Mantan senator Amerika Serikat (AS) dan
penggagas yayasan beasiswa Fulbright, William Fulbright, pernah berujar: the
education is slow movement, but powerful force.
Ungkapan ini bermakna bahwa pendidikan
merupakan investasi jangka panjang yang pergerakannya lambat, tetapi memiliki
daya dobrak luar biasa kuat. Pernyataan Fulbright ini layak direnungkan karena
kini ada begitu banyak harapan yang dialamatkan pada dunia pendidikan.
Institusi pendidikan diharapkan dapat berkontribusi dalam penyelesaian berbagai
soal bangsa. Nalar inilah yang melandasi keinginan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengganti kurikulum.
Pergantian kurikulum 2006,yang lebih dikenal
dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), menjadi kurikulum 2013 saat
ini telah melewati masa uji publik. Berdasar hasil uji publik itulah
Kemendikbud berkesempatan untuk merevisi naskah akademik kurikulum sehingga
siap dilaksanakan mulai tahun ajaran 2013/2014. Jika ditelisik lebih jauh
memang banyak soal yang kini dihadapi bangsa.
Sebagai contoh, sendi-sendi kehidupan
berbangsa terus digerogoti virus korupsi sehingga negeri tercinta ini kian
rapuh. Publik pun bertanya-tanya, apa sumbangsih lembaga pendidikan untuk
mengatasi problem korupsi? Apalagi jika diamati, ternyata mereka yang terlibat
kasus korupsi banyak yang berasal dari kalangan terpelajar. Bahkan sebagian
mereka adalah lulusan pendidikan tinggi bergelar doktor dan profesor.
Pertanyaannya, apakah lembaga pendidikan turut
memproduk koruptor? Pada konteks inilah publik menganggap penting untuk
memberikan materi pendidikan antikorupsi mulai tingkat taman kanak-kanak hingga
pendidikan tinggi. Ironisnya bangsa ini ternyata tidak hanya menghadapi
persoalan korupsi. Budaya kewargaan (civic culture) seperti keramah tamahan,
toleran, dan berkeadaban yang selama ini menjadi identitas bangsa mulai
tergerus seiring munculnya radikalisme di tengah-tengah masyarakat.
Publik pun mulai membandingkan era reformasi
dengan masa lalu.Sebagian kemudian menyimpulkan bahwa budaya kewargaan terus
tergerus karena kalangan terdidik tidak lagi memperoleh pendidikan Pancasila
secara memadai. Tuntutan untuk memasukkan Pancasila dalam kurikulum pendidikan
pun terus menguat. Nilai-nilai Pancasila perlu diajarkan untuk menggugah
kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan kaum muda.
Yang penting diingat dalam kaitan ini,
pembelajaran Pancasila harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih dialogis
dan manusiawi. Ini dimaksudkan agar pendidikan mampu melahirkan generasi bangsa
yang lebih berkarakter. Berbagai ironi yang terjadi di dunia pendidikan juga
kian menjadi sehingga membutuhkan solusi.
Kasus ketakjujuran saat ujian, tawuran
antarpelajar, demonstrasi anarkistis, narkoba, seks bebas, video mesum, human
trafficking, dan tindakan asusila lain yang melibatkan kalangan terpelajar
telah menyedot begitu banyak perhatian. Kasus mutakhir yang membuat publik,
termasuk guru dan orang tua, mengelus dada adalah arisan pekerja seks komersial
(PSK) yang melibatkan pelajar SMA di Situbondo, Jatim.
Yang lebih ironis, ternyata PSK yang
dijadikanpialabergilirpelajaritu ternyata telah positif terkena virus HIV.Hati
siapa yang tidak miris membaca berita tersebut. Pertanyaannya,rentetan berita
negatif inikah hasil pendidikan yang telah menyedot anggaran negara hingga
mencapai 20%? Untuk merespons kasus seks bebas yang melibatkan pelajar,
sebagian elemen mengusulkan agar ada kurikulum pendidikan seks.
Ide ini jelas baik asal materi pendidikan seks
tidak diberikan secara vulgar. Sebab, jika pembelajaran dilakukan secara
vulgar, yang terjadi adalah dorongan yang semakin kuat untuk mengetahui lebih
jauh atau bahkan ingin mencobanya. Melalui kurikulum pendidikan seks,pelajar
diharapkan memperoleh informasi dari sumber yang benar sehingga terhindar dari
praktik seks bebas. Di samping itu, anak-anak juga dapat menjaga kesehatan
reproduksinya.
Sebagai institusi yang diharapkan begitu
banyak elemen, praktisi pendidikan harus menemukan strategi yang tepat untuk
mengajarkan materi yang menjadi tuntutan publik. Paling tidak ada dua strategi
yang dapat dilakukan. Pertama, menyiapkan kurikulum sesuai dengan materi yang
dikehendaki. Jika ini yang menjadi pilihan, dapat dibayangkan betapa gemuk
struktur kurikulum dalam satuan pendidikan. Kedua, melalui strategi penyisipan
(inserting) materi pendidikan. Strategi penyisipan materi ini terasa paling
memungkinkan.
Melalui strategi inserting penyampaian materi
pendidikan sesuai dengan topik yang akan diajarkan dapat dilakukan lebih
fleksibel. Itu berarti tidak harus ada mata pelajaran baru. Strategi kedua ini
juga terasa sejalan dengan semangat yang dikembangkan Kemendikbud. Dalam naskah
akademik kurikulum 2013, Kemendikbud menekankan adanya perampingan kurikulum
sehingga ada beberapa mata pelajaran yang harus diintegrasikan.
Pendidikdanpemerhatipendidikan tetap dapat
berkreasi untuk menyusun sebanyak mungkin modul berkaitan dengan pendidikan
antikorupsi, lingkungan hidup, civic culture, pendidikan seks dan kesehatan
reproduksi, serta pencegahan virus HIV/AIDS. Selanjutnya, modul ini dijadikan
sebagai salah satu sumber belajar. Yang perlu diingat, pendidikan berbagai
materi yang dibutuhkan bangsa ini tidak boleh sekadar transfer pengetahuan.
Yang jauh lebih penting dari sistem pendidikan
adalah menumbuhkan afeksi anak sehingga mewujud dalam perilaku yang baik dalam
kehidupan sehari-hari. Selain melalui mata pelajaran, sesungguhnya ada satu
variabel yang terasa hilang dari proses pembelajaran,yaitu keteladanan.
Berbagai ironi yang terjadi di dunia pendidikan salah satu faktornya sangat
mungkin disebabkan tiadanya keteladanan. Keteladanan mutlak dibutuhkan untuk
membentuk pribadi anak sehingga berintegritas dan berakhlak mulia. Pada konteks
inilah setiap orang yang memiliki keprihatinan terhadap nasib generasi
mendatang wajib menghadirkan keteladanan di sekolah, rumah, dan lingkungan.
Biyanto
;
Dosen
IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen
PW
Muhammadiyah Jatim
SINDO, 05 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi