KURIKULUM tingkat satuan
pendidikan (KTSP) yang moncer sejak 2006 ternyata kini ‘mati angin’. Hal itu
mengulang kegagalan kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA) maupun kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) yang juga tumpul akibat kompleksitas kesalahan yang
tidak total dibenahi.
Paradigma KTSP menggunakan model
pendekatan link and match, dengan sekolah berperan aktif menjadi agen perubahan
di masyarakat. Implementasi KTSP mesti dirasakan oleh masyarakat sekitar
sekolah.
Perubahan kurikulum dalam konteks
pendidikan di Indonesia ialah sesuatu yang niscaya. Namun sayangnya, perubahan
kurikulum tersebut sering tampak hanya perubahan nama, sedangkan substansinya
tetap sama. Ada jarak yang me nganga lebar antara konsep dan praksis sehingga
kurikulum yang berubah-ubah itu tak juga mengubah insan pendidikan secara
menyeluruh, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sudah banyak kritik terhadap
kurikulum di Indonesia yang terlalu sarat dengan mata pelajaran. Setidaknya,
kurikulum 1975, 1984, dan 1994 menuai kritik karena menambah beban belajar
siswa. Guru lantas ingin menyelesaikan seluruh mata pelajaran dengan tatap muka
di kelas (Paul Suparno dkk, 2002). Kritik tersebut mulai mengerucut ke solusi
untuk merancang kurikulum dengan selain siswa merupakan pembelajar yang aktif,
keterkaitan pelajaran dengan konteks kehidupan siswa mesti menjadi pijakan
utama.
Jika dilihat dalam analisis SWOT,
KTSP semestinya bisa menjadi pijakan bagus bagi sekolah untuk merangsang siswa
mengenal nilai dan potensi di masyarakat tempat sekolah atau siswa tersebut
tinggal. Siswa masuk ke sekolah bukan hanya belajar ilmu yang berjarak,
melainkan belajar ilmu yang pada tingkat tertentu bisa diterapkan di
masyarakat. Hal demikian dapat menjadikan sekolah menjadi konselor atau problem
solving bagi masyarakat. Relasi yang terpadu antara sekolah dan masyarakat
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada sekolah.
Kurikulum pendidikan di Indonesia
mulai mengacu ke paradigma siswa sebagai insan pendidikan yang lebih aktif
daripada guru. Bila dilakukan secara serius, KTSP membutuhkan model pendidikan
yang bisa mengubah seluruh kebijakan dunia pendidikan. Model ujian tidak bisa
lagi distandardisasi secara nasional karena fokus utama KTSP ialah lingkungan
masyarakat di sekitar sekolah.
Membaca
Panduan
Panduan penyusunan KTSP yang
dikeluarkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) 2006 sudah cukup gamblang
memberi acuan tentang penyusunan KTSP. Dalam konteks ini, semestinya sekolah
sudah bisa menangkap apa yang dimaksud dengan KTSP. Di situ jelas disebutkan
bahwa KTSP diterapkan untuk menggali potensi-potensi lokal masyarakat.
Titik penting tujuan dari
pengembangan kurikulum, terutama KTSP, ada di poin e, yakni `belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan'.
Tujuan tersebut menyiratkan suatu
pesan bahwa gedung sekolah bukan lagi tempat yang mampu mengakomodasi
kepentingan tersebut. Problem itulah yang menghambat para guru untuk
menjalankan KTSP karena jika melakukannya dengan benar, pembelajaran model
ceramah di ruang kelas akan semakin dikurangi.
Namun sayangnya, kebijakan ini
menjadi ‘mentah’ karena kebijakan fi nal (baca: kelulusan) dalam pendidikan
ialah ujian nasional yang mengacu ke tingkat yang lebih luas. Akan sangat aneh
jika sekolah sudah serius menjalankan model KTSP, tetapi soal ujian justru
bertolak dari lokalitas se tempat. Apalagi munculnya SBI (sekolah berstandar
internasional) dan RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional) yang
merangsang siswa untuk menguasai kualifikasi yang dibutuhkan di masyarakat
internasional.
Penyebab kegagalan KTSP secara
umum bisa dibagi menjadi dua, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal ialah anasir di luar masyarakat yang secara umum mengonstruksi
paradigma masyarakat. Anasir itu contohnya dipengaruhi televisi yang
Jakarta-sentris. Masyarakat lebih banyak menjadikan televisi sebagai acuan
konsep nilai di masyarakat karena anak didik juga menonton televisi yang
memberi banyak pengaruh kepadanya.
Secara internal, kegagalan KTSP
disebabkan belum siap nya guru dan kepala sekolah untuk mengetahui problem
masyarakat. Model pelatihan atau sosialisasi yang dilakukan Kemendikbud belum
berhasil meminimalkan kegagalan penerapan KTSP secara maksimal. Banyak guru
tidak bisa membuat konsep KTSP karena tidak dilatih menerjemahkan standar isi
sesuai dengan kondi si dan kebutuhan di tiap sekolah (Itje Chotijah, Kompas
3/10).
Kalau fakta di lapangan
menunjukkan kegagalan, yang mungkin terjadi ialah gagalnya supervisi yang
kontinu dari pihak terkait untuk mengawal KTSP. Supervisi yang dilakukan secara
terusmenerus patut dilakukan untuk kebijakan yang konsepnya belum
tersosialisasikan secara masif. Kalau supervisi sudah mental di tengah jalan,
guru sebagai ujung tombak KTSP bisa jalan di tempat. Terlebih jika pelaporan
yang ditekankan ialah pelaporan model dokumentatif-administratif yang sarat
manipulasi.
Model
MGMP
Penyusunan KTSP dalam acuan BSNP
dilakukan secara kolektif, dengan melibatkan kepala sekolah sebagai ketua
merangkap anggota. Secara hierarkis, itu sudah baik. Problem utama dari kurang
berhasilnya penyusunan KTSP di sekolah akibat guru belum mampu mengidentifikasi
persoalan lokalitas yang harus dihadapi. Guru tidak dilatih untuk melakukan
analisis SWOT, untuk menganalisis kekuatan, peluang, kelemahan, dan hambatan,
yang ada di masyarakat tempat sekolah tersebut berdiri. Tidak banyak guru yang
semasa kuliah dibekali materi analisis SWOT.
Telah lama dunia pendidikan
mempunyai MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), sampai tingkat kabupaten.
Dalam MGMP guru bermusyawarah untuk menyusun panduan pengajaran yang baik.
Produk MGMP itu ialah LKS (lembar kerja siswa) yang dipakai sebagai bahan untuk
memberi siswa tugas mata pelajaran. Hanya guru-guru yang memenuhi kualifikasi
tertentu yang dapat menjadi tim MGMP.
Alangkah lebih baik jika m model
seperti itu juga diberlakukan dalam tingkat yang lebih kecil, kecamatan dan
kelurahan. Untuk sekolah dasar, cukup banyak desa atau kelurahan yang memiliki
sekolah lebih dari satu. Para guru pengampu mata pelajaran bisa bertukar
pikiran. Tempat bisa bergiliran dari satu SD dan MI yang ada di kelurahan
tersebut. Cara demikian bisa mudah dilakukan karena bisa efisiensi waktu dan
transportasi karena jarak sekolah relatif dekat.
Untuk SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK,
pertemuan bisa digelar di tingkat kecamatan karena model sekolah menengah biasa
berkedudukan pada tingkat kecamatan. Setiap kecamatan memiliki problem yang
berbeda dengan kecamatan lainnya. Itu membutuhkan pengamatan jeli dari guru, di
samping juga perlu menggandeng instansi terkait di tingkat desa dan kecamatan
yang lebih tahu tentang problem di daerah mereka, apalagi jika guru berasal
dari kecamatan atau kota yang berbeda dari sekolah yang diajarnya. Dengan cara
itulah, problem dan kebutuhan di daerah bisa cepat dipantau guru yang tergabung
dalam tim MGMP di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Membangkitkan
Kembali
KTSP yang sudah ditetapkan ialah
pilihan baik, mengingat pendidikan memiliki tujuan yang kompleks. Selain pendidikan
menyiapkan anak didik untuk menghadapi tantangan global, siswa mesti
dipersiapkan untuk memahami problematik dan potensi daerah tempat dia tinggal.
Tantangan masa depan dan tantangan sekarang mesti dipecahkan bersama, dengan
KTSP sebagai instrumennya.
Kedua tujuan pendidikan itu mesti
terus ditanamkan kepada anak didik. Terlalu konsentrasi pada penyiapan anak
didik untuk berpikir global (masa depan) dapat memunculkan sebuah paradigma
bahwa kemajuan hanya bisa dicapai ketika mereka meninggalkan daerah mereka.
Tidak semua orangtua, misalnya, menginginkan anak mereka untuk merantau ke
kota, demi mengejar masa depan. Ada juga orangtua, yang karena alasan tertentu,
memilih anak mereka untuk tetap tinggal di desa.
Sekolah juga turut andil
mengelola aspirasi masyarakat yang seperti itu. Anak didik bisa berkembang
tanpa keluar dari daerah tempat tinggalnya. Pembangunan masyarakat bisa
berlangsung secara komprehensif dan holistik, sampai ke tingkat akar rumput.
Spirit KTSP merupakan kurikulum
yang bisa terus dipakai sepanjang zaman. Tanpa spirit tersebut, sekolah hanya
akan menjadi lembaga untuk meluluskan anak didik sekadar melalui mekanisme
ujian yang telah distandardisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menggunakan KTSP sebagai acuan dan landasan kurikulum bukan merupakan proses
yang instan. Perlu langkah-langkah yang melibatkan semua pihak agar program
KTSP bisa menampakkan hasilnya.
Terlebih ketika tenaga pendidik
sekarang, maaf, kurang mampu menerjemahkan KTSP. Perguruan tinggi yang memiliki
program studi keguruan harus memberi ruang yang banyak bagi calon guru dengan
pemahaman untuk membaca problematik masyarakat. Bekal ilmu membaca masyarakat
itulah yang dapat menjadi ‘senjata’ calon guru untuk mengimplemetasikan KTSP
menjadi model pengajaran yang merangsang siswa untuk sadar diri, kreatif,
menemukan potensi, dan sanggup berbuat untuk daerahnya.
Junaedi
Abdul Munif;
Direktur
el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi