m Learning: Menjangkau Yang Tidak Terjangkau


m Learning: Menjangkau Yang Tidak Terjangkau

Harga BBM bisa dikatakan bakal segera naik. Di te­ngah menyusutnya cadangan energi fosil dan meningkatnya harga biaya minyak di dunia, ke­naikan harga bahan bakar fosil ini perlu ditangani secara lebih cerdas oleh pemerintah. Berbagai demonstrasi yang telah dan akan diadakan untuk menentang rencana pemerintah tersebut sah-sah saja selama dilakukan dengan cara-cara yang damai.

Perlu dipastikan bahwa kenaikan harga bahan bakar bukan tanpa konsekuensi. Masyarakat miskin dan kha­layak ramai mesti men­dapat­kan jaminan untuk menikmati manfaat sebanyak mungkin pengalihat dana subsidi BBM tanpa kecuali. Pendidikan merupakan salah satu sektor paling mendesak yang mem­butuhkan prioritas dari pena­rikan dana subsidi BBM. Meskipun pemerintah telah memutuskan untuk meng­gunakan 20 persen dari APBN untuk pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD, dana tambahan yang diperoleh dari penarikan subsidi BBM perlu bergerak ke arah yang benar. Dana tersebut dapat di­guna­kan untuk menjangkau siswa atau peserta didik yang tidak terjangkau di daerah pedesaan atau pedalaman.

Saya berpikir bahwa m-Learning (mobile Learning) menjadi sebuah terobosan dalam pemerataan pendidikan di negeri ini. Boleh jadi banyak pihak yang meragukan usulan tersebut karena di­ anggap sia-sia dan sekadar canda. Para penentang usulan ini bisa berdalih bahwa ba­nyak anak-anak di daerah pedesaan yang tidak melek TI, tidak memiliki akses ke Internet—sekalipun ke email, infrastruktur tele­komunikasi di daerah pedesaan atau pedalaman yang nyaris tidak ada, atau jarak kantor pos terdekat yang mencapai 30-50 km.

Sebenarnya, m-Learning patut diuji dan dilaksanakan karena siswa-siswa di pe­desaan dan pedalaman sudah memiliki telepon selular alias hp. Penggunaan sms massal (layanan pesan singkat) ber­basis program pendidikan paperless jauh lebih efektif dibandingkan dengan bahan studi yang dikirim via pos kepada siswa-siswa tersebut. Para siswa kerap enggan mengunjungi kantor pos yang bagi kebanyakan mereka masih relative jauh sehingga ini kerap menyebabkan ba­nyak­nya pengembalian paket. Bayangkan! Kesuksesan m-Learning ini akan berdampak terjadinya penurunan yang signifikan paket-paket yang terpaksa dikembalikan mau­pun meningkatnya biaya pe­ngem­balian tersebut.

Sebuah penelitian me­nunjukkan bahwa biaya per­cetakan dan layanan pos untuk mendistribusikan pa­ket-paket pendidikan infor­masi kepada siswa ternyata lebih dari 20 kali dibandinkan biaya laya­nan SMS. Ketika layanan SMS memberikan informasi secara cepat dan JIT (just-in-time), informasi yang dikirim via pos bias saja sampai di tangan para siswa antara 3 sampai 18 hari, tergantung pada keterpencilan wilayah tempat tinggal untuk mencapai semua siswa (Syofyan: 2011).

M-Learning melalui la­yanan SMS dapat diterapkan dalam beberapa kategori, seperti pesan instruksional akademik melalui SMS mas­sal secara reguler; IVR (interac­tive voice response) sistem ‘FAQ’ (siswa dapat menelepon me­nga­jukan sejumlah pertanyaan yang paling sering muncul [FAQ] dan mendapatkan jawaban dari sistem yang telah diprogram; kuis via SMS, di mana pertanyaan pilihan ganda plus pilihan jawaban yang sederhana dikirimkan ke siswa melalui SMS. Jawaban dan umpan balik diberikan pada setiap kuis; dan sistem tanya jawab via SMS, yang memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengajukan pertanyaan me­lalui SMS tentang topik yang telah dipilih sebelumnya dan kemudian mereka akan men­dapat jawaban secara oto­ matis lewat sistem.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kemen­terian Komunikasi dan Infor­masi bisa bekerja sama un­tuk melaksanakan pekerjaan yang signifikan tersebut lewat program m-Learning. Peng­gunaan pusat internet secara mobile yang diprakarsai oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, seperti van internet, guna menyediakan akses inter­net gratis bagi orang yang hidup di daerah terpencil sangat berperan dalam me­ngem­bangkan program m-Learning. Selain daripada itu, kolaborasi ini akan mengin­tegrasikan m-Learning dengan program e-Learning di ling­kungan yang sudah mapan. Mengenai hal ini, program-program seperti tutorial se­cara mobile, mobile blogging, m-Assessment (pe­nilaian secara elektronik pada perang­kat mobile), dan pem­belajaran kolaboratif atau kelompok diskusi dapat bekerja jauh lebih efisien.

Ada optimisme yang terus berkembang bahwa m-Lear­ning akan membawa e-Lear­ning bagi masyarakat pe­desaan Indonesia, terutama para peserta didik, pada tingkatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya sebagai pelajar e-Learning. M-Learning adalah pintu gerbang menuju e-Learning bagi ke­banyakan pelajar di negeri ini seiring dengan infrastruktur nirkabel yang kian berkembang pesat dalam memenuhi kebu­tuhan terhadap akses infor­masi. Indonesia sebetulnya tengah mengalami lompatan pembangunan dari ketiadaan infrastruktur nirkabel menuju lingkungan e-Learning dengan infrastruktur nirkabel.

Penting untuk dicatat bahwa harus ada pergeseran paradigma dalam pendekatan pemanfaatan teknologi m-Learning dari konten ke me­ nuju pendekatan navigasi. Pemerintah dan pendidik sudah saatnya meninggalkan pendekatan pendidikan ber­basiskan penyediaan konten semata untuk pelajar. Kita harus fokus pada bagaimana memberdayakan peserta didik agar mampu menemukan, mengidentifikasi, dan menge­valuasi pengetahuan yang ada, untuk mengintegrasikan pengetahuan ini di dunia kerja dan kehidupan mereka, untuk memecahkan masalah dan untuk mengkomunikasikan pengetahuan ini kepada orang lain. Guru dan pendidik harus menjadi sumber bagaimana bernavigasi di lautan informasi dan pengetahuan yang ada. Mereka harus menjadi pelatih dalam ekonomi pengetahuan.

Brown (2005) menegaskan bahwa kemelekan sejati masa depan akan lebih berkaitan dengan kemampuan untuk menjadi diri sendiri, referensi perpustakaan pribadi yang tahu bagaimana untuk me­navigasi melalui ruang infor­masi yang kompleks dan merasa nyaman melakukan hal itu. Oleh karena itu, pendekatan navigasi mewujud sebagai bentuk baru literasi pengetahuan, kalaupun bukan bentuk utama, pada abad ke-21 ini. Untuk itu, pemerintah, guru, atau pendidik harus secara kreatif melakukan terobosan yang belum pernah terpikirkan dan mengambil lompatan berani menuju na­viga­sionisme. Pendidikan yang sejati adalah upaya terus-menerus untuk menjangkau yang tak terjangkau, semisal lewat mobile learning ini.
  
DONNY SYOFYAN
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Rabu, 21 Maret 2012 02:30



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi