Memangkas
Akar Kesenjangan Sosial
Undang Undang Dasar 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas telah mengamanahkan pendidikan untuk semua (Education for all). Maknanya, tidak boleh ada satu punwarga negara di negeri ini yang tidak terjangkau oleh layanan pendidikan, dimanapun dan bagaimanapun kondisinya. Pertanyaannya kemudian adalah, masih adakah warga Negara yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan?
Kalau rujukannya adalah jangkauan target yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs) maka target jangkauan pendidikan di Indonesia bisa dianggap berhasil. Target MDGs adalah memastikan pada 2015 mendatang semua anak baik laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya. Dari laporan pencapaian tujuan pembangunan millennium di Indonesia Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dasar mencapai 117%, sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) mencapai 98%. APM pendidikan dasar tersebut, berarti dari total anak-anak usia sekolah,antara 6-12 tahun, tinggal 2% yang belum menikmati bangku sekolah di pendidikan dasar. Adapun APK 117% berarti menunjukkan jumlah anak-anak yang sedang bersekolah di pendidikan dasar, yaitu mereka yang murni berusia 6-12 tahun, ditambah mereka yang memiliki usia telat masuk sekolah karena ada beberapa faktor yang menjadi hambatan. Dengan demikian, dalam hal pemenuhan pendidikan dasar, maka target MDGs relatif bukan persoalan lagi bagi bangsa Indonesia.
Namun demikian, tentu hal tersebut bukan lantas membuat kita berhenti membangun pendidikan. Karena prinsip dasarnya adalah bahwa ada maupun tidak ada target MDGs, sesungguhnya tanggung jawab pemerintah adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan warga negaranya. MDGs hanyalah panduan tahapan pemenuhan tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan hak dasar warga negaranya. Apalagi, pemenuhan pendidikan sesungguhnya bukan hanya pada level pendidikan dasar saja, tetapi juga harus menuju pemenuhan pendidikan bagi warga Negara hingga tingkat pendidikan tinggi. Sekadar catatan, saat ini capaian APK untuk pendidikan tingkat SMP mencapai 70%-80%, APK SMA/SMK baru sekitar 60% sementara pendidikan tinggi masih dibawah 30%. Dalam konteks inilah maka tekad Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadikan tahun 2012 untuk memberikan layanan kepada mereka yang tidak terjangkau dengan menggunakan jargon "Menjangkau Mereka yang Tak Terjangkau" menemukan relevansinya. Jargon ini menyiratkan pesan bahwa memang masih ada kelompok masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Angka capaian APK/APM untuk tingkat SMP, SMA dan Pendidikan Tinggi di atas menegaskan bahwa memang masih banyak warga Negara yang belum terjangkau hak pendidikannya.
Masih banyaknya warga Negara yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan ini merupakan imbas dari beragam faktor, baik karena persoalan perekonomian, sosial hingga persoalan kesenjangan pembangunan antar daerah yang berimbas pada penyebaran layanan pendidikan yang tidak merata. Upaya untuk menjangkau kelompok masyarakat yang belum tersentuh pendidikan setidaknya bisa dilakukan dengan tiga pendekatan.
Pertama, model pendekatan ekonomi, Pendekatan ini menjadi model yang paling banyak dilakukan pemerintah. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa faktor kemiskinan atau ketidakmampuan secara ekonomi untuk mengenyam pendidikanlah yang membuat masih ada warga Negara yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Kemiskinan adalah faktor utama anak tidak bersekolah, karena ternyata 70 persen siswa yang tidak bersekolah disebabkan oleh ketidakmampuan keuangan (AIBEP 2008). Dalam kasus semacam ini maka kebijakan semacam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau kebijakan yang menginjeksi dana untuk pendidikan adalah salah satu bentuk implementasi model pendekatan ini.
Kedua, pendekatan pemerataan pembangunan. Model pendekatan ini lebih mendasarkan pada realitas bahwa masih adanya disparitas pembangunan antar wilayah. Implikasinya, tentu juga ada disparitas terhadap pemenuhan tingkat kebutuhan pendidikan. Wilayah-wilayah yang masih tertinggal menjadi target utama pendekatan model ini. Artinya, selama masih ada daerah yang tertinggal, maka dengan sendirinya pemenuhan pelayanan pendidikan juga tertinggal. Isu pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari persoalan dan isu-isu kemiskinan karena keduanya saling berkorelasi. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau berada di daerah terpencil selalu kesulitan mengakses pendidikan sehingga kualitas pendidikanya rendah.
Ketiga, meningkatkan daya jangkau pendidikan nonformal bagi anak-anak putus sekolah dan yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal di sekolah. Penyelenggaraan program pendidikan nonformal yang meliputi antara lain pendidikan Paket A dan Paket B atau program kesetaraan, terutama untuk anak-anak dari keluarga miskin, merupakan unsur penting dalam mempercepat kemajuan dalam mencapai tujuan MDGs bidang pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, penyelenggaraan program ini masih menghadapi masalah rendahnya kualitas dan cakupan program.
Memangkas Akar Kesenjangan
Pentingnya mendorong agar pendidikan mampu menjangkau semua kalangan sejatinya adalah untuk memangkas akar masalah terjadinya kesenjangan sosial. Randall Collin dalam The Credential Society : An Historical Sociology of Education Stratification, memberi sinyalemen bahwa pendidikan sosial (formal) merupakan awal terjadinya proses stratifikasi (kesenjangan) sosial. Maknanya, kalau dalam aspek pemenuhan kebutuhan pendidikan sudah terjadi kesenjangan maka potensi akan melahirkan kesenjangan sosial yang akan semakin melebar.
Pemerintah dalam posisi semacam ini harus mengintervensi dengan memberikan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat miskin atau dalam bahasanya Mendikbud M Nuh sebagai kebijakan yang diskriminatif positif. Kebijakan yang 'diskriminatif' ini dikonsepsikan untuk mengangkat kelompok masyarakat yang selama ini sudah di bawah. Sebab, kalau pemerintah hanya menjadi pengamat dan membiarkan masyarakat dengan beragam 'kelas sosial' tersebut dibiarkan 'bertarung' berebut pendidikan maka yang akan terjadi adalah masyarakat yang status ekonominya mapan akan berpeluang mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara bagi mereka yang miskin dan pas-pasan akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Imbasnya tentu saja, orang yang berkecukupan akan lebih berpeluang mendapatkan pembelajaran yang terbaik, sementara anak dari keluarga miskin juga akan mendapatkan pembelajaran sekadarnya.
Masalah kesenjangan pendidikan tak sebatas antara desa dan kota saja, tetapi kualitas pendidikan antarsekolah di kota pun sebenarnya juga ada persoalan. Hingga saat ini memang belum terjadi pemerataan kualitas pendidikan, baik dari segi tenaga pengajar, fasilitas, sarana prasarana, sampai siswa-siswanya yang kelak menjadi generasi penerus bangsa. Sekolah yang kualitasnya bagus karena memiliki pengajar yang kompeten, fasilitas lengkap, dan siswa-siswanya cerdas akan semakin bagus. Sedangkan sekolah yang kualitasnya sedang justru sebaliknya. Sekolah yang kualitasnya sedang atau kurang bagus akan menjadi bertambah buruk. Pemerintah seharusnya mengatur pemerataan kualitas pendidikan, mulai tenaga guru, fasilitas, yang dengan sendirinya akan menciptakan kesetaraan pendidikan antarsekolah di suatu wilayah. Seharusnya ada pemerataan, guru-guru berkualitas disebar ke sekolah-sekolah, termasuk sekolah yang kualitasnya kurang, agar mereka bisa memacu rekan-rekannya sesama guru untuk meningkatkan kompetensinya. Apabila sudah ada pemerataan seperti itu, sekolah-sekolah yang kualitasnya kurang akan mampu meningkatkan kualitasnya, sekaligus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan kompeten.
Tak Sekadar Menjangkau
Bahwa tekad pemerintah untuk Menjangkau yang Tidak Terjangkau adalah keinginan mulia yang harus didukung semua pihak. Namun demikian, akan semakin elok kalau langkah yang dilakukan tidak hanya sekadar menjangkau, tetapi juga harus mempertimbangkan kualitas. Pendekatan kualitas ini menjadi penting untuk ditegaskan mengingat pemerintah sering puas dengan sekadar bisa menjangkau dan memenuhi hak pendidikan warga negaranya. Negara lupa bahwa model pendidikan yang harus diberikan sesungguhnya adalah pendidikan yang berkualitas. Artinya pemerintah harus berpikir bahwa jangkauan pendidikan adalah penting tetapi lebih penting lagi adalah memberi layanan pendidikan yang berkualitas secara merata.
Contoh mudahnya adalah ketika ada siswa miskin yang tidak mendapatkan kesempatan belajar, maka kebijakan untuk memberikan dia kesempatan sekolah adalah baik. Tetapi akan lebih baik bila pendidikan yang diberikan adalah pendidikan yang berkualitas bukan sekadar bisa mengenyam pendidikan. ***
Oleh: Wahyu Kuncoro SN
Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi Universitas
Airlangga. Peneliti Public Sphere Center (Puspec) - Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi