SEMANGAT pemerintah dalam mengubah
orientasi kurikulum ke arah pengembangan sikap siswa perlu diuji, seberapa jauh
konsistensi kebijakan tersebut akan dilakukan secara terus-menerus. Salah satu
caranya ialah dengan melihat bagaimana guru dipersiapkan melalui mekanisme
sosialisasi dan pelatihan yang cerdas dan terarah, dengan perencanaan
pengembangan profesional guru berbasis sekolah.
Itu artinya kurikulum baru yang akan
diberlakukan harus menjadi acuan para guru untuk membuktikan diri melalui
serangkaian proses belajarmengajar yang baik dan benar. Pemerintah harus terus
memacu manajemen sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP), melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan
sekolah merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihan mereka (school mapping),
menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa
(objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembela jaran
yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian
sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah secara
efektif-komprehensif (Jackson 1992).
Penting untuk diajarkan kepada setiap
sekolah konsep dasar deep curriculum alignment. Dengan konsep itu, para guru
dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak mengejar target untuk ujian
semata, tetapi mempersiapkan sikap dan kemampuan siswa yang jauh lebih dari
itu. Salah satu keunggulan prinsip dasar deep curriculum alignment ialah ketika
evaluasi atau tes dilakukan, guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang
jarak (gap) antara siswa yang satu dan siswa lainnya.
Dengan menggunakan sekolah sebagai basis
unit analisis pengembangan kompetensi guru, itu diharapkan akan menciptakan
sebuah desain kurikulum dan desain pem belajaran yang tidak hanya menyenangkan
buat siswa, tetapi juga berguna untuk bekal kehidupan mereka kelak setelah
dewasa. Semua jenis konstruksi kurikulum yang relevan dan telah digunakan dalam
sistem pendidikan di Indonesia sebaiknya mengacu dan berorientasi ke pengembangan
sikap siswa berdasarkan konteks sosial-masyarakatnya.
Jika sikap merupakan target pertama
proses pendidikan kita, melibatkan siswa sebanyak mungkin dalam mendesain
kebutuhan kurikulum berbasis standar pengetahuan dan keingintahuan siswa ialah
tuntutan yang tidak bisa dihindari setiap guru. Susan M Drake dan Rebecca C
Burns dalam Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004) menyebutnya
sebagai students as standards-based curriculum designers.
Salah satu sekolah yang sukses
menggunakan pendekatan kurikulum berbasis kebutuhan dan keingintahuan siswa
adalah Shelburne Community School, Vermont, Amerika Serikat. Para siswa di
sekolah tersebut yang berjumlah 69 orang, dengan tiga guru, mengembangkan
pendekatan itu sebagai model pembelajaran bersama. Guru bertindak sebagai
mentor, sedangkan siswa menyusun agenda kurikulum berdasarkan rasa
keingintahuan mereka terhadap sebuah tema atau subjek dari mata ajar yang
mereka pilih. Karena membuat seba nyak mungkin pertanyaan merupakan agenda
rutin siswa dalam pendekatan tersebut, dari pertanyaan-pertanyaan itu kemudian
siswa membuat serangkan aktivitas pembelajaran secara teratur yang melibatkan
sejawat dan fasilitator (guru).
Banyak orang boleh jadi bertanya
mungkinkah siswa dapat mendesain sendiri kurikulum yang dapat
dipertanggungjawabkan? Bagaimana cara mereka mengatur skenario pembelajaran
jika basisnya ialah pertanyaan-pertanyaan?
Apa peran guru dalam pendekatan itu? Bagaimana
kirakira respons orangtua jika ada sekolah yang mencoba melakukan praktik
tersebut di sekolah mereka? Jelas sekali bahwa sekolah seperti Shelburne
Community School ialah contoh bagus untuk menjawab semua pertanyaan tadi.
Program itu sangat unik dan banyak memberikan pencerahan dalam rangka
penciptaan pola pembelajaran terpadu antara satu mata ajar dan mata ajar
lainnya.
Program tersebut bisa dimulai dengan
membuat daftar kebutuhan anak berdasarkan pertanyaan mereka terhadap bidang
studi tertentu. Misalnya ada tema tentang asal usul sesuatu (In the Beginning:
A Study of Origins), tentang masyarakat (We the People: Government), nutrisi,
bisnis dan ekonomi, karier, resolusi konflik, sumber daya alam, dan sistem
kehidupan. Tema-tema itu secara terpadu merupakan rangkaian beberapa mata ajar
seperti geografi, kewarganegaraan, biologi, matematika, sosiologi, fisika, dan
kimia.
Basis filosofis dari pendekatan
kurikulum berbasis kebutuhan siswa itu berawal dari keyakinan bahwa kebanyakan
siswa dapat belajar dengan baik jika mereka dilibatkan dalam proses penentuan
apa yang ingin mereka pelajari dalam rangka menjawab per tanyaan mereka sendiri
(James Beane, A Middle School Curriculum: From Rhetoric to Reality, 1993).
James Beane meyakini setiap anak pasti memiliki banyak pertanyaan dan mereka
pikir dapat memberi solusi terhadap situasi kekinian yang berkembang di sekitar
mereka. Baik guru maupun siswa dalam proses itu harus memiliki kesamaan visi
dan keyakinan bahwa setiap pertanyaan yang benar pasti memiliki kekuatan untuk
mengubah sesuatu (change comes from the questions we ask).
Pendekatan itu juga sangat menguntungkan
untuk melibatkan orangtua dalam proses belajar-mengajar secara intens. Baik
guru, siswa, maupun orangtua harus tahu apa saja agenda dan daftar pertanyaan
anak-anak mereka yang harus dijawab secara bersama setiap minggu. Itu artinya
sistem evaluasi berjalan setiap saat dan memunculkan rasa tanggung jawab secara
bersama dalam proses belajar-mengajar. Mungkinkah ada sekolah di Indonesia yang
mau dan dapat menguji coba pendekatan tersebut? Wallahua'lam bi al-sawab.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi