"Untuk ”menghibur”, pemerintah
menyatakan beban guru akan lebih ringan dengan pemberlakuan Kurikulum
2013"
MESKI ada penolakan atau setidak-tidaknya
permintaan penundaan pemberlaluan Kurikulum 2013 dari beberapa kalangan (SM, 28/3/13), pemerintah
berketetapan menerapkan kurikulum
tersebut mulai medio Juli tahun ini.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran, merancang silabus dan buku, menyiapkan
pelatihan guru, dan sebagainya, sehingga
beranggapan tidak ada alasan yang cukup berarti untuk membatalkan atau menunda Kurikulum 2013.
Mendiknas Muhammad Nuh, dalam tanggapannya
terhadap kritik masyarakat, bahkan menganggap para pengkritik itu sebagai pihak
yang kurang memahami konstruksi kompetensi dalam kurikulum, sebagaimana
digariskan UU Sisdiknas (Kompas, 8/3/2013).
Sebagai sebuah proses dinamis, perubahan
bahkan penggantian kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Ini karena kurikulum
harus selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Yang penting untuk
diperhatikan sebenarnya bukanlah sekadar apa yang sedang diubah dan ditawarkan
oleh kurikulum baru, melainkan pada proses bagaimana perubahan itu diupayakan,
yang oleh Popper (1962) disebut sebagai sebuah kontinum dari utopian ke
piecemeal.
Penganut utopian percaya bahwa cetak biru
kurikulum yang menspesifikasikan tujuan dan cara pencapaian adalah sangat
penting, dan begitu ini ditentukan maka tidak ada lagi perubahan mendasar yang
bisa dilakukan. Di sisi lain penganut
piecemeal berpandangan bahwa meskipun
ada cetak biru, itu hanyalah sebuah titik awal; perubahan dan penyesuaian
dilakukan sedikit demi sedikit. Penganut paham ini berpandangan bahwa perubahan
ataupun inovasi kurikulum akan berhasil manakala perubahan itu tidak terlalu
jauh dengan apa yang sekarang dipraktikkan atau setidak-tidaknya dipikirkan.
Kurikulum 2013 lebih condong ke arah utopian,
perubahan diinisiasi oleh pimpinan puncak pendidikan di negeri ini dalam hal
ini Kemendikbud. Tujuan kurikulum sebagaimana yang tercakup dalam kompetensi
inti (KI) dan kompetensi Dasar (KD), bahkan silabus dan buku, telah
dipersepsikan secara terpusat.
Praktik seperti ini hanya akan memosisikan
guru sebagai ahli mekanik dengan keterlibatan pasif sebatas penyampai materi
pembelajaran. Hal ini perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh karena
keberhasilan atau kegagalan sebuah perubahan kurikulum akan sangat bergantung
pada seberapa besar guru merasa terlibat dalam proses perubahan tersebut.
Ketika masih banyak guru yang belum sepenuhnya
memahami substansi dan semangat Kurikulum 2006, mereka dihadapkan dengan
perkara baru yang dalam waktu sangat singkat harus dipersiapkan dan diekskusi
di kelas. Probabilitas atas disorientasi sangat besar.
Mengantisipasi hal ini, dan untuk ”menghibur”
guru, pemerintah menyatakan bahwa dengan Kurikulum 2013 pekerjaan guru akan
lebih ringan karena tidak lagi dituntut untuk mengembangkan silabus dan bahan
ajar sebagaimana dituntut oleh Kurikulum 2006 (KTSP). Silabus dan buku ajar
telah disiapkan oleh pemerintah.
Sebagai
Pembelajar
Ini adalah berita baik bagi sebagian guru,
tetapi berita buruk bagi sebagian yang lain karena ini adalah penegasan betapa
peran guru pada Kurikulum 2013 adalah peripheral, sebagai robot-robot mekanik
yang hanya menjalankan apa yang telah diprogramkan oleh sang tuan.
Ketika terjadi perubahan kurikulum, kita
seyogianya menempatkan guru sebagai pembelajar dan perubahan kurikulum itu
sebagai kegiatan pembelajaran bagi mereka. Kita harus memperhatikan dua
prinsip. Pertama; guru mampu mengoptimalkan kegiatan pembelajaran manakala ada
keterlibatan dalam pengembangan tujuan pembelajaran yang sebidang atau selaras
dengan yang ada dalam pikiran mereka.
Guru yang sudah bertahun-tahun mengajar pasti
mempunyai gambaran sangat jelas yang terjadi di kelas, termasuk faktor
penyebab, dan cara mengatasi persoalan tersebut. Seandainya tujuan pembelajaran
yang dibawa oleh kurikulum baru itu tidak sama dengan apa yang dipikirkan guru,
atau karena kurang tersosialisasikan sehingga terjadi distorsi pemahaman
terhadap tujuan tersebut maka kita tidak bisa berharap terjadi perubahan secara
substansial.
Kedua; guru bereaksi terhadap pengalaman
sebagaimana mereka memersepsikan pengalaman tersebut, bukan seperti apa yang
disampaikan oleh perumus kurikulum.
Ketika guru Bahasa Inggris SMP/MTs membaca butir kompetensi inti,” Menghargai
dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli...” maka yang
diperolehnya adalah ketidakjelasan peran yang harus dilakukan, apakah sebagai
guru Bahasa Inggris atau guru Agama.
Butir ini tentu tidak salah, tetapi pemahaman
yang dibentuk berdasarkan pengalaman selama ini menjadikan ini terdengar aneh.
Jika memahami peran penting yang akan dimainkan oleh guru, terkait dengan
pengimplementasian kurikulum baru, pemerintah harus berani mengambil tanggung
jawab dengan cara mendengarkan, mendukung, dan bertindak atas apa yang menjadi
perhatian para guru. Karena itu, tidak ada pilihan yang lebih baik kecuali
menunda pelaksanaan penerapan Kurikulum 2013.
Hartono
;
Dosen
dan Sekretaris Fakultas Bahasa Unissula Semarang
SUARA
MERDEKA, 05 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi