Dua pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pada 16 Agustus 2012 telah mengapresiasi rencana Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengupayakan secara bertahap program Pendidikan
Menengah Universal (PMU) sebagai rintisan program Wajib Belajar 12 Tahun.
Kita perlu menyambutnya dengan baik mengingat PMU
sedikitnya memiliki tiga sasaran yang secara simultan bisa dicapai. Pertama,
berkait dengan upaya pemberian akses seluasluasnya kepada masyarakat yang telah
menyelesaikan pendidikan sembilan tahun (Wajib Belajar 9 Tahun) melalui upaya
menaikkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah dari 70,5% pada
2010 menjadi 97% pada 2020.
Tanpa
kebijakan PMU, skenario capaian sebesar APK 97% baru akan tercapai pada 2040.
Capaian tanpa skenario PMU itu, jika dikaitkan dengan bonus demografi
(demografic dividen) dari dependency ratio yang makin kecil pada periode 2010
sampai 2040, yang secara alamiah kini direngkuh Indonesia, akan terlewatkan
begitu saja tanpa makna.
Karena itu,
cara bijak menyikapinya salah satunya dengan memberikan pelayanan dan akses
pendidikan seluasluasnya bagi penduduk usia sekolah. Dengan demikian, kelak
pada waktunya,mereka dapat memberikan kontribusi maksimal bagi perjalanan
bangsa ini. Sebagaimana disampaikan dalam pidato Presiden SBY, untuk
mengoptimalkan pelayananpendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh seluruh
rakyat, anggaran pendidikan terus ditingkatkan.
Dengan
anggaran pendidikan yang terus meningkat tiap tahunnya, kita mendorong
terjadinya reformasi pendidikan, utamanya dalam perluasan akses dan peningkatan
kualitas di seluruh jenjang pendidikan. Dalam proses itulah,setelah kita
menyelesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun, kini diupayakan secara bertahap ke
program PMU sebagai rintisan program Wajib Belajar 12 Tahun. Melalui PMU ke
depan kita ingin anak-anak bangsa di seluruh penjuru Tanah Air dapat mengenyam
pendidikan dasar dan menengah secara lebih merata dan berkualitas.
Cita-cita
mulia mewujudkan program pendidikan menengah 12 tahun tentu harus dijalankan
dengan memperhatikan kemampuan fiskal pemerintah pusat dan daerah.Pemerintah
daerah provinsi perlu mengambil peran lebih besar dalam mendukung pembiayaan
program ini. Bagaimanapun, pendidikan merupakan investasi jangka panjang.Kita
harus optimistis, dalam 10 atau 20 tahun ke depan, anak-anak bangsa siap
menyambut “Indonesia Emas”.
Argumen ini
dikuatkan laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness
Report 2010-2011 menyebutkan, lama sekolah (baca: PMU) berkorelasi positif
terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI).
Lama sekolah pada laporan itu memiliki korelasi positif yang sangat tinggi
dengan nilai PDB per kapita (koefisien korelasi 0,93). Demikian juga lama
sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai Global
Competitiveness Indeks GCI (0,96).
Begitu juga
hubungan lama sekolah dengan indeks pendidikan memiliki korelasi positif yang
juga sangat tinggi (0,97). Bahkan lama sekolah memiliki korelasi positif yang
sangat tinggi dengan IPM (0,99). Berkait dengan pemberian pelayanan dan akses
pendidikan seluas-luasnya itulah gagasan PMU, sebagai tindak lanjut dari
keberhasilan Wajib Belajar 9 Tahun, menjadi kata kuncinya.
Disparitas
dan Vokasional
Istilah
universal diambil untuk membedakan pengertian wajib belajar yang sudah
dijalankan pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun.Pengertian universal adalah
konsep yang umum digunakan oleh badan dunia (baca: Perserikatan Bangsa-Bangsa)
untuk memberikan pelayanan umum kepada publik, tanpa harus diminta, yang biasa
disebut dengan istilah public service obligation (PSO). Sebuah bentuk pelayanan
yang jauh lebih mulia karena tidak perlu diminta tapi disediakan atau
dijalankan.
Wajib
belajar lebih mengacu pada sesuatu yang diamanatkan oleh undang-undang, berlaku
untuk semua penduduk usia sekolah, sepenuhnya dibiayai pemerintah,dan sanksi
bagi yang tidak mengikuti. Adapun pada PMU, pemerintah hanya memfasilitasi
untuk menampung semua penduduk usia sekolah, tidak sepenuhnya ditanggung oleh
pemerintah, serta tidak ada sanksi. Sasaran kedua PMU adalah memperkecil disparitas
APK antardaerah.
Diakui
dengan kondisi yang berbeda antarwilayah, baik menyangkut kondisi geografis
maupun kemampuan sosial-ekonomi, distribusi APK pendidikan menengah kita masih
sangat timpang antardaerah satu dengan lain. Sekadar menyebutkan contoh, di
Jawa Timur (Jatim), Kabupaten Sampang, misalnya, meski APK Jatim sudah di atas
rata-rata nasional 72,4%, di Kabupaten Sampang masih berada di kisaran 28,59%
dan untuk mencapai target 97%, jika tanpa kebijakan PMU, baru akan tercapai
pada 2078, sedangkan melalui PMU bisa dicapai pada 2025.
Untuk kasus
seperti Kabupaten Sampang,sedikitnya ada 71 dari 235 kabupaten/kota yang
mendesak untuk dilakukan intervensi positif berkait dengan distribusi APK yang
timpang. Ketimpangan ini tidak boleh terjadi manakala kita menginginkan
reformasi pendidikan, utamanya dalam perluasan akses dan peningkatan kualitas
di seluruh jenjang pendidikan. Sasaran ketiga PMU adalah memperkuat pendidikan
vokasional dengan menyeimbangkan komposisi SMA-SMK menjadi 40:60.
Ini penting
dan bagian yang juga tidak terpisahkan dari keikutsertaan Kemendikbud untuk
menyukseskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Diakui, enam koridor pertumbuhan ekonomi yang disiapkan
dalam MP3EI itu sesungguhnya bermakna pula pada bagaimana kita bisa menyiapkan
SDM-SDM andal di bidangnya. Ini hanya dapat terpenuhi melalui jalur pendidikan,
utamanya jalur pendidikan vokasional. Melalui PMU ini pula, ke depan kita
berharap akan mampu mengubah struktur piramida ketenagakerjaan dengan tenaga
kerja terampil dan terdidik.
Sukemi
Staf Khusus
Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO, 06
September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi