman kita (pendidik dan orang tua) terhadap azas-azas pendidikan yang dahulu pernah diungkapkan oleh Bapak Pendidikan yakni Kihajar Dewantara.

Azas-Azas Pendidikan yang Terabaikan
Pendidikan dengan pendekatan manusiawi/humanistik adalah upaya konkrit yang harus dilakukan oleh pendidik karena meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor). Pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.
Melalui pendekatan humanistik ini diharapkan proses pendidikan yang berlangsung dapat menyentuh lima azas pendidikan sebagaimana yang dicetuskan oleh Kihajar Dewantara yang saat ini mulai terabaikan yakni: 
Pertama, pendidikan hendaknya mampu memenuhi azas kemerdekaan. Yang dimaksud kemerdekaan disini adalah memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat. Orang Tua dan pendidik hendaknya memahami bahwa anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kita dan masing-masing anak terlahir dengan kemampuan yang unik. Orang Tua boleh berkeinginan untuk membentuk anaknya menjadi ilmuwan, politikus, aparat pemerintah atau yang lainnya tetapi orang tua juga harus menyadari bahwa setiap anak memiliki bakat tersendiri dan hal itu harus diperhatikan agar jangan sampai kia merebut kemerdekaan individu yang ada dalam diri sang anak. Jika cita-cita orang tua ternyata tidak sesuai dengan cita-cita anak, maka perlu dilakukan dialog dalam keluarga tersebut. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya, karena tugas orang tua adalah mengembangkan dan memelihara potensi anak bukan sebaliknya yakni mematikan potensi anak tersebut. Sepanjang cita-cita itu masih baik dan tidak menyimpang dari aturan agama, sebaiknya orang tua terus mendukung serta mendoakan anaknya.
Kedua, pendidikan hendaknya mampu memenuhi azas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya. Orang tua dan pendidik tidak boleh memaksakan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang sebelum waktunya dalam artian mengajarkan sesuatu hal yang belum saatnya untuk ia dengar. Sebagai contoh sederhana, kita sangat prihatin dengan beberapa penyanyi cilik Indonesia yang diajarkan untuk menyanyikan lagu-lagu orang dewasa apalagi berhubungan dengan percintaan dan asmara. Media hiburan tanpa terasa sudah merampok kodrat alam yang dimiliki seorang anak dan anehnya hal ini mendapat persetujuan dari orang tua bahkan ia bangga ketika anaknya pandai menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Seharusnya media dan orang tua berperan lebih baik lagi, kalau dia masih anak-anak tentu harus diajarkan menyanyikan lagu anak-anak agar tidak bertentangan dengan kodrat alam yang ada dalam dirinya.
Ketiga, pendidikan hendaknya memperhatikan azas kebudayaan. Maksudnya adalah pendidikan yang diajarkan harus berakar dari kebudayaan bangsa, namun tidak gagap mengikuti kebudayaan luar yang telah maju sesuai dengan zaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acuan utama (jati diri). Kalau orang Korea berhasil menularkan budaya K-Pop nya kepada anak muda di dunia , seharusnya kita (bangsa Indonesia) harus mampu menularkan kebudayaan yang positif bagi negara lain sebagai contoh pendidikan karakter yang menjadi program pemerintah. Bagaimana Indonesia mampu menciptakan seorang ilmuwan yang cerdas namun memiliki moral dan wawasan keagamaan yang baik pula. Bukankah Indonesia telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan tersebut yang mampu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, emosional dan spritual, dan jika ini kita pamerkan ke Negara lain, maka pendidikan Indonesia akan menjadi perhatian bagi seluruh dunia. 
Keempat, pendidikan hendaknya memperhatikan azas kebangsaan. Maksudnya adalah membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa sendiri. Sebagai contoh para pendidik hendaknya mampu memberikan pemahaman yang baik kepada anak didiknya kenapa masyarakat Yogyakarta tidak mau Gubernur dan Wagub dipilih tersendiri oleh masyarakat dan bukan berasal dari Kraton Yogyakarta yakni Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam. Masyarakat Yogyakarta bukan tidak patuh terhadap pemerintah Indonesia, tetapi mereka khawatir kalau Gubernur dan Wagub dipilih tersendiri, mereka (Gubernur dan Wagub) tidak melindungi ekonomi masyarakat jogja yang rata-rata memiliki ekonomi lemah dan hidupnya bergantung dari ketrampilan yang dimiliki secara turun menurun. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam selama ini sangat perhatian dan juga senantiasa melindungi ekonomi masyarakat jogja dari perusahaan dan industri yang bisa menghancurkan ekonomi masyarakatnya. Kondisi ini perlu disampaikan dengan baik oleh pendidik kepada peserta didik agar tidak muncul kesalah pahaman antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Kelima, pendidikan hendaknya memperhatikan azas kemanusiaan. Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang pernah penulis ungkapkan dalam tulisan terdahulu, bahwa peserta didik bukanlah robot yang bisa kita perintah sesuka hatinya apalagi memanfaatkan ketidak tahuannya untuk kejahatan. Mereka (peserta didik) adalah manusia yang punya akal dan pikiran serta masa depan yang masih panjang, maka sudah selayaknya kita memperlakukan mereka dengan baik pula minimal dengan memberikan keteladanan yang baik bagi peserta didik tersebut. Jikalau peserta didik melakukan kesalahan, maka silahkan para pendidik untuk memberikan hukuman yang mampu mendidiknya dengan baik sekaligus mengajarkan kepada mereka (peserta didik) bahwa yang dituntut dalam pendidikan bukan hanya pengetahuan semata tetapi moral dan tingkah laku menjadi modal dasar bagi mereka untuk menjadi generasi muda Indonesia yang tangguh, pintar dan berakhlak mulia. Inilah cita-cita ideal pendidikan kita di Indonesia.

M Abrar Parinduri ;
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Wakil Sekretaris Majelis Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Indonesia
OKEZONNEWS, 16 Juli 2013




Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi