ISU perubahan kurikulum
menghangat kembali seiring dengan banyaknya kasus pelanggaran dalam dunia
pendidikan, mulai dari tawuran yang seakan tiada henti di kalangan para siswa
dan mahasiswa hingga persoalan kebijakan seperti ujian nasional yang tetap kontroversial.
Belum lagi hilangnya kesadaran untuk saling berbagi dan menghormati dalam
praktik kehidupan sehari-hari, yang lagi-lagi ditandai dengan tergerusnya
tatanan sosial masyarakat kita dari nilai-nilai dan prinsip hidup bernegara
seperti tecermin dalam falsafah negara, Pancasila.
Apa yang salah dengan pendidikan
kita? Bahkan orang sekaliber Boediono dengan posisi politik sebagai seorang
Wakil Presiden juga jengah melihat fakta sistem pendidikan kita yang ia katakan
tidak memiliki arah jelas (Kompas, 23/8). Isyarat itu seolah mengonfirmasi
butuhnya sebuah perubahan fundamental di bidang manajemen dan pengembangan
kurikulum yang mampu mengatasi tantangan abad ke-21 yang semakin kompleks dan
memiliki kecepatan perubahan yang sulit diduga.
Meskipun arah perubahan dan
pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia sudah mengerucut pada peletakan
tanggung jawab di tingkat satuan pendidikan, prinsip dasar peletakan tanggung
jawab itu tidak dibarengi pengembangan kapasitas guru dalam mengawal kebijakan
tersebut. Dalam ratusan kali kesempatan melatih guru di bidang pengembangan
kurikulum, didapati banyak sekali kebingungan para guru dalam memahami maksud
dan tujuan kurikulum tingkat satuan pendidikan karena notebene guru kurang
memiliki kapasitas dan kreativitas sebagai pengembang kurikulum.
Salah satu yang kerap mengemuka
ialah pemaknaan dan tanggung jawab guru sebagai pengembang kurikulum terkadang
selalu terbentur dengan posisi hierarkis birokrasi pendidikan kita yang tidak
menempatkan guru dalam posisi sejajar dengan pengawas dan kepala sekolah.
Padahal, jika secara teoretis tanggung jawab guru lebih banyak dari siapa pun
sesama pemangku kepentingan (stakeholder) bidang pendidikan, sudah sepantasnya
seluruh kebijakan dan program didorong untuk meningkatkan kapasitas guru.
Dalam siklus manajemen kurikulum,
baik pada aspek desain maupun delivery, peran sentral guru sangat signifikan.
Pada aspek desain yang terdiri dari konstruksi kurikulum, pengembangan, hingga
pelembagaan dan modifi kasi kurikulum, seharusnya dan sepantasnya otoritas
pendidikan kita ikut melibatkan guru dalam menyu sun kerangka dasar rencana
pembelajaran secara makro. Ketiadaan wakil guru dalam proses ini pasti akan
menyebabkan terjadinya kebingungan yang luar biasa dalam memaknai dan
menjalankan konsep kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Minimnya keterlibatan peran guru
dalam aspek desain pasti akan memengaruhi aspek delivery yang terdiri dari
implementasi kurikulum di tingkat kelas, bagaimana memperoleh dan menggali
umpan balik (feedback), serta melakukan proses evaluasi atau penilaian terhadap
proses belajar-mengajar. Karena itu, sangat wajar jika kegagapan selalu muncul
di kalangan guru begitu ada kebijakan dan penamaan baru dari rencana perubahan
kurikulum nasional. Penting memahami siklus manajemen kurikulum sebagai sebuah
tools dalam membuat standar kebijakan di bidang kurikulum serta
mengidentifikasi sebanyak mungkin pemangku kepentingan yang terlibat di
dalamnya, termasuk guru (Fenwick W English: 2002).
Sebagai pengembang kurikulum,
gurulah yang akan menentukan berhasil tidaknya sebuah kebijakan dan sistem
pendidikan yang hendak dijalankan. Karena itu, orientasi peningkatan kapasitas
guru jauh lebih utama daripada aspek apa pun di bidang pendidikan. Seumpama
kendaraan, guru itu mesin utama yang akan membuat seluruh komponen dalam siklus
manajemen kurikulum bergerak secara dinamis.
Kesadaran tentang pentingnya
menimbang manajemen dan pengembangan kurikulum dalam memastikan kerangka sistem
pendidikan yang mudah dimengerti dan dijalankan adalah sejalan dengan tantangan
pembelajaran abad ke-21. Artinya, manajemen dan proses pengembangan kurikulum
harus dapat dipastikan kompatibel dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan
anakanak mereka berkembang secara maksimal.
Sebagai guideline sederhana, tak
ada salahnya jika kita sedikit mencerna apa yang dirumuskan National Research
Council dalam Education for Life and Work: Developing Transferable Knowledge
and Skills in the 21st Century (James W Pellegrino: 2012) tentang kebutuhan
pengembangan kurikulum di tingkat makro atau kebijakan. Dalam dokumen itu,
setidaknya manajemen kurikulum diharapkan mampu mendistribusikan secara baik
kebutuhan kognitif siswa hingga ke tingkat berpikir kritis (critical thinking),
melek informasi, nalar yang argumentatif, serta inovatif.
Selain itu, proses pendidikan
kita juga diharapkan memiliki capaian afeksi dan psikomotorik yang terukur,
terutama dalam mengembangkan budaya dan etika akademik yang terbuka dan jujur,
fleksibel, menghargai perbedaan, serta kemampuan metakognisi yang akan membuat
guru dan siswa kita mampu beradaptasi dengan segala macam jenis perubahan di
sekitar mereka.
Jenis-jenis kemampuan
intrapersonal tersebut juga sebaiknya diimbangi dengan upaya meningkatkan
kapasitas guru dan siswa kita di domain kemampuan interpersonal seperti
komunikasi efektif, kerja sama, tanggung jawab, serta keterampilan resolusi
konfl ik. Beberapa jenis keterampilan pada ketiga bidang itu (kognitif,
intrapersonal, dan interpersonal) jelas sekali menuntut kerja keras seluruh pemangku
kepentingan pendidikan. Kunci dari keseluruhan cita-cita ideal pendidikan ini,
sekali lagi, terletak pada upaya peningkatan kapasitas guru dalam merancang dan
mengembangkan kurikulum sesuai dengan bidang studi yang mereka ajarkan dan arah
kebijakan sistem pendidikan yang jelas.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi