Menjangkau Mereka
Yang Tidak Terjangkau
Kemiskinan memang tidak
selalu menjadi faktor utama membengkaknya angka putus sekolah di Indonesia. Ada
faktor masalah sosial, letak geografis, dan budaya yang menyebabkan anak bangsa
tidak mau dan mampu lagi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi. Namun, secara umum kemiskinan yang membelit bangsa ini, tetap menjadi
faktor krusial sehingga perlu terobosan penting (significant
breakthrough) agar Angka
Partisipasi Kasar (APK) naik secara signifikan. Program “Menjangkau Mereka Yang
Tidak Terjangkau” yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad
Nuh, pada tahun 2012 ini, menjadi era penting bagi Indonesia untuk menggenjot
indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Program ini juga merupakan bagian penting
dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
Program pro poor dan
mengedepankan fungsi keadilan dan pemerataan pendidikan ini perlu disambut,
karena inilah aksi penting pemerintah dalam menjawab menurunnya peringkat
Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (education
for all) tahun 2011. Dalam data yang
dirilis organisasi PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan (ENESCO), peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan (education
development index) seperti tertuang
dalam EFA Global Monitoring Report 2011, turun pada posisi ke-69 dari 127
negara. Pada tahun 2010, posisi Indonesia berada di urutan ke-65. Kenyataan ini
harus menjadi pemicu (trigger) bagi Kemendikbud dan segenap elemen bangsa ini
untuk berjuang bersama-sama mengangkat saudara-saudara kita baik yang
terbelakang secara ekonomi, kondisi geografis maupun sosial-budaya. Karena itu,
mereka harus dijangkau dengan menghadirkan solusi sesuai masalahnya
masing-masing.
Menurunnya peringkat
Indonesia itu, salah satunya dipicu oleh tingginya angka putus sekolah di
jenjang sekolah dasar. Setiap tahun, tercatat ada 527.850 anak atau 1,7 % dari
31,05 juta anak SD di Indonesia yang mengalami putus sekolah. Anak-anak putus
sekolah usia SD ini juga dikhawatirkan akan bermasalah dalam kemampuan membaca,
menulis dan menghitung (calistung) mereka. Jika digabung dengan siswa SD yang
tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, siswa yang hanya mengenyam pendidikan SD
bertambah. Lulusan SD yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4%) dari
lulusan SD tiap tahunnya. Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis
terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas lima SD. Pada laporan
terbaru, nilainya 0,862, sedangkan tahun 2010 mencapai 0,928. Indikator lain,
angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas juga tak beranjak signifikan
(Kompas, 4/3/2012).
Secara umum, fenomena
putus sekolah di jenjang SD itu disebabkan oleh faktor ekonomi. Fenomena
kemiskinan memang kerap berakibat pada menurunnya akses masyarakat untuk
mengenyam pendidikan. Karena itu mesti ada upaya serius dan konkret untuk
memotong mata rantai kemiskinan (cutting the chains of poverty) yang dialami keluarga-keluarga di Indonesia. Dana
pendidikan sebesar Rp. 286,9 triliun pada 2012 perlu dialokasikan secara tepat
sasaran dengan memprioritaskan program-program yang bersentuhan langsung pada
upaya memotong mata rantai kemiskinan keluarga di Indonesia. Program riilnya
adalah dengan menyediakan bantuan dana pendidikan bagi mereka yang tidak mampu
secara ekonomi di setiap jenjang pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi.
Selain faktor ekonomi,
warga Indonesia yang berada di wilayah yang terisolir dan terpencil perlu
mendapat sentuhan program “Menjangkau Mereka Yang Tidak Terjangkau”. Rencana
pemerintah yang akan membangun sekolah baru dan merenovasi sekolah yang rusak
(dari SD/MI hingga SMA/SMK/MA) yang lebih dekat dari pemukiman warga di
pedalaman dan terpencil patut diapresiasi. Para lulusan SMA/SMK/MA dari
keluarga tidak mampu dan terisolir juga harus dijemput agar mereka bisa
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri. Karena itu, sejumlah
perguruan tinggi negeri baru perlu dibangun di setiap kawasan sehingga fungsi
keadilan dan pemerataan pendidikan benar-benar nyata dirasakan mereka. Terlebih
lagi, kawasan pedalaman dan terpencil itu nota bene merupakan kantong-kantong
wilayah dengan APK minim.
Di kawasan yang sulit
terjangkau ini juga perlu dibangun fasilitas gedung perpustakaan desa dan
internet (IT) sehingga warga dan siswa di kawasan terpencil bisa mengakses
informasi yang dibutuhkan bagi kemajuan prestasi dan usaha mereka. Pemerintah
juga bisa menggandeng BUMN dan perusahaan swasta untuk menggerakkan dana Corporate
Social Responsibility (CSR) danPrivate
Social Responsibility (PSR)
mereka agar lebih menjangkau siswa dari berbagai kawasan teriisolir.
Keterlibatan pihak swasta, baik LSM, Ormas maupun kegiatan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) mahasiswa perlu disinergikan agar jangkauannya menjadi lebih luas lagi.
Dalam konteks ini, Pemerintah dan LSM di Indonesia perlu belajar banyak dari
Information Technology for the Tibes of India (ITITI) yang berhasil mendidik
anak-anak dan pemuda suku terasing di India seperti suku Dimapur, Kohima,
Gangtok, Kachar, dan Haflong sehingga melek tehnologi informasi, berkarakter,
dan siap menghadapi dunia kerja.
Sementara, bagi mereka
yang putus sekolah akibat mengalami masalah sosial, pemerintah bisa menurunkan
tim khusus yang menjemput siswa dari rumah-rumah mereka secara persuasif
sehingga mereka mau kembali bersekolah. Tim ini bisa beranggotakan dari dinas
pendidikan setempat, guru bimbingan dan konseling, psikolog dan pemuda desa.
Tim ini harus menggali masalah sosial apa yang menimpa mereka dan memberikan
solusi konkrit. Upaya ini dipastikan akan melahirkan simpati publik karena
pemerintah demikian serius membujuk warganya untuk mengenyam dan melanjutkan
pendidikan dengan cuma-cuma. Masalah sosial di masyarakat memang demikian
beragam dengan berbagai variabel persoalannya, ada yang terjebak karena masalah
narkoba, seks bebas, geng motor dan penyimpangan pergaulan remaja lainnya.
Namun, dengan kemampuan membaca masalah dan mencari solusinya, penulis yakin
anak-anak bangsa itu akan mau memulai menata masa depannya dengan baik dengan
kembali bersekolah.
Faktor budaya juga tak
kalah pentingnya untuk menjadi perhatian pemerintah dan stakeholders
pendidikan. Karena berdasarkan sejumlah penelitian yang mengkaji soal faktor
penyebab putus sekolah menunjukkan bahwa faktor budaya atau kultur yang berurat
akar (rooted in culture) di
masyarakat juga berperan dalam mendorong anak-anak Indonesia berhenti
bersekolah. Kultur itu berupa pandangan atau persepsi, filosofi dan tradisi
masyarakat lokal tertentu yang memandang pendidikan bukan prioritas utama dalam
mengentaskan problema hidup mereka.
Kultur pergaulan anak
putus sekolah yang melingkupi kehidupan remaja-remaja Indonesia juga sangat
berpengaruh bagi pola pikir mereka untuk tidak melanjutkan pendidikan. Hal ini
diperparah oleh persepsi dan wawasan orang tua yang memandang bahwa anak cukup
bisa calistung dan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Faktor kultur ini
berkelindan dengan kemampuan ekonomi yang rendah orang tua sehingga anak-anak
yang masih usia sekolah terpaksa harus ikut bekerja di sawah, pabrik, laden
(buruh bangunan) atau pemulung, dan lain-lain. Kendala budaya ini bisa diatasi
dengan pendekatan menyeluruh dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat
seperti kepala desa, tokoh agama dan tokoh adat agar membujuk orang tua dan
anak putus sekolah untuk melanjutkan pendidikannya kembali.
Tak lupa, pemerintah
perlu merevitalisasi peran PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai
gerakan bawah tanah (underground movement) pendidikan yang selama ini menyelenggarakan
program Paket A, B dan C agar tingkat buta huruf dan putus sekolah bisa ditekan
seminimal mungkin. Akhirnya kita berharap, berbagai ikhtiar dalam upaya
mewujudkan pemerataan pendidikan untuk semua tersebut akan mampu menggenjot
indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI). Bila HDI naik,
maka akan berkorelasi positif bagi upaya kita memotong mata rantai kemiskinan
yang hingga kini tak kunjung terselesaikan. Semoga!
Oleh: Fahrus
Zaman Fadhly
Dosen FKIP Universitas
Kuningan (UNIKU)
Artikel ini dimuat di
kolom opini Harian Umum Tribun Jabar, Kamis, 29 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi