SARAN paling banyak dilayangkan kepada
Kementerian Pendi dikan dan kebudayaan (Kemendikbud) terkait dengan rencana
perubahan kurikulum ialah pentingnya penyiapan guru sebagai pelaksana kurikulum
di kelas. Pelatihan sangat penting bagi guru, seperti dikatakan Sutermeister
(1976) dalam People and Productivity, “Kemampuan dihasilkan dari pengetahuan
dan keterampilan. Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman,
pelatihan, dan minat. Keterampilan dipengaruhi oleh bakat dan kepribadian,
sebagaimana juga oleh pendidikan, pengalaman, pelatihan, dan minat.“
Berdasarkan pengalaman kurikulum
sebelumnya, banyak guru belum memahami kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP)--meskipun melaksanakannya; mempraktikkan belum tentu memahami. Jika
belajar dari masa lalu, kebijakan baru tidak serta-merta meningkatkan mutu
pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan terkait dengan kebijakan dilakukan,
tetapi tidak menyasar hingga ke lapisan yang berkepentingan.
Pelaksanaan kebijakan dilakukan secara
terburu-buru. Bradley, et al (1994) menulis dalam Developing Teachers
Developing Schools; Making Inset Effective School, tentang pentingnya pelatihan
bagi guru sehingga mereka bisa mengajarkan hal-hal baru bagi para murid dan
sekolah mampu menghadapi setiap perubahan dengan penuh percaya diri.
Tidak ada jaminan guru menjadi kompeten
setelah mengikuti pelatihan. Kasus pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG)
bisa jadi pelajaran. PLPG merupakan syarat guru memperoleh sertifikat profesi
(guru). Namun, banyak penelitian membuktikan tidak ada korelasi positif antara
sertifikasi dan kompetensi guru.
Rantai
Masalah
Mengapa pelatihan-pelatihan guru seperti
PLPG tidak efektif? Beberapa masalah terkait dengan pelatihan bisa diringkaskan
dalam beberapa butir berikut ini. Pertama, terkait dengan materi dan metode
penyampaiannya. Pelatihan tidak efektif karena sekadar teoretis-konseptual.
Pelatihan seharusnya melatih keterampilan guru terkait dengan tugas-tugasnya,
seperti komputer, pembelajaran aktif, dan penelitian tindakan kelas.
Darling-Hammond, et al (2005) menulis
dalam The Design of Teacher Education Programs, `Pelatihan harus memperhatikan
kebutuhan riil guru terkait dengan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik,
bukan sebatas memberikan kemampuan teoretis'. Materi pelatihan harus memuat
keterampilan di samping konseptual. Masalahnya lebih dari itu, sering materi
yang membutuhkan praktik disampaikan secara teoretis atau konseptual.
Seharusnya peserta langsung praktik dan pelatih mengarahkan.
Kedua, masalah di seputar peserta.
Peserta yang dikirim sekolah tidak sesuai dengan kualifikasi yang diminta
panitia, seperti pelatihan untuk guru matematika, tetapi yang dikirim ialah
guru bahasa Inggris. Pengiriman pe Inggris. Pengiriman peserta yang tidak tepat
tersebut memunculkan masalah baru, yaitu ketidakpahaman peserta pada
materi-materi pelatihan. Akibatnya, peserta sulit menerima materi dan sulit
beradaptasi dengan suasana pelatihan.
Pelatihan tidak efektif juga karena
peserta tidak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Peserta sangat pasif di
dalam kelas. Tidak bergairah. Guru senior atau sangat tua biasanya kehilangan
semangat sehingga hanya menjadi pendengar. Padahal, tipe pelatihan membutuhkan
komunikasi dua atau multiarah. Dengan strategi pembelajaran aktif apa pun,
kategori peserta seperti itu biasanya sulit ‘maju’.
Kecuali itu, kesempatan mengikuti
pelatihan bagi guru tidak merata. Kuota pelatihan tidak sebanding dengan jumlah
guru. Di sisi lain, setelah pelatihan, guru tidak berinisiatif atau tidak
diberi kesempatan oleh sekolah untuk melatih sesama guru.
Ketiga, terkait dengan waktu. Waktu
pelatihan sangat sempit sehingga materi pelatihan tidak dipahami secara utuh
oleh guru. Jumlah materi pelatihan cukup banyak, sedangkan waktunya sedikit.
Sebagai contoh, pelatihan dilaksanakan pada pukul 07.00-22.00. Itu amat
melelahkan bagi peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak efektif. Itu amat
melelahkan bagi peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak efektif. Pelatih
juga sering menutup sesi pelatihan tidak sesuai dengan waktu yang disediakan.
Pelatihan juga sering dilaksanakan tidak
tepat waktu. Pelatihan sering dilaksanakan pada waktu Sabtu-Minggu, waktu guru
istirahat dan berkumpul bersama keluarga. Hal itu membuat kurangnya konsentrasi
mereka. Padahal, guru memerlukan relaksasi satu atau dua hari dalam seminggu.
Keempat, pelatih yang tidak kompeten.
Pelatihan guru sudah menjadi proyek yang dimanfaatkan untuk kepentingan
kelompok tertentu sehingga mengabaikan aspek kompetensi siapa melatih materi
apa. Akhirnya, tujuan pelatihan tidak tercapai karena pelatih bukan orang yang
menguasai materi.
Kelima, terkait dengan sekolah.
Fasilitas sekolah sangat sekolah sangat minim sehingga tidak mendukung
penerapan keterampilan guru setelah selesai pelatihan. Guru memerlukan tempat
dan fasilitas untuk mempraktikkan pengetahuan barunya setelah pelatihan.
Keterampilan baru guru sering tidak terlatih saat sudah kembali ke sekolah yang
minim fasilitas. Kecuali itu, budaya sekolah juga tidak propembaruan.
Morley dalam Recent Developments in
In-Service Education and Training for Teacher (1994) menulis, ‘Kesadaran saja
belum cukup, dan di mana pun pelatihan ditempatkan, ia harus didukung (back up)
oleh satu pemahaman tentang prinsip-prinsip dan kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, jika ingin mengubah sebuah praktik’.
Masalah lainnya sekolah sering tidak
mengirim guru untuk pelatihan karena kekurangan guru. Itu yang menjadikan mutu
guru tidak pernah meningkat dari tahun ke tahun. Alih-alih meneruskan
pendidikan ke jenjang S-1 atau S-2, untuk pelatihan pun guru sering gagal. Keenam, pengabaian terhadap evaluasi
pelatihan. Pelatihan berakhir tanpa evaluasi. Jikapun ada evaluasi, data
evaluasi tidak dimanfaatkan untuk perbaikan di masa mendatang. Evaluasi
dilakukan sekadar formalitas.
Padahal, evaluasi bertujuan mengetahui
kelebihan dan kekurangan pelatihan. Seperti diungkapkan Stufflebeam dalam
Evaluation Models: Viewpoints on Education and Human Services Evaluation
(1985), “Tujuan paling penting dari evaluasi program ialah bukan untuk
membuktikan, melainkan untuk meningkatkan.“ Tanpa (pemanfaatan hasil) evaluasi,
sulit mengharapkan pelatihan yang efektif di masa depan.
Langkah
Perbaikan
Rantai masalah tersebut bisa diatasi
dengan beragam cara sehingga pelatihan men jadi efektif. Pertama, pelatih harus
memiliki sertifikat pelatih melalui training of trainers (ToT). ToT sebaiknya
memuat materi pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAI KEM), tentu di samping materi utama. Dengan demi materi utama. Dengan
demikian, ia tidak hanya memiliki pemahaman tentang substansi materi, tetapi
juga menguasai metode penyampaiannya.
Kedua, penambahan waktu pelatihan. Pola
pelatihan in-onin (in-service training, on the job learning, and in-service
training) bisa diterapkan. Pelatihan dibagi dalam tiga tahap besar. Peserta
mengikuti pelatihan dalam waktu tertentu (teori), kemudian praktik di sekolah
masing-masing, dan selanjutnya tahap penilaian hasil kerja guru.
Pada tahap akhir ini guru menerima
feedback dari para pelatih. Pola itu sudah dilakukan dalam beberapa pelatihan,
khususnya di 12 pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kepen
didikan (P4TK) seluruh Indonesia. Akan tetapi, di lembaga lain seperti lembaga
pendidik tenaga kependidikan (LPTK), pola pelatihan tersebut belum
diterapkan--khususnya di Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (sebagai contoh).
Ketiga, sekolah dikelola dengan
manajemen terbuka atau transparan, dan menghindari praktik koruptif, nepotisme
(buta), serta mulai berbenah ke dalam secara perlahan tetapi pasti. Fasilitas
pembelajaran dilengkapi sesuai kemampuan. Para guru diberikan haknya sesuai
aturan yang berlaku, seperti kesempatan yang sama bagi semua guru untuk
mengikuti pelatihan.
Keempat, sekolah melaksanakan pelatihan
mandiri. Sekolah mendesain sendiri program-program pelatihan yang menjadi
kebutuhan guru, minimal dua kali dalam setahun. Namun, sekolah sering abai
terhadap pentingnya peningkatan kompetensi guru. Padahal, tanggung jawab
peningkatan mutu guru bukan hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga
sekolah.
Astin (1985) mengingatkan dalam
Achieving Educational Excellence, “Lembaga yang paling unggul ialah yang
memiliki pengaruh yang besar pada pengembangan kepribadian dan pengetahuan
siswa, para pendidik, dan kemampuan pedagogis dan produktivitas.“ Dalam hal
ini, kepala sekolah bisa bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Akhirnya, pelatihan yang berkelanjutan
(continuous improvement) sangat penting bagi guru. Guru tidak hanya akan
mengetahui hal baru, tetapi juga menguasai keterampilan dan sikap baru. Hal itu
disebabkan tujuan akhir dan hakiki dari setiap pelatih an ialah mengajar guru
cinta belajar. Dengan demikian, mutu guru meningkat dan selalu siap dengan
perubahan apa pun, termasuk dari KTSP ke kurikulum 2013.
Jejen
Musfah ;
Dosen
dan Sekretaris Program Magister FITK
UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi