Serangkaian persiapan diberlakukannya
Kurikulum 2013 pada awal tahun pelajaran 2013, Juli mendatang, makin mengemuka.
Selain buku yang bakal dibagikan secara gratis, kesiapan guru dipertanyakan
banyak pihak. Sayangnya, mereka yang mempertanyakan terhadap kesiapan guru
adalah dari kalangan guru sendiri, sehingga dapat disimpulkan, jangan-jangan
munculnya stigma negatif terhadap guru justru dari kalangan sendiri.
Terhadap implementasi Kurikulum 2013,
misalnya--meminjam bahasa Mendikbud Mohammad Nuh tentang stigma negatif
guru--diapa-apakno, dilatih, gak iso-iso. Pancet koyo ngene ae (diapa-apakan,
dilatih, tidak pernah bisa. Tetap saja seperti ini). Apa yang disampaikan
Mendikbud di depan guru-guru PGRI di Semarang itu tentu bukan dalam konteks
merendahkan martabat guru.
Mendikbud mengajak kalangan guru untuk tidak
mau diremehkan dengan stigma negatif yang menganggap kualitas dan kompetensinya
tidak bisa berkembang. Mendikbud juga mengajak seluruh guru untuk membuktikan
dirinya bisa mengembangkan kompetensi dan kualitas serta tidak terpengaruh
stigma negatif yang meremehkan kemampuan guru.
Saya termasuk orang yang tidak percaya jika
guru tidak bisa berubah. Menunjuk pengalaman lapangan yang dilakukan oleh
Harian Republika bersama PT Telkom Tbk dalam program "Bagimu Guru
Kupersembahkan", misalnya, terlihat sekali betapa guru kita bisa berubah,
betapa guru kita bisa diandalkan.
KBK
Disempurnakan
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis
kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera
mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Karena
itu, bisa disebut juga sebagai KBK yang disempurnakan.
Di mana penyempurnaannya? Satu di antaranya,
jika pada KBK 2004 standar kompetensi lulusan diturunkan dari standar isi, maka
pada Kurikulum 2013 standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan apa
yang ingin dicapai oleh peserta didik pada jenjangnya. Penyempurnaan ini sangat
fundamental karena KBK 2004 maupun KTSP 2006 menempatkan standar kompetensi
lulusan disejajarkan dengan standar proses dan standar penilaian.
Mohammad Nuh menyebutkan, rumusan Kurikulum
2013 berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis
materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang
bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya
berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi.
Fakta di lapangan menunjukkan, perubahan
adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Atas dasar itu pulalah, muncul dinamika
kurikulum, yang mau tidak mau harus berubah. Bukan semata untuk menjawab dan
memenuhi tuntutan masyarakat, tapi yang lebih esensial adalah karena
pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada peserta didik yang dihasilkan pun
memiliki kompetensi memadai pada zamannya.
Kurikulum disiapkan untuk mencetak generasi
yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu, kurikulum disusun untuk
mengantisipasi perkembangan masa depan. Terhadap berkembangnya stigma negatif
di kalangan guru, memang tidak bisa dilepaskan dari hasil uji kompetensi awal
(UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) yang telah dilaksanakan oleh Kemendikbud.
Tengok misalnya hasil UKA, ujian yang diperuntukkan bagi guru yang belum
mendapatkan sertifikasi dan akan mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru
(PLPG), rerata nilai nasional yang diperoleh hanya 42,25, meski ada juga guru
yang memperoleh nilai 97.
Demikian pula dengan hasil UKG, ujian bagi
guru yang telah memperoleh sertifikasi, rerata nilainya pun tidak jauh berbeda,
hanya di angka 43,66, meski ada guru yang mendapat nilai di atas 90. Bagaimana
menyikapi fakta seperti ini, tidakkah kemudian kita miris melihatnya?
Kemendikbud menanggapi positif hasil UKA dan
UKG itu. Hingga kini Kemendikbud memang belum memiliki peta kompetensi guru,
meski sudah lebih dari satu juta guru memperoleh tunjangan dari sertifikat
pendidik yang mereka miliki. Sehingga, sulit menentukan titik tolak untuk
melakukan pelatihan apa yang sesuai dengan kebutuhan guru.
Sejak awal pelaksanaan UKA dan UKG memang
bertujuan untuk melakukan pemetaan terhadap potensi dan kemampuan guru, serta
pemetaan kompetensi, sebagai dasar kegiatan pengembangan keprofesian
berkelanjutan. UKG adalah pengujian terhadap penguasaan kompetensi profesional
dan pedagogik guru dalam ranah kognitif.
Mendikbud Mohammad Nuh mengibaratkan UKG
seperti pemeriksaan kesehatan atau check up untuk mengetahui apakah seseorang
jantungnya normal atau tidak, gula darahnya bagus atau jelek. Dengan mengetahui
hasil check up, maka upaya untuk melakukan perbaikan bisa dilakukan dengan
tepat.
Pelatihan menjadi salah satu kata kunci dalam
keberhasilan implementasi Kurikulum 2013. Pola yang disiapkan dalam pelatihan
tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat, yaitu hanya berupa ceramah.
Ceramah tetap dilakukan untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat umum dan
memberikan pemahaman. Materi pendalaman dan praktik, diwujudkan dalam bentuk workshop,
yang kemudian akan dilakukan pendampingan.
Pola pelatihannya disiapkan berjenjang. Ada
instruktur tingkat nasional, guru inti, dan kelas di mana masing-masing
membutuhkan persyaratan. Untuk menjadi instruktur nasional, misalnya, selain
berlatar belakang pendidikan minimal S1 program studi yang relevan, jika
berlatar belakang dosen, maka yang diutamakan telah memiliki nomor induk
asesor, sertifikasi guru pada bidang studi yang relevan. Sedang bagi pengawas,
kepala sekolah, dan guru harus sudah memiliki sertifikat pendidik pada bidang
studi relevan. Demikian juga yang berasal dari widyaiswara, harus memiliki
pengalaman pelatihan penyusunan kurikulum.
Inilah yang kini sedang disiapkan dan
dimatangkan. Harapannya, melalui pelatihan inilah implementasi Kurikulum 2013
dapat terlaksana dengan baik, sekaligus menghapus stigma negatif yang selama
ini melekat pada guru.
Semoga
Sukemi ;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
REPUBLIKA,
11 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi