Mengubah
Nasib PTS
BERUNTUNG masih ada perguruan tinggi negeri (PTN)
di Indonesia. Jumlahnya dapat menampung sekitar 30% dari total populasi
mahasiswa untuk memperoleh kesempatan belajar ilmu, keterampilan, serta segala
ranah pendidikan yang diperlukan. Namun, pemerintah dan masyarakat justru
sebenarnya lebih beruntung karena ada 3.000 perguruan tinggi swasta (PTS).
Selama ini kurang lebih sebanyak 70% dari populasi mahasiswa pada usia emas
mereka terpaksa mendapatkan pendidikan di PTS karena tidak ada kesempatan
dengan terbatasnya bangku yang tersedia di PTN.
Komposisi PT negeri dan swasta telah menjadikan
wajah pendidikan tinggi Indonesia seperti ini. Peradaban sekarang ialah bagian
akumulasi proses pendidikan dari jenjang pendidikan dasar sampai tinggi.
Sekiranya kita becermin, saat ini Korea Selatan-lah satu-satunya negara dengan
akses anak muda ke jenjang pendidikan tinggi yang paling besar. Angka partisipasi
kasar (APK) pendidikan tinggi mereka pada 2010 mendekati 80%, sementara
Indonesia baru mencapai 30%. PTS telah berperan besar dalam pencapaian akses
pendidikan tinggi.
Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT)
telah banyak pro dan kontranya. Kontranya banyak yang menyangsikan otonomi akan
terwujud, selain dari kekhawatiran terhadap komersialisasi pendidikan dan
internasionalisasi pendidikan. Tulisan ini tidak menyinggung itu. Namun, sangat
fair diarahkan bahwa PTS sedemikian banyak justru memerlukan aturan agar lebih
semakin bergengsi di kemudian hari.
Persoalannya ialah apa yang paling mendasar
ditemukan pada institusi PTS? Kalau di negara maju pendidikan tinggi swasta
justru berhasil memperlihatkan kualitas yang tinggi, katakanlah dari 10
perguruan tinggi di Amerika Serikat, semuanya ialah PTS. Pendidikan tinggi yang
dikelola secara ‘market’, selain dari jaminan terwujudnya otonomi, menggaransi
hasil-hasil yang diperlihatkan dalam proses pendidikan. Alumni mereka juga
memiliki daya saing tinggi di pasar kerja.
Sementara di Indonesia PTS sangat beragam, baik
dari distribusi beroperasinya, kinerja perkembangannya, maupun pengelolaan
jurusan yang tersedia. Sebagian kecil, yang berada di Jakarta, justru telah
berkembang dan menyaingi PT negeri yang sudah berumur setengah abad lebih.
Namun, mereka hanya sedikit, sementara ribuan lagi hidup Senin-Kamis, tetapi
masih tetap berjuang menyediakan pelayanan kepada anak-anak bangsa.
Dari sekian faktor yang membelit PTS, yang paling
utama ialah persoalan ketersediaan dosen bermutu. Sebagai sebuah institusi
pendidikan tinggi, pemerintah mengharuskan perguruan tinggi memiliki dosen yang
berkualiļ¬ kasi pendidikan minimum S-2. Sebuah jurusan minimal memiliki enam
dosen. Sewaktu pendirian legalitas awal, ketersediaan dosen dipenuhi dengan
berbagai cara dan pada akhirnya keberadaan dosen di PTS menjadi persoalan
krusial.
Negara boleh dikata tidak menyediakan dosen untuk
penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta. Kenapa begitu sulit menyediakan dosen
yang berpendidikan baik di PTS? Jawabannya ialah PTS juga pada umumnya
menghadapi persoalan keuangan. Ketika jumlah mahasiswa tiap tahun dapat
mendaftar pada tiap jurusan minimum 40 orang, jurusan hanya mampu membayar
dosen jauh di bawah dari ketentuan upah minimum.
Dosen di PTS yang dinyatakan dosen tetap
kebanyakan tidak memiliki kepastian penghasilan mereka. Bagi yang punya performa
baik, berangsur-angsur dosen yang sudah mengabdi di yayasan mendaftar menjadi
pegawai negeri, atau tempat lain. Untuk penggantinya, mereka sulit memperoleh
dosen yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan PTS banyak menggunakan
pegawai negeri lokal yang menyambi/paruh waktu sebagai dosen. Kebijakan
pemerintah saat ini menegerikan PTS baik menjadi PTN justru kontraproduktif.
Seiring dalam perjalanan waktu, justru semakin maju negara semakin berkurang
peranan pemerintah.
Akomodasi
Penyediaan Dosen
RUU jelas tidak mengakomodasi bagaimana negara
menyediakan dosen untuk swasta. Namun, alangkah baiknya duduk bersama untuk
mencari titik kesepahaman bagaimana jangka panjang perguruan tinggi swasta
(dalam terminologi RUU Perguruan Tinggi masyarakat) di Indonesia ini.
Karena dalam jangka menengah pendidikan tinggi
yang diselenggarakan swasta tidak banyak melakukan perubahan, beberapa hal
dapat diakomodasi dalam meningkatkan pendidikan tinggi swasta. Pertama ialah
sangat logis ketika negara menganggap pendidikan tinggi merupakan jasa kuasi
(quasi-public), dengan sekalipun perguruan tinggi diselenggarakan masyarakat,
sebaiknya pemerintah tetap memiliki peranan tidak saja dalam regulasi, tetapi
dalam memenuhi penyediaan dosen secara minimum. Jika dalam satu jurusan mesti
tersedia enam dosen tetap, setengahnya dapat disediakan negara. Artinya ada
dosen pegawai negeri yang ditempatkan pada PTS.
Untuk mengakomodasi itu melalui direktorat
pendidikan tinggi, penyediaan dosen untuk PTS dapat dilakukan melalui
pemanfaatan dana beasiswa unggulan (BU) yang ada saat ini. Dalam rentang waktu
lima tahun ke depan, diperkirakan akan dapat dikirim sebanyak 15 ribu dosen
untuk menyelesaikan pendidikan lanjutan S-2 dan S-3. Penempatan dosen se telah
itu di PTS akan membawa angin se gar akan perbaikan mutu PTS.
Kedua ialah mengembangkan penggabungan PTS yang
tidak/belum memenuhi ketentuan yang ada, misalnya tidak terakreditasi. Dalam
tenggat dua tahun ke depan misal tahun ke depan misal nya dapat dipersiapkan
penggabungan dengan jurusan yang sama yang sudah terakreditasi dengan hasil
yang memuaskan. Jurusan yang sama di PTN wilayah dapat dijadikan tempat
amalgamasi jurusan di PTS yang tidak maksimal.
Ketiga, mengarahkan penekanan karakter pendidikan
yang diselesaikan pendidikan swasta, dengan lebih fokus kepada memenuhi
ketersediaan tenaga terampil untuk mendukung proses pembangunan di daerah. Oleh
karena itu, reorientasi pendidikan tinggi swasta sebaiknya lebih memenuhi ranah
psikomotorik dan pembentukan kepribadian ketimbang fokus ditujukan kepada
penyediaan tenaga ilmuwan, atau pemikir.
Dalam kaitan itu, keberadaan 12 Koordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang ada sebaiknya memperoleh dukungan
tenaga ahli, dalam memberikan fungsi kontrol dan pengembangannya. Gagasan
demikian pernah disampaikan Prof Dr Yahya Muhaimin, mantan mendikbud, sewaktu
rapat konsolidasi Dewan Pendidikan Tinggi awal 2011.
Elfindri
Guru
Besar Unand Bidang Ekonomi SDM
MEDIA
INDONESIA, 14 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi