Otonomi daerah terasa menyesakkan bagi madrasah. Surat edaran Mendagri
Gamawan Fauzi yang melarang pemerintah daerah (pemda) untuk mengurus dan atau
memberi bantuan kepada madrasah melalui APBD menjadi salah satu buktinya.
Pelarangan itu dilakukan oleh Mendagri dengan alasan bahwa madrasah adalah
urusan agama. Karena persoalan agama tidak menjadi bagian dari kewenangan yang
didelegasikan ke pemerintah daerah maka APBD dipandang tidak boleh di- berikan
kepada madrasah.
Parlemen pun bereaksi keras. Wakil Ketua
Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaeni menyatakan, madrasah di dunia pendidikan
nasional masih dianaktirikan.
Dampak negatif dari kebijakan yang didasarkan
pada dan atas nama otonomi daerah di atas sangat jelas. Pemda yang belakangan
dalam jumlah kecil memberikan perhatian khusus kepada pendidikan agama, seperti
madrasah dan pesantren, akhirnya ketakutan me nyalurkan APBD untuk membantu
madrasah.
Tengok saja kasus program bantuan
operasional madrasah diniyah (Bosda Madin) Pemprov Jawa Timur (Jatim).
Menyusul lahirnya surat edaran mendagri
di atas, Pemprov Jatim pun harus "tiarap" atas program itu. Padahal,
sejak 2009 kebijakan tersebut menjadi salah satu program unggulan Pemprov
Jatim. Per tahun, pemprov mengucurkan bantuan untuk madin Rp 260 miliar.
Program Bosda Madin tersebut menyediakan beasiswa bagi para pengajar dan siswa,
asistensi akademik, hingga bantuan honorarium. Total, ada 1.327.907 siswa yang
mendapatkan bantuan.
Rinciannya, 1.117.144 siswa madin level
dasar (ula), 210.763 madin level menengah (wustho). Jumlah guru madin yang
menerima bantuan mencapai 37.113 orang. Bantuan tersebut untuk meningkatkan
pendidikan madin Dalam skema bantuan untuk madin itu pula, tidak kurang dari
4.390 guru madin telah dikuliahkan S-1 untuk memenuhi syarat sertifi kasi guru.
Pada 2013, ditargetkan 10 ribu orang sarjana strata satu (S-1) dari madin akan
lahir. Setiap tahun sekitar 1.500 orang ustaz lulusan madin disekolahkan.
Hingga saat ini, jumlah tersebut sudah mencapai 4.350 orang.
Kebijakan Bosda Madin di atas lalu
menjadi salah satu teladan unggulan (best practice) dari kebijakan pendidikan
Jatim. Buktinya, pemerintah pusat pun memberikan pengakuan dan penghargaan
atasnya.
Saat hari jadi Kementerian Agama
(Kemenag) RI, 3 Januari 2011, sebagai misal, Gubernur Jatim Soekarwo menerima
Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan dari Menteri
Agama (Menag) Suryadharma Ali. Pemerintah Jatim dinilai telah memberikan
perhatian yang besar terhadap pendidikan Islam dan pemeliharaan ke- rukunan
umat beragama.
Kini, program tersebut harus tergolek
oleh surat edaran Mendagri di atas.
Ikhtiar inovatif pemerintah Pemprov Jatim
tersebut akhirnya harus kandas oleh surat edaran Mendagri. Akhirnya, ikhtiar
pemda untuk meningkatkan pendidikan dan pembangunan masyarakat lokalnya harus
terberangus oleh argumen otonomi daerah yang dipertontonkan oleh pemerintah
pusat secara telanjang bulat.
Dilihat dari perspektif politik
pendidikan dan pertimbangan akademik, dasar kebijakan seperti di atas merupakan
sebuah nalar sesat yang tak perlu dilestarikan. Mengapa begitu? Karena
pemerintah sendiri yang membuat regulasi dan pemerintah sendiri pula yang
melanggarnya. Kasus keberadaan status madrasah menjadi buktinya.
Madrasah itu urusan pendidikan, bukan
urusan agama. Keberadaan madrasah dilegalisasi UU Nomor 20/2003 tentang
Sisdiknas sebagai varian bersama sekolah. Lalu, pada UU Sisdiknas tersebut dan
regulasi derivatifnya, selalu kata "sekolah" disebut secara ber
dampingan dengan "madrasah".
Jadi, memang benar urusan agama tidak
termasuk paket otonomi daerah.
Tetapi, agama yang dimaksud dalam paket
otonomi daerah tersebut adalah persoalan ajaran dan keyakinan serta praktik
implementasi atas ajaran dan keyakinannya. Lebih dari itu, ketimpangan anggaran
sangat mencolok antara sekolah dan madrasah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah
anggaran di Kemendikbud yang membawahi sekolah dan Kemenag yang membawahi
madrasah.
Anggaran yang diberikan kepada Kemenag
di 2013 untuk urusan pendidikan "hanya" sebesar 40 triliun, sementara
Kemendikbud mencapai hampir Rp 74 triliun. Padahal, jumlah sekolah lebih kecil
daripada madrasah.
Semangat awal otonomi daerah sangat
menjanjikan bagi perkembangan dan pembangunan masing-masing daerah di
Indonesia. Dan, itu sangat potensial untuk mengurangi kesenjangan serta
ketimpangan antardaerah. Namun, terbitnya surat edaran Mendagri yang melarang
pemda untuk memberikan bantuan kepada madrasah atas nama otonomi daerah, justru
akan menimbulkan masalah ketimpangan baru. Pasalnya, sejarah kelak akan
mencatat timpangnya pertumbuhan sumber daya manusia di negeri ini disebabkan
utamanya oleh kebijakan diskriminatif nan ironis yang menimpa dunia pendidikan
nasional. Dan, otonomi daerah menjadi pemantik nasib buruk madrasah pada khususnya.
Akh
Muzakki ;
Ketua
PW LP Maarif NU Jawa Timur,
Dosen
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
REPUBLIKA, 04 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi