Kondisi perguruan tinggi negeri
yang sangat didominasi oleh orang-orang Jawa tersebut kurang bagus untuk
menumbuhkan wawasan kebangsaan maupun untuk ketahanan nasional.
Berita yang menggembirakan untuk
dunia pendidikan adalah sebanyak 749 siswa SMA/SMK sederajat dari Papua dan
Papua Barat mendapat beasiswa khusus melalui jalur affirmative action untuk
mengikuti kuliah strata satu di 32 perguruan tinggi negeri, antara lain UI,
UGM, ITB, ITS, Unair, Undip, Unpad, Unhas, dan perguruan tinggi negeri lain yang
sudah tergolong mapan. Para lulusan SMTA tersebut akan mengambil bidang studi
kedokteran, teknik sipil, teknik elektronika, ekonomi, akuntansi, dan bidang
lainnya.
Rencananya, mulai 2013, beasiswa
yang sama akan diberikan kepada siswa dari daerah khusus lain, seperti Maluku
Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Aceh. Biaya kuliah mereka yang diterima
melalui jalur afirmasi itu ditanggung oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, sedangkan biaya hidupnya ditanggung oleh pemda setempat.
Kebijakan ini merupakan hal baru
yang patut diapresiasi. Saya pribadi gembira dan mendukung penuh kebijakan
affirmative action (diskriminatif positif) ini. Sebab, hanya dengan cara
semacam itu anak-anak di Papua (di dalamnya Papua Barat), Maluku Utara, NTT,
dan mereka yang tinggal di kepulauan terluar dapat kuliah di perguruan tinggi
negeri (PTN) terkemuka, yang kebetulan semuanya ada di Jawa. Hal itu mengingat
pendidikan dasar hingga menengah mereka tertinggal jauh dari pendidikan di
Jawa, sehingga mustahil mereka akan lolos masuk ke PTN-PTN terkemuka melalui
jalur undangan maupun seleksi bersama nasional. Sedangkan bila tidak sempat
kuliah di PTN-PTN terkemuka di Jawa, mustahil pula mereka dapat memperbaiki
ketertinggalan dalam pembangunan daerahnya. Di sisi lain, peran PTN terkemuka
sebagai jembatan emas kehidupan tidak dapat dinikmati oleh semua warga.
Atas dasar pengalaman semacam
itulah, penulis selalu mengingatkan pentingnya kebijakan affirmative action
untuk masyarakat yang tinggal di wilayah Indonesia timur dan di daerah
kepulauan lainnya, agar mereka dapat kuliah di PTN terkemuka. Perjuangan untuk
mengegolkan kebijakan affirmative action ini termasuk melalui lobi kepada
anggota Komisi X DPR RI dan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Djoko Santoso, pada saat penyusunan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan
diatur dalam UU Pendidikan Tinggi, posisinya menjadi kuat karena mau tidak mau
harus terimplementasikan.
Pada awalnya, penulis mengusulkan
satu pasal khusus untuk mengatur hak-hak mereka dari pulau tertinggal untuk
dapat kuliah di PTN terkemuka di Jawa. Tapi kompromi politiknya dalam
pembahasan RUU Pendidikan Tinggi adalah dijadikan satu dengan mereka yang tidak
mampu secara ekonomis, sehingga bunyi pasal 74 ayat (1) itu adalah: "PTN
wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik
tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
Program Studi." Cetak tebal dari penulis sebagai bukti diakomodasikannya
usulan tersebut dalam peraturan perundangan yang baru. Yang tambah
menggembirakan lagi adalah pasal tersebut langsung diimplementasikan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mulai Tahun Ajaran 2012/2013 ini.
Belajar
dari Sejarah
Apa yang penulis usulkan itu
sebetulnya bukan hal baru, melainkan kebijakan yang pada masa lalu sudah
dilaksanakan oleh beberapa PTN terkemuka. Penulis masih punya kenangan indah
ketika 30 tahun lalu kuliah di UGM mempunyai kawan dari berbagai daerah,
termasuk dari Maluku, NTT, dan Papua. Hampir semua fakultas di UGM pada masa
itu mempunyai mahasiswa yang merupakan representasi dari seluruh kepulauan
besar di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua), sehingga rasa bangga sebagai orang Indonesia itu muncul
karena memang bertemu dengan perwakilan warga dari seluruh Nusantara.
Manuel Kaisiepo, mantan Menteri
Daerah Tertinggal pada masa Presiden Gus Dur, adalah putra asli Papua yang
sempat kuliah di UGM pada dekade 1970-an. Rektor kedua UGM, Prof Dr Herman
Johanes, adalah mahasiswa Pulau Rote, NTT. Kondisi yang sama itu ditemui di
ITB, UI, dan IPB. Salah seorang ahli fisika terkemuka di ITB berasal dari
Papua. Para putra Papua dan NTT yang menjadi tokoh masyarakat atau ilmuwan
terkemuka itu adalah produk dari kebijakan pendidikan masa lalu yang adil.
Sayang, kebijakan pendidikan
tinggi yang adil dan beradab itu kemudian hilang akibat proses kapitalisasi dan
liberalisasi PTN selama satu dekade terakhir, yang menjadikan materi sebagai
dasar penerimaan mahasiswa baru. Pada 10 tahun terakhir setelah pembentukan PT
BHMN, pernah dalam kurun waktu lima tahun awal PT BHMN, beberapa PTN didominasi
oleh lulusan dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi),
karena mereka memiliki kemampuan untuk membayar tinggi.
Tapi sejak 2010, ketika
pemerintah menerapkan kebijakan bahwa mahasiswa yang diterima melalui seleksi
bersama secara nasional minimum 60 persen dari total mahasiswa baru, mulai
terjadi penyebaran asal mahasiswa baru, meski tetap didominasi oleh Jawa,
Sumatera, dan Bali saja.
Kondisi perguruan tinggi negeri
yang sangat didominasi oleh orang-orang Jawa tersebut kurang bagus untuk
menumbuhkan wawasan kebangsaan maupun untuk ketahanan nasional. Bagaimana
mungkin PTN terkemuka di Jawa berperan menumbuhkan wawasan kebangsaan,
sedangkan interelasi mereka hanya dengan sesama suku dan etnis saja? Atas dasar
itulah maka kebijakan pendidikan yang sudah terbukti baik pada masa lalu perlu
dikembangkan lagi pada saat ini.
Pertukaran
Dosen
Ide affirmative action ini satu
paket dengan pertukaran dosen antarpulau, baik dari PTN terkemuka maupun PTN
terbelakang. Pertukaran dosen amat diperlukan untuk saling belajar tentang
budaya yang berkembang di setiap PTN. Bagi dosen dari PTN terkemuka, dengan
mengajar di PTN terbelakang, diharapkan mereka mampu mendorong peningkatan
kualitas pendidikan di PTN terbelakang. Karena itu, dosen yang dikirim ke
daerah bukan sekadar ahli dalam bidangnya, tapi juga mampu menjadi inspirasi
bagi orang lain untuk bertindak lebih baik. Sedangkan bagi dosen dari PTN
terbelakang yang dikirim ke PTN terkemuka, diharapkan mereka dapat ngangsu
kawruh (berguru) di PTN terkemuka. Dengan demikian, ketika kembali ke PTN
asalnya, mereka dapat membawa semangat perubahan untuk maju. Substansi
affirmative action dan pertukaran dosen itu adalah pemerataan kualitas PTN
serta pertukaran wawasan agar memunculkan pemahaman terhadap wawasan kebangsaan
yang tinggi. Fungsi PTN sebagai jembatan emas untuk pembangunan bangsa tetap
harus dikedepankan.
Tentu saja, kebijakan affirmative
action tidak boleh hanya berhenti pada memberikan kuota saja, tapi juga
memberikan bimbingan secara khusus, baik melalui program matrikulasi sebelum
masa kuliah dimulai maupun dalam pembelajaran sehari-hari. Sebab, tanpa ada
pembimbingan khusus, para mahasiswa dari daerah terbelakang akan susah
mengikuti kuliah. Sebaliknya, bila dosen harus menyesuaikan dengan kemampuan
mereka, proses belajar secara keseluruhan dapat terhambat.
Karena itu, pembimbingan khusus
mutlak diperlukan. Pembimbingan secara khusus tersebut dapat dilakukan oleh
dosen muda atau mahasiswa senior dengan diberi insentif oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dengan fokus perhatian pada beberapa mata kuliah
pokok saja. Selebihnya didorong belajar sendiri. Betul ini sedikit ribet, tapi
itulah konsekuensi dari kebijakan pendidikan yang adil dan beradab. Sebab, bila
tidak mau ribet, kesenjangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa akan terus
terjadi, dan dampaknya kurang bagus untuk ketahanan nasional. Selain itu,
keberadaan PTN terkemuka pun bukannya berkontribusi memecahkan masalah bangsa,
sebaliknya justru menambah masalah bangsa. Sekarang dibalik: bagaimana PTN
terkemuka turut memecahkan persoalan bangsa, terutama menyangkut soal
kesenjangan sosial dan kesenjangan antardaerah.
Darmaningtyas
;
Pengamat
Pendidikan
KORAN
TEMPO, 07 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi