Perubahan kurikulum menimbulkan
resistansi, karena hal itu berarti biaya baru yang harus dikeluarkan oleh
masyarakat dengan keharusan membeli buku-buku baru.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sedang mempersiapkan kurikulum baru yang diharapkan dapat diberlakukan
pada tahun ajaran baru 2013/2014. Menurut Menteri M. Nuh, dalam wawancaranya
dengan majalah Tempo (18 November halaman 166), salah satu butir kontrak kerja
sebagai menteri adalah penyempurnaan kurikulum. Ini artinya, penyempurnaan
kurikulum merupakan keharusan yang dilakukan karena menjadi key performance
indicator sebagai Menteri Pendidikan. Sedangkan tenggat itu permintaan Wakil
Presiden Boediono pada saat Menteri M. Nuh mempresentasikan konsep kurikulum
baru tersebut pada 13 November 2012.
Mengapa Kurikulum 2006, atau yang
dikenal dengan sebutan KTSP, itu diganti? Jawaban yuridisnya adalah amanat dari
RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan, serta Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: penyempurnaan kurikulum
dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk
membentuk daya saing karakter bangsa.
Adapun jawaban akademisnya adalah
seperti disampaikan oleh Menteri M. Nuh kepada Wakil Presiden Boediono: 1).
Kurikulum 2006 terlalu padat, yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran
dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat
perkembangan usia anak; 2). Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi
sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; 3). Beberapa
kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya
pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills
dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi; 4). Kurikulum belum peka dan
tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional,
maupun global, 5). Proses pembelajaran masih terpusat pada guru
(teacher-centered). 5). Standar penilaian belum mengarah pada penilaian
berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya
remediasi secara berkala. 6). Dengan KTSP, diperlukan dokumen kurikulum yang
lebih terperinci agar tidak menimbulkan multitafsir.
Pemerintah ingin agar kurikulum
di masa mendatang lebih sederhana, proses pembelajaran berpusat pada peserta
didik (student-centered active learning), sifat pembelajarannya kontekstual,
dan buku teks memuat materi serta proses pembelajaran, sistem penilaian, dan
kompetensi yang diharapkan. Adapun strategi peningkatan efektivitas
pembelajaran dilakukan melalui pembelajaran yang mengedepankan pengalaman
personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi,
bertanya, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Elemen-elemen yang berubah
adalah standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses, dan standar
penilaian.
Namun apa yang disebut dengan
"penyempurnaan" itu sesungguhnya adalah pergantian kurikulum, karena
implikasinya akan terjadi pergantian buku pelajaran. Bagi masyarakat,
pergantian buku pelajaran itulah bukti terjadinya perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum menimbulkan resistansi, karena hal itu berarti biaya baru
yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dengan keharusan membeli buku-buku baru.
Menghapus
IPA-IPS?
Isu aktual yang menyertai
perubahan kurikulum ini adalah masalah penghapusan mata pelajaran IPA dan IPS
untuk tingkat SD. Betulkah IPA dan IPS akan dihapuskan dari pelajaran di SD?
Bila betul, apakah ini bukan suatu kemunduran? Penulis sering mendapat
pertanyaan tersebut dari para jurnalis.
Betul, sebagai wacana, sempat
muncul gagasan penghapusan mata pelajaran IPA-IPS di SD. Tapi gagasan tersebut
menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi yang setuju, materi pelajaran IPA-IPS
diintegrasikan ke mata pelajaran lain, seperti agama, PPKN, bahasa Indonesia,
dan matematika kelas I-VI, sehingga dapat mengurangi beban anak-anak SD, karena
terjadi penyederhanaan mata pelajaran. Bagi mereka, anak SD yang penting dapat
membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju,
integrasi IPA/IPS kelas I-VI itu akan menciptakan pendangkalan pemahaman
terhadap IPA/IPS. Padahal, untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara
maju, Indonesia justru harus menguasai IPA sejak dini. IPA itu mengajarkan
berpikir rasional. Agar tercipta masyarakat yang rasional, anak harus mengenal
IPA sejak dini. Selain itu, prestasi kita di TIMSS dan PISA selama ini masih
rendah. Dengan pengintegrasian IPA dari kelas I hingga VI, prestasi di TIMSS
dan PISA akan semakin menurun. Padahal perubahan kurikulum ini dimaksudkan
mengejar prestasi di TIMSS dan PISA tersebut.
Tawaran kompromi terhadap pro dan
kontra itu adalah untuk kelas I-III IPA-IPS diintegrasikan ke mata pelajaran
lain, sedangkan di kelas IV-VI IPA-IPS harus menjadi materi tersendiri. Para
pihak yang tidak setuju penghapusan nama mata pelajaran IPA setuju dengan jalan
tengah tersebut. Justru mereka yang menghendaki pengintegrasian penuh dari
kelas I hingga VI masih menolak. Penulis mendukung jalan tengah tersebut.
Sebab, jalan tengah tersebut mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda: antara
yang pro dan yang kontra.
Hal lain yang mengagetkan tapi
justru tidak memunculkan reaksi publik adalah rencana penambahan jam pelajaran
per minggu untuk semua jenjang dengan alasan kecenderungan banyak negara
menambah jam pelajaran. Padahal, menurut Dr Indra Jati Sidhi, mantan Dirjen
Dikdasmen (1998-2005), rendahnya jumlah jam pelajaran per minggu pada kurikulum
2006 ini karena dulu, sebelum melakukan perubahan, mereka membandingkan jam
pelajaran dengan negara-negara lain dan ternyata Indonesia memiliki jam
pelajaran terbanyak tapi hasilnya bukan yang terbaik. Karena itu, lebih baik
dikurangi, tapi prosesnya yang diubah. Pada Kurikulum 2013, jam pelajaran itu
justru ditambah lagi.
Berbasis
Sains?
Wacana lain yang muncul ke publik
setelah pertemuan Menteri M. Nuh dengan Wakil Presiden Boediono adalah bahwa
Kurikulum 2013 ini berbasis sains. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah
struktur kurikulum SD harus konsisten. Konsekuensinya adalah integrasi
pelajaran IPA ke beberapa mata pelajaran lain dari kelas I hingga VI SD itu
tidak bisa dipaksakan. Sebab, kalau dipaksakan akan menjadi tertawaan publik.
Yang konsisten adalah IPA muncul sebagai mata pelajaran sejak SD, minimal sejak
kelas IV. Jadi, ada legitimasi yang kuat bila kurikulum 2013 berbasis sains,
karena IPA diperkenalkan sejak dini. Tapi yang paling penting dari konsep
perubahan kurikulum ini adalah meninjau kembali fungsi ujian nasional. Bila
ujian nasional (UN) tetap diperlakukan sebagai penentu kelulusan, perubahan
kurikulum tersebut merupakan kesia-siaan saja karena kompetensi yang akan
dimiliki murid adalah kompetensi mengerjakan soal UN dengan model soal obyektif
Darmaningtyas
;
Pengamat
Pendidikan dari Tamansiswa Jakarta
KORAN
TEMPO, 17 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi